Chapter 22 : Melarikan diri

1K 25 0
                                    

Setelah tindakan percintaan paksa atau kita sebut saja pemerkosaan yang dilakukan Sean, membuat kedua anak manusia ini, hidup serumah bahkan tinggal di lantai yang sama, namun sengaja bersembunyi untuk tak bertatap muka antara satu dengan yang lainnya.

Elina akan mendekam sepanjang hari di kamar sebelah, jika Sean masih berlalu lalang di dalam mansion.

Semenjak kejadian malam itu, Elina memutuskan tinggal di kamar kosong yang berada di lantai tersebut. Tepat di kamar paling ujung tak jauh dari lift dan tangga. Elina tidak punya pilihan saat itu. Yang ia pikirkan hanya pergi menjauh dan masuk ke kamar manapun asal tidak ada pria itu di manapun. Ruangan dengan interior bernuansa gelap, di sanalah Elina tinggal untuk batas waktu yang tak lama lagi.

Ruangan tersebut tak terkunci kala malam itu, sehingga kaki jenjang Elina dapat melangkah masuk menuju sofa panjang yang masih dilapisi plastik usang.

Ia duduk diam, meringkuk masih dalam balutan handuk dan kulitnya masih lengket bekas cairan kental milik Sean serta bercak kemerahan mulai berubah warna menjadi keunguan. Bukannya mandi, Elina meratapi kesedihan dengan menaikkan kedua lututnya menghampiri dadanya untuk bersandar. Terus menunduk dan tak lama genangan air mata mengucur tanpa komando. Menangis sebisa mungkin.

Jika saat kuliah kedokteran, Elina bisa menyayat mayat untuk melampiaskan emosinya, saat ini yang bisa ia lakukan hanya mengepalkan kedua tangan erat-erat sambil memeluk bahunya yang bergetar seolah itu cara terbaik untuk mengumpulkan emosi di satu titik.

Tak tahu berapa lama Elina menangis meratapi kehidupan pahitnya, wanita itu cukup lelah hingga tertidur lelap di sofa dalam kesendirian yang menyedihkan.

Dianggap pelacur oleh suaminya sendiri. Dan di masa lalu, Elina tak pernah dianggap oleh ibu kandungnya sendiri.

Keesokan harinya, kilauan cahaya matahari yang menyinari mengintip dari celah jendela membuat Elina mengerjapkan kelopak matanya pelan. Ia mengerang halus layaknya orang bangun tidur kemudian bengong dalam beberapa menit. Setelah nyawanya berhasil terkumpul, Elina berdiri dengan kaki telanjang dan memutuskan menyelinap masuk ke kamar Sean karena ia tahu pria itu berada di kantor.

Dengan perasaan was-was yang berkecambuk, Elina mulai mengambil beberapa helai pakaian, dokumen penting dan tak lupa kunci mobil yang diberikan Julian di meja rias lalu dimasukkan semua barang itu ke dalam satu koper. Setelah dirasa sudah cukup, ia pergi kembali ke ruang semalam. Baru sadar, sepertinya kamar yang ia tiduri merupakan kamar kosong yang tak terawat dan hanya memiliki satu furniture yaitu sofa panjang yang terpajang. Serta banyaknya debu hitam menghiasi ruangan tersebut.

Acuh tak acuh, Elina tidak mempermasalahkan bahkan jika harus tidur beralaskan lantai dingin sekalipun. Elina bisa saja memilih tidur di kamar anaknya yang berada di lantai 2. Akan tetapi, Elina tidak akan membuat mertuanya curiga jika tidur bersama dengan anaknya setiap hari. Albert dan Grace pasti peka atas apa yang terjadi.

Tapi....

Tingkah laku keduanya tentu saja tak luput menyita perhatian yang mengawasi mereka bak intelijen negara. Jika sedang berkumpul bersama, ada saja dari salah satu pihak yang tidak hadir. Praduganya semakin kuat melihat ketidakhadiran sosok Sean yang kesannya selalu menghindar dalam tiga hari ini.

Grace menghampiri Elina di dapur yang sedang menunggu ketel air mendidih. Dari kejauhan, Elina sudah melihat Grace berjalan ke arahnya.

"Shelina, apa Elvander tidak ikut sarapan lagi bersama kita?"

"Sudah berangkat dari pagi, Mom." jawabnya sambil tersenyum tipis agar tidak dicurigai.

Tentu saja Elina tahu. Sebelum turun ke bawah, Elina mengintip dan memastikan dari celah jendela kamarnya bahwa mobil yang biasa Sean gunakan sudah pergi meninggalkan perkarangan mansion sejak pagi buta.

REVENGE DESIREWhere stories live. Discover now