33. LABRAK

16 15 0
                                    

Usai dibuat K.O oleh asam lambung yang mencekik dan melilit, kini Cit telah kembali ke rumah. Mama mengantar bubur ayam kampung kuah kuning dan kerupuk udang kesukaannya, Cit pun mengangkat tubuhnya dan duduk di sisi ranjang.

"Ma Cit udah bisa kok makan di bawah."

Mama menempelkan punggung tangannya ke dahi dan pipi Citra.
"Kamu masih pucat begini loh, Nak."

Nak? Cit menaikkan sebelah alisnya.

"Ma, besok aku udah bisa mulai sekolah kan?"

Mama duduk di sisi ranjang sambil mengaduk buburnya yang hangat.
"Memangnya kamu masih semangat sekolah di sana?"

Cit menghela nafas dan menatap ke langit-langit rumah.
"Boleh enggak Ma, Cit coba dulu mengejar ketertinggalan Cit?"

Mama tersenyum bangga lalu mencium kening Citra.
"Boleh Sayang. Nanti Mama bicara lagi ya sama Pak Gandhi dan kepala sekolah kamu."

Cit memeluk Mama.
"Makasih ya Ma."
         
                            ✨🌸✨
Matahari sedang galak-galaknya menyengat di atas kepala, membuat bulir-bulir keringat menetes meresap ke seragam sekolah anak-anak yang berlarian bermain basket dan sepak bola di lapangan, ada yang tengah berhamburan memenuhi lorong dan kantin sekolah hingga pedagang es,  jadi makin laris akibat panasnya cuaca siang ini.

Yigit melemparkan kaleng minuman dinginnya ke dalam kotak sampah lima meter di balik punggungnya tanpa melihat, hingga gadis-gadis terperangah takjub dan para cowo pun mulai terpikir untuk berlatih membuang sampah seperti Yigit.   Jangan salah, hal ini bisa ia lakukan bukan karena ia sengaja berlatih. Hanya saja ia sedang malas berbalik arah hanya untuk membuang sampah, ilmu gaya fisika pun ia pergunakan untuk melempar kaleng itu dengan tepat. Kalau saja ia tak menghitung dan memperkirakan dengan tepat, bisa-bisa kaleng itu mendarat di kening siswa atau sialnya menghantam kepala guru. Kalau hal itu terjadi, sudah dipastikan Yigit akan semakin panjang urusan.

Yigit melangkah acuh meski beberapa mata menatap kagum padanya. Ia menatap lurus ke depan dengan sebelah tangan di dalam saku. Setibanya di ruang kerja organisasi pecinta alam, Yigit menyela masuk ke dalam rapat tanpa mengetuk pintu, membuat Can dan beberapa anak yang tengah berbincang terhenti dan diam.

Amora bangkit dari bangkunya dan bertanya dengan nada yang tegas namun juga tenang.
"Iya De? Ada urusan apa ya?"

Yigit tak sekalipun menggeser tatapannya dari Can. Can menurunkan pulpennya.
"Mau apa?"

Yigit segera mencengkram kerah baju Can hingga kedelapan orang lainnya sontak berdiri dengan emosi yang siap mengeroyok Yigit habis-habisan.
"Mau apa si ni anak ingusan?"

Can berdiri dan melemaskan tubuhnya sambil menenangkan teman-temannya.
"Udah-udah jangan terpancing."

Amora menarik kerah Yigit sambil memelotot ganas, seperti singa betina yang siap melindungi sang raja.
"Lepas enggak?!" Amora berteriak di telinga Yigit hingga Can sontak membekap mulut gadis itu.

Yigit melepaskan cengkramannya, Can melepaskan bekapan tangannya di mulut Amora. Can merapikan seragamnya yang lecek.
"Udah mending semuanya keluar dulu, kayaknya ada hal yang lebih penting yang musti kuurus."

Ben teman sekelas Yigit yang justru lebih membela Can karena menjunjung rasa korsa dalam organisasi dan tak tahu masalah apa yang sedang mereka hadapi, rasanya tak ingin meninggalkan Can sendiri.
"Tapi Ka?"

Fred si setengah bule menatap sinis pada Yigit.
"Sebelum kamu lewan Ketua, seharusnya kemu lewan aku dulu!" Fred mengadu dada Yigit dengan dadanya.

"Jangan ikut campur!" Yigit mendorong Fred dengan kasar hingga Fred jatuh terduduk di lantai dan semua orang menatap benci pada Yigit.

PETERCANWhere stories live. Discover now