5. TAROT

68 53 8
                                    

POV AUTHOR

Festival kuliner terbesar tahunan kali ini diikuti oleh lebih dari seribu penjual makanan, mulai dari dessert yang super manis menggemaskan, sampai berbagai makanan pedas, asin gurih yang siap membuat lidah bergetar. Cit dan Yigit adalah dua remaja yang tengah dimabuk camilan, segala yang ditunjuk Cit atau sekadar dilirik Cit, belum sempat Cit menghentikan langkahnya, Yigit yang sangat peka akan menawarkan varian rasa yang Cit mau, bahkan rela menunggu antrean panjang demi mengulas senyum di bibir Cit.

Di tengah matahari yang perlahan meredup, meninggalkan guratan oranye kemerahan di ujung lautan, terdengar suara debur ombak yang bersaing dengan keriuhan bermacam-macam percakapan, musik dan denting spatula yang beradu dengan wajan serta api makanan bakar yang meninggalkan bunyi cessss. Mereka duduk berdua di atas pipa beton raksasa, sambil menikmati camilan dan juga memperhatikan outfit yang orang-orang kenakan.

Yigit menyikut bahu Cit yang masih sibuk dengan es krim cone dan mochi cokelat berisi stroberi segar di dalamnya. Cit menoleh hingga rambutnya menempel di pipi yang terkena bercak es krim. Yigit membersihkan pipi dan bibir Cit, juga rambutnya yang lengket dengan tisu basah.

"Bisa enggak makannya rapih dikit ya Non?"

Yigit menyenggol lutut Cit dengan lututnya.
"Cit."

"Hmm apa?"

"Apa?"

Yigit mengulangi tanpa rasa bersalah.Cit melirik ke sekitar, biasanya kalau Yigit menyenggol bahu atau kakinya, itu sebuah kode jika matanya berhasil menangkap orang-orang aneh di sekitar mereka.
"Cari apa?"

"Cari bahan ghibah?" ujar Cit sambil menatap seorang pria berambut seperti brokoli dengan celana kargo merah dan kaus oversize warna oranye, yang sedang mengantre es pokat kocok sambil makan telur gulung.

Yigit mengibaskan tangannya.
"Eh enggak, Cit boleh nanya?"

"Oh," Cit menyeruput lemon tea segar. "Nanya apa?"

"Hmm itu."

"Apa?"

"Kamu pernah suka sama cowo enggak si?"

Cit mengunyah pelan sambil menatap Yigit dengan eskpresi polos dan bingungnya. Setelah hampir setahun mereka berteman, baru kali ini Yigit menanyakan hal ini.

"Suka sama satu cowo gitu?"

Yigit menyentil hidung Cit dan menggaruk kepalanya sambil menahan air muka yang memerah. "Iya emangnya, kamu pernah berapa kali suka sama cowo?"

Cit melirik ke kanan dan kiri seperti mencari contekan dari tenda-tenda kecil penjual makanan di sekitar pantai, lalu lalang orang-orang dengan ponsel di tangan yang merekam semua barisan jajanan dengan mata lapar, atau sekadar bikin konten. Cit menatap ke atas, seolah langit biru memiliki jawaban.

"Enggak ada," jawab Cit singkat lalu kembali menikmati camilannya tanpa rasa bersalah, sementara Yigit sudah nyaris setengah mati mempersiapkan jantungnya.

"Masa?"

"Kenapa?"

Yigit menghela nafas.
"Ya enggak normal lah."

"Ya ada si."

Yigit tercekat sejenak.
"Siapa?"

"Buat apa, orangnya juga enggak mungkin balik suka."

Jantung Yigit melorot sampai ke kaki. "Emangnya kamu pernah nyatain?!"

Cit menggeleng.
"Emang harus dinyatain?"

"Kapan kamu ketemu orangnya?"

"Ih kapan ya?" bola mata Cit berputar ke atas kanan seolah mengingat-ingat sambil menggaruk leher yang tak gatal.

PETERCANWhere stories live. Discover now