28.MENJADI WANITA

13 13 0
                                    

Radindra tertawa menepuk bahu sahabatnya.
"Yaa apalah pemuda tanggung seperti kita dulu yang jauh dari kata dewasa, kita lari siang bolong sambil dukung karung pasir sama-sama, kita ngekos dan berhemat makan nasi bungkus sama-sama, belajar soal-soal tes dan menggambar pohon sama-sama. Tapi begitu hari pertempurannya, mimpi ambruk cuma gara-gara kucing, sampai aku jatuh dalam keputusasaan sementara kamu berhasil sampai akhir."

Mochtar tampak serius mendengarkan curahan perasaan sang sahabat yang telah puluhan tahun ia simpan dan telan bulat-bulat di antara relung jantungnya, yang mengendap seperti batu kapur dan menjadi alasan mereka sempat berjarak beberapa tahun setelah tes itu berlangsung dan Mochtar dilantik menjadi seorang tentara berpangkat
Prajurit Dua bergaris merah.

"Jadi kau?"

Radindra merangkul Mochtar sambil menatap langit biru dengan perasaan yang lebih melegakan.
"Dulu aku iri sekali padamu. Padahal kita tidak mendaftar akademi, dulu kita hanya dua remaja bodoh yang suka berkelahi dan berharap bisa semakin menjadi jagoan dengan pangkat kecil di pundak."

"Dulu aku berharap kamu mau mendaftar lagi menjadi adik letingku, atau justru mendaftar lagi menjadi komandanku, biar aku ada backingan hahaha," Mochtar tergelak sampai air matanya menetes."Tapi sekarang ..."

"Aku lebih suka menjadi besanmu Muh."

Radindra membuat tawa Mochtar berubah menjadi senyum haru. Mochtar mengangguk dan tertawa lalu menepuk-nepuk pundak sahabatnya dengan bangga.
"Kamu tentu sudah tahu betapa bangganya aku dengan kehidupanmu sekarang, aku bersyukur kamu tidak lagi mendaftar tentara dan memilih menemui sendiri takdir dan nasib baikmu Din."

Radindra mematikan cerutunya. Ia memuaskan indra penglihatannya dengan pemandangan kebun kecil yang dirawat oleh Mochtar. Segala jenis buah seperti pohon mangga pendek yang berbuah bulat dan manis, semangka merah yang merambat, lengkeng, aneka sayur dan cabai serta bunga-bunga kesayangan sang isteri yang tampak selaras dengan suara gemercik air terjun buatan dan kolam ikan nila yang sewaktu-waktu bisa dipanen dan dijadikan lauk yang lezat oleh sang isteri yang juga pandai memasak.

"Kamu memang pandai merawat segala hal Muh."

"Maksudmu?"

Zara datang dengan sepiring pisang goreng cokelat keju dan keripik kentang buatan Mama yang tengah berkutat menyiapkan makan malam di dalam dapur.

Zara memindahkan kudapan hangat itu ke meja teras dari kayu berbentuk akar, mahakarya sang Papa.
"Silahkan Om."

Radin memperhatikan wajah ayu nan teduh bermata cantik yang khas, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, tidak terlalu berisi tapi tumbuh dengan sempurna. Wajar saja Matt tidak sekalipun menolak ketika ia memintanya kembali ke Indonesia. Selain itu, kecerdasan Zara juga menjadi faktor penting yang membuatnya ingin segera menikahkan sang putera dengan puteri sahabat karibnya.

"Jangan panggil Om, mulai sekarang panggil Papa ya, Nak."

Zara melirik ke arah Pak Muh dengan senyum aneh, lalu segera mengangguk santun dan berlalu menuju dapur, menemui sang Mama.

"Ma, Zara kayaknya enggak bisa nikah sama Matt secepat ini deh Ma."

Mama berhenti mengaduk gulai di dalam kuali lalu memperhatikan raut mendung di wajah Zara.
"Ka, memangnya Matt kenapa?"

Zara melirik ke atas, mencari alasan yang tepat. Sementara jemarinya memilin-milin ujung taplak meja. Mama menyentuh bahunya dengan lembut.
"Ka, meskipun selama ini Mama selalu mendukung apapun keputusan Kaka, tapi kali ini Mama minta maaf ya Ka, Mama enggak bisa belain Kaka. Karena Mama kira, justru ini kesempatan yang tepat untuk kamu, untuk cita-cita kamu."

PETERCANWhere stories live. Discover now