34. BULLY

32 24 0
                                    

Cit menggulung ujung pasta gigi agar isinya benar-benar keluar habis teroles di bulu-bulu sikat gigi, ia meraih gelas bergambar Tinkerbell memutar keran di wastafel dan sekilas menatap wajah lusuhnya di kaca yang mengabur oleh uap air hangat yang dibiarkan mengalir.

"Apa ya yang bikin aku selalu malas berhadapan sama orang lain?"

Cit mengusap dadanya dan memejamkan mata.
"Bukan malas si, tapi ada rasa takut," Cit menghirup udara dalam-dalam."Cemas." Cit menghembuskan nafasnya perlahan.

Cit membuka matanya lalu memutar keran hingga air di wastafel yang nyaris turun ke lantai terhenti.
"Kenapa ya rasa takut dan cemas itu bisa datang?"

Cit menyisihkan rambutnya ke belakang telinga.
"Takut enggak dianggap ada, takut enggak diterima, takut diolok ketika aku mengatakan atau melakukan hal yang bodoh, takut kecewa dengan respon orang lain?"

Cit mengusap uap di kaca lalu sebelah tangannya berkacak pinggang dan sebelah lagi menunjuk dirinya di kaca dengan ujung sikat gigi.
"Kalau kata Yigit, respon orang lain terhadap kita enggak bisa mendefinisikan kita yang sebenarnya kok, kita kan enggak bisa ngontrol sudut pandang orang lain terhadap kita dan bagaimana mereka memperlakukan kita? Iya kan Cit?" Ujarnya mencoba meyakinkan diri sendiri.

Cit menatap matanya di cermin dengan tajam.
"Tapi, kita bisa mengontrol cara kita merespon mereka!"

Hening, pikiran Cit yang semula tampak terang dan jelas kini mengabur dan kembali menjadi benang kusut, tatapan tajam dan senyuman yang nyaris seperti seringai itu pun perlahan memudar dan kembali menjadi ekspresi Cit yang tampak putus asa dan menyedihkan setiap harinya.
"Tapi gimana cara ngeresponnya?"Cit meringis.

"Cit, yang bodoh kan bukan cuma kamu, banyak kok anak lain yang enggak pintar-pintar amat tapi masih bisa diterima sebagai manusia yang layak dihargai eksistensinya."

Cit menggerutu sampai mulutnya mengerucut.
"Lea jarang banget masuk kelas, alasannya TC ini TC itu, kejuaaraan ini, kejuaraan itulah, tapi guru-guru sering banget banggain dia, teman-temannya juga banyak."

Cit menurunkan suara dan bahunya melungsur membungkuk lelah.
"Tapi kan dia atlet taekwondo."

"Oh atau Chico, dia enggak pintar, bukan atlet," Cit mengetuk keningnya dengan jemari. "Tapi siapa yang enggak kenal Chico dari kelas X sampe kelas XII?"

Cit menyampirkan rambutnya seperti gaya Chico yang centil tapi keren yang membuatnya tampak selalu menjadi pemeran utama di mana pun berada.
"Hai guyssss, hari ini guwe lagi adda di cafe tongkrongan gue sama temen-temen gue, kalo pulang sekolah, pokoknya wajib banget gue ke sini, karna tempatnya tu super cozy, ada live musicnya dan makanannya super duper enak dan affordable banget di kantong pelajar kayak gue!"

Cit menjentikkan jarinya di depan kaca.
"Yash dumbas he's bwencong, tapi subscribernya udah dua puluh ribu di YouTube, dia lucu dan publik speakingnya bagus," Cit mengingat bagaimana Chico Avocado begitu nama chanel YouTubenya tak sengaja salah mengambil pesanan baksonya di kantin.

Di saat dayang-dayang sok cantiknya malah nyolot, Chico justru mentraktir Cit dan mengajaknya bergabung di mejanya dan menyelipkan sample parfuem endorsmentnya yang benar-benar tahan dua belas jam. Cit ingin sekali menjadi temannya, tapi Cit pasti tak akan kuat dengan dayang-dayangnya.

Cit meletakkan sikat gigi ke pinggir wastafel dan mencubit kedua pipinya sendiri.
"Sementara aku, kebodohanku diikuti dengan banyak kekuranganku yang lain, selain bodoh aku juga enggak punya keterampilan non akademik. Aku enggak menarik, enggak cantik. Boro-boro mau jadi atlet, stress dikit aja masuk rumah sakit. Apalagi jadi YouTuber, ngomong aja suka belibet."

Tokk! Tokk!

"Cit ngobrol sama siapa si kamu!"

Cit tersentak dan menoleh.
"Enggak ngobrol sama siapa-siapa!"

PETERCANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang