2. ON THE NIGHT

32 19 2
                                    


Papaku tak suka kucing, bukan karena kucing hewan yang terkenal bersifat malas dan tak bisa disiplin seperti tentara. Tapi sepertinya Papa memiliki pengalaman buruk dengan bulu kucing, sehingga Papa merasa tak tahan jika melihat kucing berkeliaran di dalam rumah dan menyisakan bulu-bulunya, bekas cakarannya di sofa dan gerai hordeng apalagi kotorannya. Bisa minggat Papa dari rumah.

Tapi kenapa Can memiliki Papa yang sama-sama alergi terhadap hewan tergemas di dunia versiku itu. Jangan-jangan jodoh lagi hehe. Pa calon besan Papa juga alergi kucing ni! Boleh enggak si kubungkus ni cowo terus kasih ke Papa, biar besok langsung dinikahin? Capek juga aku sekolah, yang pintar tetap Zara, yang dibanggakan tetap Zara. Sementara aku, hanya menjadi pembandingnya, seperti adanya warna putih karena adanya hitam, adanya terang karena adanya gelap, adanya cantik karena adanya jelek, adanya seorang Ancika Zara Gabriela karena adanya Citra Aurora Laksita.

Can melirik jam tangan di pergelangan tangannya.
"Ini udah jam setengah dua belas. Rumah kamu dimana?"

Lamunanku terpecah, Can menyenggol bahuku.
"Ehh itu di..."

"Kaka anter aja mau? Bahaya loh kamu sendirian malem-malem gini."

"Ah enggak usah, aku udah biasa pulang sendirian Ka."

"Tapi bahaya."

"A-a-aku sendiri aja Ka," ujarku lalu berjalan meninggalkan Can lebih dulu. Can meraih dompetku di atas meja, lalu menyodorkan padaku yang idiot ini.

"Ini ketinggalan lagi?"

Aku menepuk jidatku antara malu dan kesal sendiri dengan kedodolanku. Eh mungkin aku cuma gugup, aku tidak bodoh, aku cuma gugup di dekat Can. Begitu kan Cit, kamu pintar kok cuma kadang-kadang lupa aja. Aku berusaha membela diriku yang sudah terbiasa menerima perundungan, bahkan oleh suara di kepalaku sendiri.

Aku mengeluarkan cengiran andalanku yang membuat Can seketika mengamit tanganku dan menuntunku seperti anak kecil.
"Aku bisa sendiri Ka, jangan khawatir. Aku udah biasa."

"Masalahnya malam ini kamu ketemu aku, kalo sampai kamu kenapa-kenapa, enggak sampai dengan selamat. Siapa yang bakal jadi saksi?"

"Ehh astaghfirullah mulutnya."

"Kenapa? Ada yang salah?"

Minta dicium itu bibirnya, maksudnya gitu kak. Aku bergumam dalam hati. Eh benar kan hanya di dalam hati, takutnya kelepasan bicara, bisa menambah masalah.

"Kamu enggak dicari orang tuamu keluar malam-malam begini?"

Aku menarik tanganku ke dalam saku jaket. Seketika adegan Papa menampar Zara, bantingan pintu, guci pecah dan tangisan Mama berputar di kepalaku, membuatku termenung dengan tatapan kosong. Can terlihat bingung, mungkin ia merasa bersalah dan berusaha mencari kalimat penetral kondisi yang seketika kaku.

"Kamu sering ke Cmart?"

"Sering banget si."

"Kenapa kamu sering ke sana?"

"Iya soalnya nyaman, apalagi kalo kebetulan kasirnya Mbak Vegie."

"Oh menurut kamu dia kerjanya bagus?"

"Bagus."

"Terus?"

"Iya, tapi kasihan kan masa wanita jaga minimarket malam."

"Iya?"

"Maksudnya kenapa bosnya enggak kasih jam kerja pagi sampe sore aja si. Kan bahaya kalo ibu-ibu kayak gitu jaga malam. Gimana kalo ada perampok, kalo dia diperkosa terus dibunuh orang mabuk?!" aku bablas bercericit seperti burung.

PETERCANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang