27.PAPA DAN SAHABATNYA

16 15 0
                                    

Papa menyodorkan secangkir kopi yang baru saja ia racik sendiri, dari biji kopi Osing Banyuwangi yang digiling dengan penggiling manual dan diseduh melingkar dari kiri ke kanan menggunakan air sembilan puluh derajat Celcius yang mendidih, hingga aromanya menguar di depan hidung Radindra yang asyik melempar pelet ke kolam ikan nila yang asri ditanami pepohonan.

Radindra tertawa lalu menyeruput kopi hangat yang nikmat itu.
"Huwaa ini mantap ni, Sbux juga lewat kalo udah tentara barista yang racik hahahaha."

Papa menoleh pada sahabatnya yang kini telah jauh berubah.
"Halah Din basa basi politikmu sekarang sudah jauh meningkat, rasanya aku jadi harus belajar pura-pura tertawa dan membuat lelucon tak lucu sepertimu juga Din."

Tawa Radindra semakin kencang sampai matanya menyipit.
"Kita itu memang harus banyak-banyak tertawa Muh, kalau enggak tuh liat kerutan-kerutan di matamu semakin jelas nanti."

Mochtar tertawa lalu menyeruput kopinya yang pahit hingga menjalar ke dada.
"Din aku ini tentara, aku enggak suntik botox dan perawatan ke klinik kecantikan seperti kamu, yang harus selalu tampil segar di layar kaca."

"Tampil di TV, emang kamu kira aku selebritis tampan kayak Barry Prima, Willy Dozan, Roy Marten apa Ray Sahetapy?"

"Alah enggak gaul kamu Din, katanya politikus bersuara milenial, tapi enggak tahu deretan seleb yang digandrungi anak muda sekarang."

"Muh, Muh. Maksudmu siapa?"

"Kalo kata anak-anakku, sekarang ini eranya Reza Rahardian, Iqbal Dilan, terus Jefri Nichol."

Radindra segera merogoh ponsel di sakunya dan mengutak-atik layarnya.
"Oh anak-anak ini maksud kamu."

Muh pun mengerjapkan matanya, terlihat Radindra satu frame bersama para sineas muda itu dalam suatu acara penganugerahan penghargaan perfilman. Muh pun merasa kalah telak dari sahabatnya itu.

"Enggak kalah tampan kan aku Muh."

Muh mencebirkan bibir bawahnya dan memalingkan wajah dari layar ponsel Radin.
"Waduh, tampan apanya, perutmu itu ikut bergetar kalau kamu tertawa."

Radindra menyentuh perut kenyalnya lalu memukul perut keras sixpack Mochtar yang terlatih push up sedari muda.
"Ya aku kan bukan tentara Muh. Meskipun aku tetap tampan dengan perut buncit seperti ini."

Mochtar tertawa.
"Kalau tampan si kamu enggak setampan aku Din, cuma nasibmu aja yang jauh lebih baik daripada aku. Siapa yang sangka kan, kalau casis gugur seperti kamu yang menangis di pundakku di pantukhir waktu dulu sekarang jauh lebih mentereng daripada aku."

Radindra tertawa lagi sampai perutnya yang mulai membuncit berguncang-guncang.
"Itulah namanya hidup Din, tapi untunglah kita tetap bisa bersahabat sampai sekarang."

Meonggg! .. meongg!

Muh dan Radin kompak menoleh pada seekor kucing hitam putih yang meloncati pagar dan berjalan mendekati mereka sambil mengayunkan ekornya ke depan dan belakang. Muh melirik tatapan Radin yang tampak melotot kesal penuh kebencian pada kucing yang ia ketahui telah diberi nama Petercat oleh sang puteri.

Flashback

Awan hitam menggumpal lalu menjalar menggelapkan langit yang semula putih, seperti belau yang dicelupkan ke dalam ember cucian. Namun seorang pemuda berkemeja putih celana hitam berkalung kartu tanda peserta tetap percaya diri menyisir rambutnya yang sebenarnya telah dipotong cepak khas tentara. Maklum sebenarnya rambut adalah bagian tubuh paling sakral baginya, namun demi cita-citanya dan Mochtar sang sahabat ia rela berkorban demi menambah semangat untuk menjadi seorang tentara.

PETERCANDär berättelser lever. Upptäck nu