31. BENCANA

16 14 0
                                    

"Muh, sepertinya kita harus bergerak lebih cepat menikahkan mereka."

Zara menelan ludah di kerongkongannya, tidak-tidak kenapa semuanya malah jadi menyerangnya secepat ini. Ia belum siap menikah, bahkan memikirkan cara kabur dari perjodohan ini saja belum selesai ia lakukan.

"Zara!"

"Pa."

"Muh, maafkan anakku ya, biasa darah muda memang suka asal serang. Jangan pukul dia, meskipun aku tahu, sekarang kamu ingin membunuh anakku hahaha."

Radin pun merangkul isterinya untuk kembali ke ruang makan, diikuti mama yang berusaha menarik suaminya meninggalkan kamar Zara.
"Pa ayo turun, kalian juga turun ya."

Meskipun mata Pak Muh masih terarah tajam pada Zara yang sepucat singkong kupas, ia tetap mengikuti langkah sang isteri. Sementara Matt, jangan tanya, ia justru dengan santainya tersenyum dan merangkul bahu Zara di depan orang tuanya.
"Ayo Sayang kita turun."

Zara menoleh dan mendelik tajam pada Matt.
"Ha?!"

Selepas mereka kembali berdua di dalam kamar, Zara mendorong bahu Matt hingga rebah di atas ranjang. Zara mencekik Matt dengan kuat.
"Jangan coba-coba bertingkah aneh-aneh lagi, ngerti!"

Matt memutar tubuh Zara hingga kini posisi berbalik, Matt yang berada di atasnya. Matt menggenggam kedua tangan Zara ke atas dengan satu tangannya. Sementara sebelah tangannya mengusap pipi Zara dengan lembut.
"Jangan kasar-kasar dong Sayang. Kamu buat aku makin.."

Matt merenggangkan genggamannya, Zara mendorong Matt hingga Matt berdiri di sisi ranjang.
"Jangan kira aku takut, jaga sikap kamu! Aku paling benci sama pria cabul!"

Matt menyunggingkan senyum tipisnya.
"Ups, sayangnya kamu akan segera menikah dengan pria cabul ini Sayang."

Zara menghela nafas dan memukul kasur dengan kedua kepalan tangannya. Matt meninggalkan Zara lebih dulu.
"Ayo Sayang, rapiin dulu rambutnya ya, aku tunggu di bawah."

"Aaaaa dasar berandal!"

Sementara Zara benar-benar merapikan rambutnya, Mama tengah menenangkan sang Papa yang termenung di taman belakang.
"Ma, Papa kok jadi ragu ya sama Matt?"

"Maksud Papa?"

"Ya Mama lihat sendiri kan gimana sikap anak itu, kayaknya dia kelamaan di luar negeri jadi bebas begitu deh Ma."

"Pa, Papa beneran mau batalin perjodohan ini gara-gara hal tadi?"

Papa menatap sang isteri dengan putus asa. Mama mengusap bahu suaminya dengan sayang lalu mencium pipinya.
"Pa, apa Papa enggak merasa bahwa Radindra benar?"

"Maksud Mama?"

"Setelah melihat yang barusan terjadi, sebagai orang tua yang bijaksana, seharusnya kita justru menyegerakan pernikahan mereka Pa. Jangan menunda-nunda sesuatu yang baik. Daripada mereka berbuat macam-macam di luar."

"Menurut Mama begitu ya?"

Sang isteri mengangguk dan sedikit tersenyum. Jarang-jarang suaminya yang keras kepala ini mau mendengarkan usul sarannya dengan baik. Kalau bukan karena sudah pusing mengurusi tingkah Zara yang terlalu banyak menuntut ini itu hingga terkadang mereka terlupa pada Citra. Papa masih ingin Zara belajar dan menjadi seorang wanita berkarir cemerlang yang membanggakan keluarga.

"Udah ayo kita temuin Radin, jangan sampai mereka tersinggung karena kita kelamaan ngobrol sendiri di sini."

Mereka pun kembali ke meja makan, menemui Radin dan sang isteri yang justru tengah terkikik geli mengenang masa-masa muda mereka yang panas.

Sementara kedua keluarga itu tengah bersuka cita makan malam bersama. Di rumah sakit Cit meringis selepas Can pamit pergi karena harus memenuhi janji dengan beberapa anggota organisasinya.

"Siapa yang nelepon?"

"Ini aku lupa anak-anak ngajak rapat buat lomba ke Thailand bulan depan."

"Oh ya udah kamu pergi aja."

"Tapi kamu gimana?"

"Enggak apa-apa aku juga udah kamu suapin sampai kenyang, sekarang aku mau istirahat aja."

Can pun mengangguk lalu pamit pergi meski sebenarnya ia tak enak hati meninggalkan Cit sendirian di rumah sakit, ketika tak ada satu pun orang yang menjaganya.

Setelah Can pergi, Cit meringis meremas perut di balik selimut. Dadanya pun terasa sesak. Mama yang sempat menelepon jika Zara batal berangkat keluar kota karena keluarga Radin ingin membicarakan rencana pernikahan Zara dan Matt di rumah pun tak kunjung kembali. Beberapa perawat datang dan sibuk memeriksanya usai Cit menekan tombol darurat rumah sakit di sisi ranjang.

Salah seorang perawat mencoba menelepon nomor Mama, namun ponselnya tertinggal di laci meja rias. Sementara Mama tengah sibuk berbincang soal jenis menu makanan yang akan mereka hidangkan di pesta pernikahan Matt dan Zara.

Cit mengusap dadanya yang sesak.
"Papaa."

Dokter memeriksa tekanan darah, frekuensi pernafasan dan denyut jantung Cit. Sementara para perawat memasangkan kanula nasal untuk membantu meningkatkan kadar oksigen di dalam darah dan mengurangi sesak nafas yang dirasakan oleh Citra.

Dokter mengusap puncak kepala Citra dengan sayang.
"Tenang ya kamu akan segera membaik."

Dokter itu adalah Papa Yigit, oleh karena itu Yigit yang semula tengah bergalau di dalam kamarnya, mengingat bagaimana Can menyuapi Citra es krim dan Citra pun tampak lebih membela Can dibanding dirinya, segera bergegas meraih kunci mobilnya dan menuju ke rumah sakit dengan kaus dan pantalon hitamnya.

"Apa kataku, ini pasti karena cokelat! Dasar Can brengsek! Aku udah ngira, enggak mungkin dia punya niat yang baik sama Citra!"

Yigit menginjak pedal gas dengan kesal lalu melaju kencang menyalip mobil dan motor yang kompak membunyikan klakson.

Tedddd teddd tedd!

Teddd!!!

Teddddd!

Salah seorang pengendara mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
"Woi brengsek! Bini lu mau lahiran apa!"

Yigit mendengar klakson keras dan sumpah serapah pengendara lain, namun ia tak peduli, hanya ada wajah pucat Citra dan suara ringisan menahan sakit Cit yang terus melintas di kepalanya.

Akibat aksi gila Yigit yang nyaris menyerempet kendaraan lain, beberapa pengendara bahkan menepi untuk menghindari kekacauan lalu lintas.

"Citra, pokoknya mulai sekarang kamu enggak boleh deket-deket lagi sama bitor itu."

Bitor itu bibit koruptor, Yigit sering kali mengganti nama Can dengan sebutan Bitor ketika ia sedang menggibahinya bersama Citra.

Sesampainya di kamar Citra, Yigit segera menggenggam tangannya dan mengusap puncak kepalanya. Air mata Citra meleleh di tengah masker oksigen yang terus berusaha membantunya bernafas.

"Cit, aku udah bilang Can itu bukan orang baik."

"Mulai sekarang kamu enggak boleh lagi deket-deket sama dia."

Drtttt! drrrtt!

Ponsel Citra berdering di atas nakas. Citra berusaha melirik pelan namun Yigit segera meraih ponselnya dan membaca pesan singkat itu.

Petercan

Cit kamu udah tidur ya?
Mama kamu udah ke sana?
Aku baru selesai rapat ni, aku ke sana lagi aja gimana.

Yigit mengepalkan sebelah tangannya. Tunggu pembalasanku bitor sialan.[]

PETERCANWhere stories live. Discover now