26. POLAROID

50 49 6
                                    

POlAROID

Cit merebut polaroid itu secepat jurus wuxi finger hold Kungfu Panda yang menjadi jurus paling rahasia di seluruh Lembah Damai.
"Kok bisa ada di kamu?"

Can tersenyum memangku dagunya dengan tatapan tulus.
"Ternyata kamu gadis kecil cengeng yang suka menggigitku."

Ingatan masa kecilnya sedikit kabur, namun dari cerita keluarga dan orang-orang terdekat, Cit kecil memang begitu gampang menangis. Dan Can, ternyata Can anak lelaki di sisi Cit yang sering mengganggunya dengan menarik botol susu Cit dan membuatnya geram sampai menjerit jika ia gagal menggigit lengan menggemaskan atau pipi bulat tomat Can yang kenyal.

"Jadi?"

Can mengangguk mantap dengan raut wajah memelas.
"Aku korban kebuasanmu sewaktu kecil."

"Playing victim."

Can mengeluarkan sebuah polaroid lain yang ia temukan di album tua keluarganya. Terlihat seorang gadis lima tahunan yang mengigit pipi seorang bocah lelaki sambil memegang lehernya seperti hendak mencekik.
"Kalau ini kulaporkan ke Komnas HAM perlindungan anak, kamu enggak bisa rebahan sesantai ini di rumah sakit."

Cit tergelak meski rasa kagetnya belum begitu reda. Dadanya bergemuruh seperti bebatuan yang bergerak serentak terburu-buru menuruni lereng bukit lalu berdebam menghantam tanah.
"Jadi malam itu sebenarnya kamu udah kenal aku?"

Can menaikkan sebelah alisnya mengingat.
"Belum, aku belum sadar. Hanya saja ketika aku lihat polaroid di ponselmu, rasanya seperti tak asing."

Cit mengerjapkan matanya nyaris tak percaya dengan semua rangkaian peristiwa mereka. Can mengusap puncak kepala Cit.
"Karna foto itu juga aku merasa seperti telah mengenalmu cukup lama, jauh sebelum pertemuan-pertemuan kita sekarang."

Cklekk!

Pintu terbuka, Yigit masuk dengan sebuah buket bunga di depan dadanya. Raut wajah sedih Yigit tak dapat ia sembunyikan ketika menangkap tawa di antara Can dan Cit, sebelum akhirnya terhenti karena kedatangannya yang seolah mengganggu keceriaan di antara mereka.

Cit menyapa Yigit dengan penuh semangat.
"Heii Gittt kamu tahu enggak," Cit tak sabar menceritakan segalanya pada Yigit. Namun Can menggelengkan kepala dan menutup bibir Cit dengan telunjuknya.

"Ssssttt itu hanya rahasia kita ya."

Cit mengernyit dan Yigit melangkah sambil menyipitkan matanya. Ia meletakkan tas ranselnya di sisi sofa lalu menyodorkan buket bunga untuk Citra. Rasa gugup yang semula menyerangnya kini lenyap bersama seribu pertanyaan serta tebakan tentang bagaimana ekspresi Citra ketika melihat Yigit untuk pertama kalinya memberikan sebuket bunga lily putih yang cantik dan segar untuknya.

"Apa?"

Can menghela nafas, ia tahu betul Yigit tak suka padanya. Tapi tak peduli hubungan seperti apa yang terikat di antara Cit dan Yigit, kali ini Can tak mau mengalah, karena setidaknya Mama Cit yang menitipkan Cit padanya. Anggaplah itu sebagai sebuah alasan yang cukup kuat karena ia masih ingin berada di sisi Cit yang merupakan teman kecilnya.

Cit menghidu aroma lily yang menyeruak di ujung hidungnya. Sambil mendekap bunga indah itu, Cit menoleh pada Yigit yang belum juga melepaskan tatapannya pada Can yang seolah tak mempedulikan kehadirannya.

Cit berusaha memecahkan kesunyian.
"Git, kamu beli bunga dimana?"

Yigit duduk di tepi ranjang Cit.
"Tadi, tadi ada anak-anak jualan bunga di lampu merah, aku kasihan jadi aku beli aja."

Cit mengangguk sambil kembali menghidu aroma bunga yang menyeruak memenuhi ruangan.
"Oh di lampu merah mana Git? Tumben ya ada yang jual seiket besar gini, biasanya kan cuma pertangkai. Itu pun cuma ada mawar."

PETERCANWhere stories live. Discover now