9. PINJAM DULU SERATUS

55 52 7
                                    

                      
Zara menuruni tangga dengan wajah pucat serta rambut panjangnya yang tergerai. Cit menatap cooling patch di kening Zara. Cit menuang jus ke dalam gelas lalu menenggaknya hingga tandas.
"Enggak jadi minggat Ka?" sindir Cit pada Zara yang mendengus kesal.

"Masih sakit?" tanyanya lebih perhatian dan halus.

"Dikit," jawab Zara cuek.

"Mama mana?" .

"Arisan, dari pagi belum pulang."

"Oh."

Cit berjalan menuju tangga sambil membawa sepiring nasi disertai rendang dan sayur daun singkong. Rasa lapar sudah menggedor lambungnya sejak pagi, tapi ia sedang diserang rasa malas dan lebih memilih mengurung diri berjam-jam di dalam kamarnya.

Cit menghentikan langkahnya di anak tangga kedua.

"Ka."

"Hmm?"

Zara berjalan ke arah kulkas, ia mencari es krim dan sendok lalu duduk di atas sofa sambil menyalakan TV. Cit duduk di sebelahnya, menaruh gelas jusnya di atas meja dan memangku piring nasinya. Cit menyuapkan sesendok nasi dengan secuil rendang berbumbu pekat yang begitu gurih.

"Masih perang dingin sama Papa?"
Zara menjilat es krim di sendoknya.
"Don't bother me, this isn't of your business."

"Oops muup Queen!"

"Ngomong-ngomong Kaka pinjam duit kamu ya."

"Duitku?"

"Buat CODan."

"COD?"

Zara memainkan alisnya sambil menyunggingkan senyuman jahil.
“Ikan gurame ikan gabus, ikan arwana makannya tikus. Biar silaturahmi tidak terputus, pinjam dulu tiga ratus.”

“A maksudnya?!”

Tatapan jahil Zara berubah menjadi bombastic side eye pada Cit. Ia pun menghembuskan nafas dan menyilangkan kakinya ke atas meja dengan santai.
"Iya, tadi paket Kaka datang. Kaka lupa enggak pegang duit cash. Jadi Kaka congkel deh celengan kamu."

Cit mengernyitkan dahi, ia pun teringat pada celengan berbentuk rumah warna merah muda yang telah ia tabung selama dua tahun untuk membeli laptop baru.

Cit memijat kepalanya.
"Ka aku marah beneran ya."

Zara memonyongkan bibirnya.
"Yee pelit banget, orang kurirnya udah di depan rumah, massa Kaka musti ke ATM dulu. Kasihan dong tukang paketnya."

"Terus Kaka enggak kasihan sama aku?!" Cit mulai naik pitam.

"Ihhh bawel banget, entar dibalikin juga!" Zara berkata tajam tanpa merasa bersalah.

Selama ini jika Cit membuat tugas, ia selalu takut meminjam laptop Zara, karena Zara paling benci jika harus berbagi barang miliknya. Oleh karena itu Cit lelah memohon pada Mama dan Papa agar dibelikan laptop, tapi Papa dan Mama selalu menyuruh Cit meminjam laptop Zara, Cit pun berinisiatif untuk menabung dan membeli sendiri laptop impiannya.
"Enggak usah becanda deh Ka!"

"Ya ampun, pinjam tiga ratus ribu doang, lagian celengan kamu isinya recehan semua tahu. Bikin malu aja bayar ke Kang kurirnya!"

Cit menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan penuh emosi.
"Mau recehan pun kamu ngambilnya tanpa izin," Cit menunjuk wajah Zara." ITU NAMANYA PENCURI!"
Zara menangkap jari Cit.
"Jangan kurang ajar ya! Pasti aku balikin!"

"Enggak! Kali ini kamu udah kelewatan!"

Cit menatap wajah tanpa dosa Zara sambil menahan geram, ia berlari ke lantai atas lalu memeriksa setiap sudut kamarnya, dan benar saja ia menemukan robekan bekas gunting di atap celengannya yang terbuat dari kaleng. Cit menangis dan menjerit.

"Aaaaaaa sialannnn!"

Zara yang mendengar dari bawah terbahak-bahak puas, entahlah apa semua Kaka merasakan hal yang sama, ada letupan rasa kepuasan tersendiri jika berhasil menjahili adiknya, apalagi kalau sampai menangis.

"DASAR CENGENG!" Umpat Zara sambil mengganti saluran TV.

Cit menyeka air matanya lalu masuk ke dalam kamar Zara yang tepat berada di depan kamarnya. Matanya berputar ke sekeliling kamar bernuansa warm white itu, ia pun melirik meja rias Zara yang dipenuhi oleh berbagai makeup high end yang ia beli dari hasil merengek pada Mama. Tapi entah mengapa ia begitu iseng mencuri celengan Cit yang bagi Cit sangatlah berharga, padahal segala kebutuhannya selalu saja lebih diutamakan daripada sang adik.

Cit duduk menghadap cermin, ia memporak-porandakan semua benda di meja itu hingga berantakan dan hancur menghantam lantai. Ia menangis dan meraung, kenapa ia harus menahan hanya untuk membeli laptop, sementara kakanya bisa begitu mudah mendapatkan barang mahal yang tak begitu penting sekalipun, Cit membuka laci dan membuka sekotak perhiasan, ada gelang, kalung, anting. Ia juga menoleh pada lemari yang dipenuhi gaun indah, dan rak sepatu yang dipenuhi oleh berbagai heels. Ia pun mengamuk, ia membanting, melempar dan merobek semuanya. Mama benar-benar memberikan dana yang besar untuk merawat Zara selayaknya seorang puteri sejak remaja.

Namun sayangnya itu semua hanya gelombang amarah besar yang mengamuk di dalam pikirannya. Kenyataannya, ia hanya duduk termangu di hadapan cermin sambil menitihkan air mata menatap kulitnya yang sedikit kusam dan ditotoli oleh beberapa jerawat batu yang enggan mengempis. Mungkinkah Mama merasa sia-sia jika menghabiskan uangnya untuk membelikan benda-benda yang sama untuk Cit?

Cit ingin mencuri sebuah kalung kesayangan Zara, ia bisa saja menjual kalung itu dan membeli laptop baru. Cit memandangi liontin angsa bertabur batu permata yang indah itu, namun hal ini bertentangan dengan hati nuraninya, ia bimbang antara segera menjual kalung itu dan membeli laptop baru atau kembali menyimpan kalung itu ke dalam kotaknya.[]

PETERCANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang