1.NOT A DREAM

101 67 39
                                    

Haii readers anak-anak Mamaris
Yang komen pake pantun
langsung aku follow ya
🐻

Not A Dream

Tangan Papa bergetar usai menampar pipi Zara yang putih sampai urat-uratnya terlihat. Tangan Papa tercetak jelas di pipi Zara yang mungil. Aku menelan ludah melihat tangan Papa yang kasar dan kuat khas tentara yang terbiasa mengokang senjata.

Seketika aku membeku di sofa sambil memeluk bantal berbentuk awan yang menutupi separuh wajahku.
Aku dapat merasakan betapa pedih dan panasnya air mata yang menggenang di pelupuk mata Zara, sebelum akhirnya menetes. Tapi Zara terlihat masih mampu menegakkan wajahnya kembali, tanpa sekali pun menyentuh pipinya selama beberapa menit.

Mama berdiri gemetar di dekat lemari antik berisi warisan pajangan. Pandangannya bergantian menatap Papa dan Zara, ia melirik padaku yang sama-sama lemah tak mampu berbuat apapun untuk menghentikan perdebatan mereka.

Ramalan keluarga memang benar, Zara mewarisi wajah cantik Mama, tapi kecerdasan dan sikap keras kepalanya itu didapatnya dari Papa. Sementara aku hanya mewarisi sedikit wajah Mama. Meskipun beberapa orang menyebut aku dan Zara mirip namun banyak juga yang bilang jika wajahku lebih mirip Papa dan aku mewarisi kelemotan, ketakutan serta rasa percaya diri Mama yang minimalis.

Zara menyeka air matanya.
"Kuliah ke luar negeri itu cita-cita Zara Pa!"

"Papa lebih tahu apa yang kamu butuh, Ra. Kamu cuma kepingin bebas sesaat, nanti kalau kamu tahu gimana susahnya hidup sendirian di negara orang tanpa satu pun keluarga, kamu baru tahu rasa!"

"Ya ampun Pa, Zara udah mati-matian belajar, Papa enggak tahu kan ada berapa banyak saingan Zara yang nungguin Zara mundur dari beasiswa ini."

"Papa enggak peduli, pokoknya Papa bilang enggak ya enggak!"

"Papa aneh."

Papa mengernyitkan dahi dengan tatapan yang menyipit setajam belati.
"Aneh?"

"Selama ini Papa selalu bilang, kalau Zara harus juara kelas, harus juara kompetisi ini itu, harus jadi anak yang bisa Papa banggain," Zara menunjuk padaku yang seketika menyentuh dada." Harus jadi contoh yang baik buat Citra, supaya dia bisa berani punya mimpi yang hebat, tapi..."

Zara mengepal kedua tangannya yang bergetar.
"Sekarang, di saat Zara mulai melihat hasil perjuangan Zara belajar siang dan malam, ikut segala macam les tambahan yang Papa biayai. Kenapa Papa cegah Zara meraih hasil keringat dan air mata Zara belajar selama ini?!"

Papa menghela nafas dan menyentuh pundak Zara.
"Papa bukannya menghalangi mimpi kamu Ka. Tapi kamu kan tetap bisa meraih cita-cita kamu di Indonesia, enggak harus ke luar negeri, Ka. Papa cuma khawatir kamu terkontaminasi sama hal-hal negatif di luar sana, gimana kalau kamu salah bergaul, kamu alkohol, sex bebas, pindah agama?"

Zara memutar bola matanya dengan lelah.
"Pa, Zara udah gede, bukan anak SMP yang masih dalam masa coba-coba, Zara udah bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah. Papa cukup kasih Zara kepercayaan," Zara berkata lirih.

Meskipun air mata Zara berubah menjadi darah, namun Papa tetaplah dengan segala pikiran negatif dan rasa khawatirnya.
"Tanggung jawab menjadi seorang ayah, tidak putus sampai di dunia Ka. Suatu saat kalau Papa mati, Papa akan ditanya soal apa yang anak-anak Papa kerjakan di dunia ini."

Zara akhirnya meremas kepalanya.
"Ara capek."

"Jangan sampai Papa ..."

"Apa Pa?" Zara menantang.

"Zaraa!" bentak Papa.

"Sebelum," Zara menarik nafas panjang lalu menghembuskannya lewat bibir yang bergetar, "Papa usir Zara. Zara yang akan pergi lebih dulu."

PETERCANWhere stories live. Discover now