Yigit turun dari mobilnya lalu menatap beberapa bunga segar yang memamerkan warna dan aromanya yang indah. Meskipun ia tak bisa menebak respon Citra akan seperti apa jika diberi bunga. Apakah Citra akan tergelak sampai perutnya keram, atau justru akan terharu dan langsung mengerti isyarat cinta yang ia berikan.

Sementara Yigit tengah  sibuk meyakinkan hati memilih bunga dan bergulat ragu-ragu di dalam hatinya untuk memberikan bunga atau tidak. Can telah tiba di depan pintu kamar Citra usai menerima telepon dari sang Mama yang memintanya menjenguk Citra sebagai tanda kasih keluarga besan.

Tokk.. tokk

Mama membukakan pintu dan terkejut melihat Can telah berdiri dengan bingkisan obat Cina yang dititipkan Mama Dewi padanya. Kebetulan sekali toko obat Cina langganan mereka tak begitu jauh dari rumah sakit, sehingga Can tak menghabiskan banyak waktu di bawah sengatan matahari yang bersinar sangat terik hari ini. Can menyimpan kunci motornya ke dalam saku abu-abu seragam sekolah.

"Assalamualaikum, permisi Tante."

"Waalaikumussalam, eh si Ganteng."

"Tante ini ada obat titipan Mama katanya beliau minum ini waktu gerdnya kambuh."

Mama menerima bingkisan itu lalu menarik Can masuk ke dalam, Citra berhenti meringis menahan dada perih seperti rasa terbakar. Can menatap sorot mata Citra yang begitu lelah ketika Citra tengah menahan mual mengunyah bubur rumah sakit yang terasa pahit di lidahnya.

"Ka Can?"

Citra tersentak langsung merebahkan diri dan menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Can mengulum tawa usilnya lalu duduk di sisi ranjang. Mama meletakkan obat ke atas nakas lalu melirik jam dinding.

"Nah kebetulan sekali ada Can di sini, boleh enggak Can Tante minta tolong?"

Citra menguping sambil memegangi jantungnya yang berdetak sangat kencang. Minta tolong apa si Ma? Jangan ngerepotin anak orang kenapa si. Cit bergumam lirih.

"Tadi Ka Zara telepon Mama, katanya dia mau ke Bali buat antar langsung baju konser temannya, jadi Mama harus bantu Kaka siap-siap, kalau enggak," Mama memijat kepalanya. "Pasti nanti ada saja yang tinggal, daripada Mama pusing ditelpon-telpon pas ngurusin Citra, mending Mama bantu Ka Zara packing barang dia sekarang ya."

Mama mengusap bahu Can lalu meraih tasnya di atas sofa.
"Tante titip Citra bentar ya."

Citra mendelik di balik selimut.
"Mamaaa."

Can mengangguk santun.
"Enggak apa-apa kok Tante, aku bisa jagain Citra."

Citra merengek manja.
"Ma-maaa."

"Duh De, kamu tahu sendiri Kaka kamu gimana orangnya. Kalau enggak ada yang ketinggalan bukan Zara namanya. Udah deh kamu tunggu Mama bentar ya, sekalian Mama masakin sup kesukaan kamu, biar kamu bisa nafsu makan lagi. Oke?"

Tanpa persetujuan Citra, Mama pergi keluar kamar menyisakan keheningan di antara Can dan Citra yang masih bersembunyi di balik selimutnya.

Can batuk sambil membuka lemari es di kamar Citra dan meraih sebotol air dingin yang segera menyegarkan tenggorokannya.
"Ehemm."

"Pasti rasanya nyiksa banget ya?"

Citra menurunkan sedikit selimutnya.
"Udah enakan kok," ujarnya berbohong.

Can menatap keluar jendela kamar Citra.
"Kamu mau makan lagi? Apa perlu aku suapin?"

Citra menggeleng dan menutup mulutnya dengan punggung tangannya.
"Enggak, aku enggak sanggup nelan apapun lagi. Takut muntah."

"Oh."

Hening di antara mereka, Cit memutar badannya memunggungi Can yang kini tengah membaringkan badannya di atas sofa dengan nyaman seperti di rumah sendiri.

"Kalau capek, pulang aja gih. Aku gapapa kok."

Can tersenyum sambil menutup mata dan melipat kedua tangannya di dada.
"Capek si, tapi enggak enak sama Mama, kan Mamamu juga bakal jadi Mamaku."

Cit menghela nafas.
"Daripada ke sini cuma buat tidur."

Can membuka matanya, ia bangkit duduk lalu berjalan mendekati Citra.
"Jadi kamu butuh apa? Kamu bilang aja, kan kita bakal jadi saudara."

Cit memejamkan mata dan menarik selimutnya hingga menutupi wajah.
"Aku enggak mau jadi saudara kamu."

Can memundurkan wajahnya lalu duduk di hadapan Citra.
"Pasti kamu maunya lebih kan, pasti kamu mau ..."

Citra menurunkan selimutnya dan memelotot menatap wajah Can yang tersenyum jahil tepat di depan wajahnya.
"Apa?"

Can mengangkat bahunya.
"Ya mungkin kamu maunya aku jadi suami kamu?"

Cit tercekat dan terbelalak, ia mengerjapkan matanya dan menggeleng menyadarkan dirinya. Cit mendorong wajah Can dengan geram.
"Kamu nakutin terus."

Can mengamit tangan Citra yang dapat merasakan lembutnya alis, halusnya bulu mata serta lekukan di setiap inci wajah tampan yang sering menghiasi mimpinya itu.
"Enggak sopan."

Cit menarik tangannya cepat seperti tersengat listrik.
"Ya maaf, habisnya kamu nakutin."

Can menunjuk wajahnya.
"Aku? Nakutin?" Can melirik pantulan rupanya yang nyaris sempurna di kaca dinding. "Bagian mananya yang buat takut?"

Cit memperhatikan rahang dan leher Can. Can mengacak rambut Citra melihat gadis itu hanya diam terpaku seperti nyaris kesurupan.
"Mikirin apa hayo?"

"Eh eng-enggak."

"Kamu naksir aku dari kecil kan?"

"HAH?"

Can mengeluarkan selembar polaroid yang ia curi dari kamar Citra malam itu.
"Kamu selama ini, pasti diam-diam menyukaiku."[]

PETERCANWhere stories live. Discover now