Chapter 34. Took down the western palace

43 4 0
                                    

Diistana barat itu sendiri,
Valmira telah bersiap diposisi. Tugasnya adalah menyulut api tepat setelah sang duke memasuki ruangannya. Terkesan mudah tetapi resikonya sangat tinggi. Selain harus mengimbangi kemampuan sang duke yang pasti akan berusaha memadamkannya, dia juga harus waspada dengan para penjaga yang pastinya merasa curiga dengan asal muasal api tersebut.
"Aku akan mengulur waktu untuk lady." Gumamnya.

Rencana mereka adalah duel satu lawan satu. Demi memuaskan hasrat balas dendam keluarganya. Reona akan berhadapan langsung dengan sang penguasa wilayah barat, Duke Avery Willhouston yang mendapat julukan 'Malaikat dari neraka'. Caryle akan memimpin para tentara Combat Guild dan beberapa pengikut Vertozch. Mereka akan menyerang secara langsung melalui gerbang depan. Dengan tewasnya para petinggi, Caryle dapat dengan mudah membawa para tentara masuk kedalam istana barat serta mengamankan tahta penguasa. Tentaranya juga berhasil melucuti para penjaga lalu menahan mereka diaula besar. Beberapa orang digerakkan untuk menyisir istana. Para pelayan yang bersembunyi didapur langsung ketahuan. Mereka diarak menuju aula. Tidak ada satupun yang berani melawan. Bagaimanapun juga, Caryle adalah salah satu petinggi istana. Posisinya sebagai komandan bukanlah sebuah jabatan kosong belaka. Keberadaannya saja mampu mengintimidasi orang lain meskipun itu tidak berlaku dihadapan Reona.

Duke Willhouston telah terjebak didalam ruangannya. Namun, tak seperti dugaan awal mereka. Dia tampak santai dikursinya meskipun kobaran api telah melahap hampir sebagian ruangan tersebut. Sang duke tetap tenang bahkan menyempatkan diri menandatangani beberapa dokumen penting. Seolah kekacauan disekitarnya tidak pernah ada. Sikap santainya itu sempat membuat Valmira merasa goyah. Namun, Reona datang tepat waktu.
"Sudah cukup, Val. Ini giliranku," ucapnya sembari tersenyum manis.
Valmira menunjukan ekspresi khawatir. "Apa lady benar-benar yakin?"
"Apa aku terlihat meragukan?" Valmira menggelengkan kepalanya pelan.
"Kalau begitu, tunggu dan lihat saja." Reona langsung masuk kedalam ruangan tersebut. Tidak disangka, sang duke menyambut kedatangannya dengan senyuman yang lebar. "Jadi, itu benar-benar kau?" Tanyanya dengan santai. Reona tidak menjawab. Dia berjalan kearah sofa lalu mendudukkan dirinya disana. Mereka saling beradu tatap selama beberapa saat. Kobaran api disekitar tidak membuatnya terganggu sedikitpun.
"Harusnya aku menyadarinya lebih awal. Bukan begitu, cucu keponakan?" Duke Willhouston membuka topik pembicaraan.
Reona tersenyum remeh. "Tentu saja. Sayangnya kau bodoh!" Tawa sang duke langsung pecah mendengar ucapannya yang ketus. "Rosie selalu bersikap manis dihadapanku. Tidak disangka putrinya malah terang-terangan menghinaku," ucapnya sembari terkekeh. "Jadi, cucu keponakanku yang tersayang, apa kau repot-repot melakukan ini karena ingin membalas dendam? Atau, ingin mendengar cerita tentang bagaimana keluargamu mati?" Tanyanya. "Padahal kau bisa saja memintaku secara langsung. Tidak mungkin aku menolak," sambungnya dengan nada yang mengejek.

Reona tersenyum kecil.
"Sayangnya, aku lebih tertarik dengan siapa yang membunuh— ah maksudku, siapa yang memberi perintah untuk membunuh?"
Duke Willhouston mengangkat sebelah alisnya. "Apa kau benar-benar tidak tau?"
"Bagaimana mungkin aku tidak tau? Bukannya kekasih gelapmu yang melakukannya? Oh. Tidak, kaulah yang menjadi kekasih gelapnya. Bukan begitu?"
"Apa maksudmu?" Sang duke menunjukkan ekspresi serius.
Reona mengangkat sudut bibirnya, tersenyum puas melihat raut wajah tenang itu berubah menjadi tegang. "Avery oh Avery. Tidakkah kau merasa bodoh? Seorang wanita berhasil mengendalikanmu sampai seperti ini. Tidakkah kau sadar dia hanya menipumu?"
"Delphine tidak pernah melakukan itu." Bantahnya. Seketika sang duke menutup mulutnya sendiri.
"Akhirnya, kau mengatakannya." Reona menyeringai. "Kau benar-benar gila! Dia memintamu memotong tanganmu sendiri dan kau melakukannya dengan senang hati."
"Tidak seperti itu." Duke Willhouston menghempaskannya kedinding dengan keras hingga dinding tersebut retak. Namun, Reona kembali bangkit, mengusap sudut bibirnya yang berdarah secara asal lalu berdecih. "Bukannya kau membunuh keluargamu sendiri hanya untuk kepuasannya?" Bentaknya. "Menyedihkan. Kau menjilat kakinya hanya untuk mendapatkan secuil perhatiannya. Tapi, dia bahkan tidak melirikmu sama sekali." Lanjutnya.
"Jangan bicara buruk tentang Delphine!"
Reona menarik napasnya dalam. "Wanita itu hanya memanfaatkanmu. Dia tidak akan peduli, entah kau hidup atau mati."
Sang duke menjadi sangat marah dan langsung mencekik leher Reona yang tidak punya persiapan untuk menghindar. "Kau bicara terlalu banyak," ucapnya dengan suara yang berat. Dia mengerahkan seluruh energinya, mengepalkan tangan, memposisikannya, bersiap melayangkan tinjuan. Reona tetap tenang dalam posisi tersebut. Jelas. Dia tidak bisa memberontak. Ditengah kobaran api yang semakin membesar, melahap seluruh ruangan tersebut. Reona mendekatkan wajahnya, berbisik tepat ditelinganya.
"Jika kau membunuhku, siapa yang akan menjadi kaisar setelah ini?"

Duke Willhouston tersentak.
"Ap— apa yang kau katakan?" Dia terlihat bingung.
"Dasar bodoh!" Reona menjeda ucapannya. "Menurutmu, kenapa permaisuri membunuh sang lady? Bagaimana dia mengenalnya?" Sang duke tidak mengerti. Hal itu membuat Reona semakin kesal. Dia membalikkan keadaan setelah berhasil mendorongnya. "Menurutmu, kenapa wanita nomor satu dikekaisaran Medeia tertarik pada seorang lady dari wilayah yang jauh? Apa yang dilakukan sang lady sehingga membuatnya begitu marah? Pikirkan dengan baik! Apa yang benar-benar berarti bagi sang permaisuri?"
Sang duke terhuyung hingga jatuh. "Apakah kaisar? Ba— bagaimana mungkin?" Dia mengacak-acak rambutnya seperti orang tidak waras."Tidak. Tu— tunggu, aku tidak pernah melihat rupa pria yang dinikahi oleh Rosie. Benar. Siapa suaminya? Kenapa Delphine membenci Rosie?" Dia terus menerus bergumam.
Reona berjalan menuju kursi milik sang duke, mendudukan dirinya disana, menunjukan wajah tanpa ekspresi, mengklaim kursi tersebut sebagai miliknya.
"Val?" Panggilnya.
Wanita itu mengangguk lalu melemparkan sebuah karung yang dipenuhi bercak merah tepat dihadapan sang duke.

'Darah!' Batinnya.

Duke Willhouston membuka ikatan pada karung tersebut. Alangkah terkejutnya dia, ketika 3 buah kepala manusia menggelinding keluar dari dalam karung. Dia mengenali wajah-wajah itu. "Mereka adalah— "
"Antek-antekmu." Potong Reona dengan cepat.
Setelah puas melihat sang duke tersiksa secara mental. Valmira diperintahkan menggantung 3 kepala tersebut dipintu gerbang istana barat. Val menuruni tangga, melewati para pelayan dan penjaga diaula besar, berjalan dengan santai sembari menenteng 3 kepala manusia ditangannya. Caryle sontak bergidik, kagum sekaligus merasa ngeri.
Sementara itu,
Sang duke benar-benar menjadi tidak waras. Dia terus meracau seperti orang gila, tidak bereaksi bahkan saat Valmira merantai pergelangan tangannya. Reona merasa kecewa. Tak seperti bayangannya tentang duel yang sengit. Fakta bahwa sang duke dapat dijatuhkan dengan mudah hanya karena seorang wanita membuatnya merasa muak. Kemenangan yang telalu mudah seperti ini membuatnya frustasi. Reona menjadi naik pitam, menghancurkan barang-barang disekitarnya, mengacaukan seluruh ruangan bahkan meledakan satu lorong hanya untuk melampiaskan amarahnya. Dia mungkin akan meledakkan seluruh istana jika Valmira tidak datang tepat waktu dan segera menenangkannya. Reona berkaca didepan cermin dalam ruangan tersebut, menatap dirinya sendiri dengan lekat. Rambut berwarna perak, manik mata perak serta sorot mata yang tajam. Entah kapan warna rambutnya berubah. Dia tidak menyadarinya tapi satu hal yang pasti. Mulai hari ini dan seterusnya, sosok yang berada didalam cermin tersebut adalah dirinya yang baru.
"Ibuku tidak ingin siapapun melihat warna ini. Dia berjuang keras menutupinya tapi mulai sekarang semuanya akan berbeda," ucapnya dengan nada yang dingin.

THE THRONE RESERVED [ON GOING]Where stories live. Discover now