Chapter 32. Can I join?

48 4 0
                                    

Zarcha mengunjungi pangeran pertama dikamarnya, melihat sahabat baiknya itu murung dan tidak berbicara sepatah katapun. Dia melemparkan dirinya keatas tempat tidur milik sang pangeran, memperhatikannya lama lalu menghela napas sembari memalingkan wajahnya kearah lain. Putra kedua Count Marchilles itu sudah bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Mereka telah lama bersahabat. Zarcha mengenalnya lebih baik daripada siapapun, termasuk orang tuanya sendiri.

Seolah terlihat baik-baik saja tetapi sahabatnya itu telah lama menderita. Tidak ada satupun yang tau. Selama ini, pangeran telah hidup dibawah tekanan dari permaisuri. Sejak kecil, dia dilatih sedemikian rupa bahkan cara tersenyum pun tak luput dari aturan sang ibu yang mendambakannya menjadi putra mahkota meski pangeran sendiri tidak pernah menginginkan posisi itu. Dia tidak bisa memberontak karena kasih sayangnya kepada sang ibu terlalu besar. Akan tetapi, pangeran menyadari bahwa obsesi sang ibu akan tahta kekaisaran semakin lama semakin tidak terkontrol. Permaisuri bahkan tidak ragu menghabisi seseorang yang dianggap dapat membahayakan posisi putra mahkota jatuh ketangan pangeran. Hal itu membuatnya tersadar akan tujuan sebenarnya dari sang permaisuri. Pangeran berusaha keras menghentikannya, mencoba segala cara bahkan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hati nuraninya. Semata-mata agar perhatian permaisuri hanya tertuju kepadanya, agar sang ibu berhenti membunuh tapi semua itu tidaklah cukup. Pangeran malah jatuh kedalam perangkap. Bak seekor burung didalam sangkar. Permaisuri mengendalikan hidupnya secara utuh.

Zarcha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tidak ingin membiarkan sahabat baiknya menghadapi masalah sendirian. Dia langsung menarik tangannya. "Ayo ikut denganku!"
"Kemana?" Tanya pangeran.
"Sudah. Ikut sajalah!" Mereka keluar secara diam-diam. Zarcha membawa pangeran menyelinap keluar istana melalui jalan tersembunyi didekat reruntuhan istana lama. "Aku tidak tau ada jalan seperti ini," ungkap pangeran.
Zarcha hanya terkekeh. "Kau lebih banyak menghabiskan waktu diistana," ucapnya.
Setelah berhasil keluar dari sana. Zarcha membawanya pergi kedaerah pertokoan. Mereka memasuki sebuah bar kelas menengah. Pangeran pertama Agares sempat menolak tetapi dia berhasil meyakinkannya. "Bar ini adalah tempat langgananku," ucapnya sembari tersenyum bangga. Mereka memesan sebotol anggur dan beberapa piring kudapan lalu memilih salah satu ruangan yang telah disediakan.
"Sepertinya penyamaranmu berhasil, tidak ada satupun yang mengenalimu." Ucapnya sembari menyengir.

Beberapa saat kemudian, terdengar keributan dari luar toko. Zarcha pergi memeriksa. Alangkah terkejutnya dia melihat sang kakak, Charlotte sedang menghajar salah satu pria mabuk yang berusaha menggodanya. Pria berusia 22 tahun itu sontak menelan ludahnya lalu kembali masuk dengan ekspresi yang gugup. "Ada apa?"
Zarcha hanya menunjuk keluar tanpa bicara sepatah katapun. Penasaran dengan apa yang membuat sahabatnya begitu ketakutan. Pangeran Agares keluar untuk memeriksa.

Sial.

Charlotte sudah berada didalam bar, tanpa sengaja tatapan keduanya saling bertemu. Pangeran  Agares langsung memalingkan wajahnya kearah lain lalu kembali masuk, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa kau begitu takut dengan kakakmu?" Tanyanya merasa heran. Pasalnya, Zarcha adalah orang yang cukup 'berisik'. Dia menyukai kebebasan lebih dari apapun. Seorang pria yang tidak mengenal takut malah bersembunyi seperti tikus hanya karena kakak perempuannya. Tentu saja, hal itu menjadi pertanyaan tersendiri dibenak pangeran.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya pangeran sembari memakan kudapannya. Zarcha langsung memberi isyarat agar pangeran mengecilkan suaranya.

Tepat setelah itu,

Ceklek.

Pintu ruangan mereka terbuka, menampilkan seorang lady dengan senyuman yang lebar.
"Selamat malam, Tuan-tuan! Boleh saya ikut bergabung?"
Zarcha tertawa kecut melihat sang kakak yang berhasil menemukannya. "Silahkan duduk, Komandan." Pangeran Agares mempersilahkan Charlotte duduk disebelahnya. Wanita berusia 25 tahun itu memandang sang adik dengan tatapan yang tajam. Suasana didalam ruangan menjadi intens. Pangeran berdeham untuk mencairkan suasana.
"Jadi, hukuman apa yang harus kuberikan untukmu?"
Zarcha tersentak. "Ah— eum kakak maafkan aku," ucapnya sembari memelas.
Bukan tanpa alasan, Charlotte Marcilles adalah wanita yang tegas serta memiliki loyalitas tinggi terhadap kaisar. Dia tidak akan menolerir kesalahan apapun yang dapat membahayakan anggota keluarga kekaisaran. Pangeran pertama merasa perlu bertanggung jawab. Komandan Charlotte hanya menghela napasnya setelah mendengarkan penjelasan sang pangeran. "Jangan pulang terlalu larut!" Ucapnya kemudian beranjak bangun lalu pergi dari sana.
Mereka kembali melanjutkan kesenangannya sampai hampir tengah malam. Zarcha yang telah mabuk sama sekali tidak mau bangun. Pangeran Agares terpaksa membantunya berjalan.
"Sudah kuduga hal ini akan terjadi." Ucap seseorang tepat setelah mereka keluar dari dalam toko.
Pangeran Agares sontak terbelalak. "Apa komandan menunggu diluar selama ini?"
Tanpa banyak bicara, Charlotte menarik tangan sang adik yang sudah tertidur lalu menggendongnya dibelakang. Pangeran Agares merasa kagum melihatnya mengangkat seorang pria dewasa dengan santai.
"Ada apa?" Tanya Charlotte.
"Ah, bukan apa-apa." Pangeran Agares langsung salah tingkah. Mereka kembali dengan berjalan beriringan.

Keesokan paginya,
Zarcha terbangun dengan pengar dikepalanya, sontak merengek melihat sang kakak berada dikamarnya. Charlotte menggelengkan kepalanya pelan, memberikan semangkuk sup pereda pengar yang sempat dibuatnya setelah itu pergi dari sana. Zarcha yang bosan melangkahkan kaki turun dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, memperhatikan semua orang yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, melihat sang kakak yang baru saja keluar dari menara tempat kamarnya berada. Iseng meneriakinya seraya melambai-lambaikan tangan dari atas menara. Zarcha tersenyum lebar setelah puas menggodanya.
Sementara itu,
Pangeran Agares baru saja selesai mandi, mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang yang ternyata adalah sang komandan istana. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Ada apa, Komandan?"
"Charlotte."
"Hah!?"
"Anda bisa memanggil nama saya. Tidak perlu terlalu formal." Pangeran Agares langsung merasa gugup. "Be— benar. Baiklah."

Hening.

Pangeran Agares menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa tidak nyaman dengan keheningan diantara mereka. Komandan Charlotte masih berada didepannya. "Pangeran, maafkan aku!" Komandan Charlotte memaksa masuk secara mendadak. Pangeran pertama menjadi kebingungan. Komandan Charlotte tidak mengatakan apapun. Tiba-tiba berhenti didepan sebuah lemari pakaian lalu menarik pedangnya.
"Tetap dibelakangku, Pangeran!" Ucapnya.
Komandan Charlotte mendobrak pintu lemari tersebut. Secara mengejutkan, seseorang bersembunyi didalam sana langsung menerjang keduanya. Si penyusup menggunakan tudung kepala membuat komandan kesulitan mengenalinya. Dia menggunakan sebilah pisau, gerakannya sangat lihai. Setiap serangannya jelas, tepat dan cepat. Si penyusup hanya mengincar titik fatal seperti jantung dan leher, menyadari perbedaan kemampuan diantara keduanya. Komandan langsung memutar otaknya, berpikir untuk mengecoh si penyusup dengan melayangkan 2 serangan sekaligus. Tidak disangka, rencananya berhasil. Komandan Charlotte berhasil menyayat lengan si penyusup yang langsung kabur setelah menggores telapak tangannya menggunakan pisau.
"Anda baik-baik saja?"
Pangeran mengangguk dengan mantap. "Saya akan mengobati luka anda."
"Saya baik-baik saja seperti ini."
"Harus tetap diobati."
"Tidak perlu repot. Ini hanya— "
"Charlotte."
"Ya!?"
"Aku akan mengobati lukamu. Tidak ada penolakan." Ucap pangeran pertama membuat komandan sontak tertawa kecil.

Ditempat lain,
Surat yang dikirim oleh perdana menteri telah tiba. Melidas membaca isi surat tersebut dengan seksama. Pigen menjadi penasaran setelah melihat perubahan ekspresinya.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Hybrid membuat ulah dikekaisaran."
Pigen mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana dengan garis keturunannya?"
"Seharusnya adalah lycan. Dia telah membunuh 2 pelayan." Jawab Melidas.
"Keturunan mereka memang selalu membuat masalah," celetuk Pigen sembari menepuk jidatnya pelan.
Melidas hanya menghela napas. Saat ini perasaannya sedang tidak karuan. Dia terus merasa tidak nyaman hingga membuatnya tidak bisa tidur selama beberapa hari terakhir tapi masalah justru datang silih berganti. Beberapa waktu lalu, dia mengunjungi para ras hutan. Mereka sempat menolak berhubungan kembali dengan keluarga Termaine bahkan terang-terangan ingin memisahkan diri dari wilayah utara. Untungnya, Melidas berhasil mengatasinya.
"Lalu, apa yang akan anda lakukan?" Tanya Pigen.
Melidas terdiam selama beberapa saat, mencoba membuat pertimbangan secara tepat, mengingat adanya kemungkinan persekongkolan didalam istana kekaisaran. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim Ferio yang merupakan seorang hybrid dengan garis keturunan leopard.
"Beritahu dia! Tugas kita hanya menemukan si hybrid lalu mencaritahu siapa saja yang berhubungan dengannya. Jangan mengambil tindakan diluar dari itu!" Tegas Melidas.
"Bagaimana jika dia menyerang seseorang?"
"Habisi saja." Jawabnya dengan nada yang sangat dingin membuat Pigen merasa heran.

'Apa sihir Carla juga bisa mengubah kepribadian seseorang?' Batinnya.

'Apa sihir Carla juga bisa mengubah kepribadian seseorang?' Batinnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
THE THRONE RESERVED [ON GOING]Where stories live. Discover now