Chapter 28. What's going on?

47 4 0
                                    

Melidas terbangun dengan perasaan aneh yang tidak dia mengerti. Pemuda itu mendatangi neneknya yang sedang menyiapkan sarapan lalu memandangi meja makan dengan raut wajah kebingungan, membuat sang nenek menegurnya.
"Ada apa?"
Dia menoleh. "Kenapa hanya ada 2 piring makan?"
Seketika sang nenek tersentak. "Apa yang salah dengan itu?" Tanyanya sedikit gugup. Melidas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Benar juga. Apa yang salah dengan itu?" Dia menatap sang nenek lalu meminta maaf.
"Sejak bangun aku telah merasa aneh. Aku selalu merasa ada sesuatu yang terlupakan," ungkapnya.
"Itu hanya perasaanmu saja." Sang nenek memintanya segera duduk untuk sarapan.

Melidas kembali ke kediamannya yang masih dalam proses pembangunan. Dia langsung disambut oleh Cotty, seorang penyihir yang bertugas mengurus kediamannya. Wanita itu berdiri dipintu masuk, berkacak pinggang sembari menunjukan ekspresi kesalnya.
"Selamat pagi, nona Cotty?" Sapanya sembari tersenyum tanpa dosa. Wanita itu hanya berdeham lalu pergi begitu saja.
Pigen menghampirinya dengan membawa sebuah apel. "Itu salah anda karena sering meninggalkan istana tanpa izin," ucapnya sembari tertawa cekikikan lalu menggigit apel tersebut. Melidas hanya menggelengkan kepala sejenak lalu pergi menuju ruang kerjanya dengan Pigen yang setia mengekorinya.
"Jadi, apa lady sudah ditemukan?"
"Lady siapa?"
Pria itu menatap tuannya keheranan. "Bukannya anda pergi bersama si kucing untuk mencarinya?"
"Si kucing? Ah- Ferio? Kapan kami pergi bersama?" Melidas malah balik bertanya membuat Pigen mulai kesal karena berpikir dirinya sedang mencoba mengusilinya.
"Dengar, aku tanya sekali lagi. Apa lady Reona sudah ketemu?"

Melidas menghela napas. "Apa maksudmu? Siapa yang kau bicarakan sedari tadi?"

Seketika Pigen mengusap wajahnya kasar. "Bukannya kalian mencari lady Ashtarte? Apa dia sudah ditemukan sehingga anda kembali kesini? Apa sebegitu sulitnya memahami ucapan saya?" Dia memberikan penekanan diakhir kalimatnya.
Sesaat Melidas tampak berpikir. "Lady Ashtarte? Ah benar, aku dengar dia menghilang tapi kenapa aku harus mencarinya?" Jawabnya santai. Pigen sontak menepuk jidatnya sendiri. "Tuan, apa otak anda bermasalah?" Celetuknya.
"Itu adalah lady Ashtarte, kenapa anda berbicara seolah kalian tidak saling mengenal? Bukannya kalian berdua dekat satu sama lain?" Sambungnya.
Melidas kebingungan. "Kami hanya bertemu sekali pada pesta tahun baru. Bagaimana kami bisa menjadi dekat? Sepertinya otakmu yang sedang mengalami masalah," ucapnya enteng sembari tertawa kecil. Pigen hanya melongo ditempatnya, tidak habis pikir dengan perubahan drastis yang terjadi pada tuannya.

"Sudahlah. Jangan meributkan hal yang tidak penting! Nenek membawakan beberapa camilan yang kuletakan didapur. Diam dan- "
"Tunggu. Nenek siapa?" Potong Pigen dengan cepat.
"Aku hanya punya satu nenek. Apa kau bahkan melupakannya?" Tanya Melidas.
Pigen memicingkan matanya. "Jadi, anda baru saja menemui Carla?" Dia mencoba memastikan. Melidas hanya mengangguk sebagai jawaban. Pigen langsung melemparkan diri kesofa yang ada disebelahnya, terlalu lelah dengan kebingungan yang terjadi barusan. Akhirnya dia memahami situasinya.
"Anda benar-benar tidak merasakan apapun?" Tanyanya. Melidas hanya menggeleng.
"Baiklah. Lupakan saja."
Pigen memandangi tuannya yang sedang sibuk menandatangani beberapa dokumen. Dia menghela napasnya berat tanpa sepengetahuan siapapun.

'Akhirnya kau menggunakan sihirmu setelah sekian lama. Bukan begitu, Carla?' Batinnya.

Pigen meninggalkan ruangan tersebut lalu menemui Cotty yang sedang berada didapur istana. Wanita berusia 50 tahunan itu tampaknya cukup peka dengan perasaan seseorang, terbukti dengan ketepatannya menebak niat pemuda itu yang mencarinya untuk menanyakan sesuatu. Pigen sendiri tidak terkejut dengan hal itu. Dia juga langsung to the point.
"Tuan duke mengunjungi Carla."
"Aku tau." Menunjuk bingkisan kue kering diatas meja makan. "Apa terjadi sesuatu? Kau terlihat sangat tidak senang." Cotty tampak santai.
"Carla menggunakan sihirnya."
"Benarkah? Lalu, siapa yang dia lupakan?"
"Lady Ashtarte."
"Oh." Dia tidak terkejut sedikitpun sebaliknya justru tampak tenang membuat Pigen sempat merasa geram.
"Hubungan mereka lebih kuat daripada apapun. Carla tidak mungkin membuat tuan duke dalam bahaya," ucapnya santai.
Mendengar hal itu Pigen hanya mampu menghela napas, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mempercayainya. Lagipula, wanita itu telah melayani keluarga Termaine sejak lama. Dia pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui semua orang.

Sementara itu, diistana barat. Caryle baru selesai melatih para tentara yang baru bergabung dengan kesatuan yang dibawahinya. Pemuda itu kembali kekamarnya, menyadari seseorang telah menyusup dan bersembunyi disuatu tempat. Dia mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan. Seseorang muncul dari arah belakang yang langsung membekapnya. Caryle menendang kaki si penyusup yang justru membuatnya terbanting cukup keras.
"Respon yang cukup bagus," puji si penyusup yang alangkah terkejutnya Caryle mengetahui bahwa dia adalah Reona.
"Kenapa lady kembali lagi? Bagaimana jika tuan duke menemukan anda?" Pemuda itu terus mengoceh memintanya pergi. Dia baru berhenti setelah Reona menunjukan kalungnya. Seperti halnya sang nenek saat pertama kali melihat benda tersebut, Caryle memperhatikannya dengan seksama. Seolah mencoba memastikan sesuatu.
"Ayahmu pasti mengenalinya."
Pemuda itu sontak menoleh. "Saya juga tau. Ayah pernah memberitahuku tapi apakah ini adalah kalung yang sama? Bukan hanya sebuah replika."

Reona langsung merebut kalung tersebut dari tangannya. "Perhatikan baik-baik!" Dia memejamkan matanya rapat-rapat. Entah apa yang dilakukannya. Secara ajaib, bunga kecil didalam bandul berbentuk lentera tersebut mengeluarkan cahaya. Reona kembali membuka matanya. Seketika warna rambut dan manik matanya telah berubah menjadi perak. Caryle terpaku menyaksikan hal itu.
"Apa kau percaya sekarang?" Pemuda itu langsung mengangguk dengan mantap.

Pada zaman peperangan, ada seorang pemuda biasa dengan rambut berwarna hitam. Pemuda itu tidak pandai menggunakan pedang. Dia yang terlemah dipasukannya. Suatu hari saat sedang berlatih dengan keras, dia terjatuh dengan jantung yang berdebar kencang. Pemuda itu berguling-guling ditanah karena rasa sakit yang tidak tertahankan. Dia pingsan dan setelah tersadar, pemuda itu menemukan warna mata dan rambutnya telah berubah menjadi perak. Dia menyembunyikannya dibalik tudungnya yang panjang karena tidak ingin menjadi pusat perhatian tetapi kemudian dia merasakan tubuhnya mulai berubah. Dia merasa semakin kuat sehingga diam-diam bergabung kembali dengan pasukannya. Tentu saja, pemuda itu menjadi bahan ejekan dengan penampilan barunya sampai suatu hari tanpa sengaja penyamarannya terbongkar ditengah medan perang. Dia merasa perlu untuk membuktikan kemampuannya. Pemuda itu menghabisi seluruh pasukan musuh dalam sekejap membuatnya langsung ditakuti oleh rekannya sendiri. Pemuda itu bernama Vertorios kakek dari Duchess Litchia Vertozch, karena kemampuannya itu, sang penguasa wilayah barat yang tidak memiliki keturunan mengangkatnya menjadi penerus secara sah.

Sejak saat itu, warna rambut dan mata perak telah menjadi genetik yang tidak bisa dimiliki siapapun selain keturunan keluarga itu yang dianggap sebagai pengguna aura terkuat diantara yang lainnya.

"Apa yang akan lady lakukan?"
"Merebut kembali apa yang telah direbut dariku," jawab Reona dengan tegas.
"Maka kita harus menemui tuan duke dan menjelaskan semua kesalahpahaman yang telah terjadi. Tuan duke pasti senang mengetahui cucu keponakannya masih hidup."
"Bedebah itu yang telah membunuh seluruh keluargaku," ucapnya dengan ekspresi yang datar, membuat Caryle tersentak bahkan sempat menolak mempercayainya sampai Reona menjelaskan semuanya sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Carla.
"Sulit dipercaya. Saya pikir kekejamannya terjadi karena rasa sakit kehilangan keluarganya, tidak disangka dia adalah penjahat sejak awal dan bodohnya saya bersimpati kepadanya." Pemuda itu mengertakkan giginya dengan keras. Selama ini dirinya telah bersabar, menutup mata atas semua kekejaman Avery. Siapa sangka dia telah ditipu mentah-mentah bahkan dimanfaatkan.

Caryle menatap lekat wanita yang berdiri dihadapannya. Sejak pertemuan pertama mereka, dirinya telah terpikat dengan sorot matanya yang tegas. Hal itu membuatnya melakukan berbagai upaya untuk membuatnya terbebas meski sampai akhir dia tetap tidak bisa melakukannya. Selama dipenjara bawah tanah, dia selalu datang untuk mengunjunginya. Entah hanya untuk mengantarkan makanan yang layak atau sekadar mengobrol bersama. Reona telah mengingatkannya dengan sosok pemberani yang hidup dalam hatinya sejak kecil. Sosok itu tidak lain adalah Lady Vertozch, sang ibu dari wanita yang ada dihadapannya.
Siapa sangka tali takdir menghubungkan mereka? Dia tidak bisa mengungkapkan, betapa bahagianya dapat bertemu kembali dengan sosok tersebut dalam diri Reona.
"Lady?"
Pemuda itu menyibakan pakaiannya, menekuk sebelah lututnya lalu menunduk dalam kemudian dengan lantang mengucapkan sumpah setianya untuk melayani keluarga Vertozch. Sebagaimana yang dilakukan sang ayah dahulu.
"Loyalitas yang bagus tapi itu saja tidak cukup menggoyahkan benteng kekaisaran," ucapnya membuat Caryle terheran-heran.
"Bukannya anda hendak mengambil alih istana barat?"
"Kau akan mengetahuinya nanti. Omong-omong, berapa banyak orangmu?"
"Seluruh tentara dibawah kepemimpinan saya adalah pengikut setia anda," jawabnya dengan penuh percaya diri.
"Baiklah, aku ingin kau melakukan sesuatu."
Pemuda itu membungkuk dengan sopan. "Apapun yang anda inginkan," ucapnya sembari tersenyum penuh arti.

THE THRONE RESERVED [ON GOING]Where stories live. Discover now