Can seketika membekap mulutku.
"Husshh mulutnya," ujarnya seperti aksenku sebelumnya.

Aku terdiam menatap mata Can yang juga membalas tatapanku begitu dalam. Sejenak Can tampak berpikir, lalu melepas bekapan mulutku.
"Tapi itu atas kemauannya sendiri."
Aku mengernyitkan dahi.
"Kamu tahu dari mana?"

"Dia pernah cerita," Can menjawab cepat."Soalnya pagi sampai sore dia jadi baby sitter."

Karena Can terkenal amat sosialis dan berempati besar, wajar saja jika ia bisa tahu masalah Bu Vegie yang tidak aku ketahui. Tapi anehnya Can kembali melanjutkan pertanyaan aneh seputar Bu Vegie.
"Oh iya satu lagi, kamu pernah lihat dia ninggalin meja kasirnya, buat ngobrol sama bapak-bapak enggak?"
Aku menoleh dengan tatapan aneh.
"Kok kita kayak BOS-BOS yang lagi evaluasi kinerja pegawainya gitu ya?"

Can tertawa kecil yang membuatku tertular. Sepertinya Can ini memang tipikal pemikir, bisa-bisanya dia mengevaluasi Bu Vegie seperti pemilik Cmart.

Eh tapi, kalo Can punya Cmart, enak juga jadi isterinya ya, enggak perlu bawa uang recehan kalau belanja. Tinggal ambil semua yang aku mau, lalu sebut saja. Catat! Isterinya Can Radindra Nayaka.
"Habis ini Kaka pasti mau ngajak aku ngobrol soal saham Cmart," ujarku mencoba melucu, namun ekspresi Can yang sedikit terdiam membuat nyaliku kembali ciut. Jangan-jangan jokesku tidak lucu. Duh kenapa si aku selalu saja tidak bisa bergaul, padahal kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.

Can pun tertawa, bahkan tawanya meledak seperti lepas kendali membuat nyaliku yang kuncup kembali mekar. Can sampai mencubit pipiku. Iya, dia mencubit pipiku seperti gemas, aku harap ini bukan mimpi. Karena kalau pun ini mimpi, aku tidak mau bangun cepat-cepat.
Aku sudah kehilangan Petercan dari mimpiku yang terlalu miring di sofa. Jangan sampai bertemu Can juga hanya sebuah mimpi. Aku mencubit lenganku sendiri, memastikan sekali lagi, meskipun cubitan Can di pipiku masih terasa berdenyut.

"Hahaha kamu lucu juga ya, tapi kok jarang kelihatan di sekolah."

"Aku enggak populer kayak Kaka. Kalau aku secantik dan sepintar Ka Amora Jenita, pasti Kaka langsung tahu?"

"Amora teman sekelasku?"

Aku mengangguk.
"Kaka pasti temenan banget kan sama dia? Atau maunya cuma temenan sama sesama orang-orang keren kayak dia aja?"

"Emangnya dia keren?"

Aku mengangguk cepat.
"Iya lah."

"Emangnya orang keren menurutmu itu yang seperti apa?"

Aku terdiam sejenak dan memandang ke arah lampu jalanan yang dikerumuni serangga bersayap.

"Apa ya, orang keren itu yang good looking, pintar, punya prestasi, yang--"

"Apalagi?"

Aku tersenyum melirik telinganya yang bergerak lucu.
"Yang percaya diri."

"Kalau gitu semuanya bisa jadi orang keren?"

"Enggak juga."

"Kenapa?"

"Karena enggak semua orang bisa percaya diri."

Aku tersenyum menatap ekspresi tak terbaca yang dipasang lelaki bermata tajam namun meneduhkan ini. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Semua orang bisa kok jadi orang keren, dengan versinya masing-masing."

Kami berjalan, bercerita seolah kami sudah mengenal begitu lama, sesekali Can menendang kerikil di jalanan dan aku ikut melakukannya. Perjalanan menuju ke rumahku terasa begitu cepat, meski sudah kupelan-pelankan langkahku seperti gadis keraton, kami pun tiba di rumah dua lantai minimalis bercat putih, dengan pagar hijau tentara yang dihiasi pohon bunga kamboja merah muda yang tengah bermekaran seperti bunga sakura.

"Sampai Ka."

Can merapatkan langkahnya di dekatku hingga ujung sandal kami bersentuhan, aku menunduk ketika Can menyingkirkan rambut-rambut kecil di depan wajahku. Astaga apa ini, aku membayangkan adegan di drama Korea yang sering kutonton, dan hal itu membuat darahku berdesir.

"Cit," ujar Can sambil mengangkat daguku.

"Citra Aurora Laksita!" Papa berteriak dengan suara baritonnya dari balkan rumah. Aku dan Can menoleh ke atas, lalu saling bertatapan. Kami mundur beberapa langkah saling menjauh. Papa memutar punggungnya dan sepertinya ingin turun. Mengingat baru saja Papa menampar Zara, aku tak ingin Can yang baru kukenal beberapa menit di Cmart, jadi samsak Papa selanjutnya.

"Ka cepat pergi!" aku mendorong punggung Can menjauh, tapi dia masih ngotot menahan kakinya.

"Tapi ada yang mau aku sampaikan."

"Apa?!" aku melirik ke belakang dengan jantung berdebar tak karuan, antara takut Papa segera tiba dan menantikan apa yang ingin disampaikan Can.

"Tidurnya jangan malam-malam, besok kita harus sekolah," ucap Can sungguh-sungguh dan seketika aku tertawa kecil antara lega dan kecewa. Ya memangnya aku berharap apa. Memangnya aku secantik dan sepopuler apa, lagi pula kami baru kenal beberapa menit meski satu sekolah.

"Oke makasih Ka, sekarang ayo cepat pergi."

"Enggak."

Aku menjambak kepalaku, ketika Papa sudah sampai di teras.
"Kenapa? Apa lagi?!" ujarku sedikit tidak sabar dan frustasi.

"Aku belum pamit dengan Papamu."
"Astaga Papaku bisa bunuh Kaka karena salah paham."

"Ya makanya harus kutemui, biar enggak salah paham."

"Siapa kamu, kenapa bawa anak saya keluar malam-malam?" ujar Papa begitu dingin membuatku seketika tercekat. Tapi dengan santainya Can justru mengulurkan tangan, mencium punggung tangan Papa lalu memamerkan senyuman tampannya yang mirip seperti Peterpan.

"Saya tadi ketemu Citra di Cmart Om, karena takut Cit kenapa-kenapa jadi saya antar pulang."

Papa menatapku, meneliti kejujuran Can. Aku mengangguk cepat dan menggelayuti lengan Papa dengan sedikit manja untuk menurunkan darah tingginya. Aku tahu meskipun Ara adalah puteri kebanggaan keluarga yang selalu saja dinilai lebih segalanya dariku, Papa lebih menyayangi dan memanjakanku, karena aku lebih penurut dan lebih mudah diatur.

"Kalau begitu saya izin pamit Om."

Can kembali mencium punggung tangan Papa lalu melihat kumis Papa yang bergerak turun dan sikap Papa yang sedikit lunak, Can pun pergi meninggalkan kami. Aku memperhatikan punggung Can dari jauh dan jadi lebih tidak sabar menanti pagi. Pergi ke sekolah dan bertemu dengan Can lagi. []

PETERCANWhere stories live. Discover now