24. Kerja Kelompok

273 57 23
                                    

Kucing yang sedang ditangisi Jordan bukan hilang ke tempat jauh sampai tersesat atau diculik manusia jahat seperti yang dikhawatirkan oleh anak laki-laki Pak Bondan. Kucing kecil berbulu hitam gosong itu rupanya hanya sedang menemani Cantik dan Juna belajar di rumah Bu Yuni sambil ngadem di hadapan kipas angin.

Luna memberitahuku saat aku lewat depan rumahnya. Kucing itu sedang kebingungan ingin menyebrang jalan tetapi tidak berani---penyebab utamanya adalah karena toko Jamal sedang tutup, tidak ada yang memberinya aba-aba untuk menyebrang. Padahal jalanan hari itu cukup sepi. Dia tidak akan terlindas motor saat hampir tidak ada satupun motor yang melintas di hari panas seperti ini.

Aku dan Luna menyebrang bersamaan ke warung Juna. Melihat Joa yang ternyata benar ada di sana bersama Juna, Cantik, Mbak Tari, dan Raden yang datang tak lama setelah aku datang. Manusia itu membawa seplastik besar berisi es campur yang sepertinya baru dia beli di depan.

"Maaa, aku bawain es campur nih!"

"Berisik anjir, gak usah pake teriak kenapa sih," omel Juna karena Joa merasa terusik dari tidur nyenyaknya di atas buku gara-gara suara toa Raden. "Pus pus pus, bobo lagi yuk bobo lagi."

Aku merinding mendengar suara Juna yang sok diimut-imutkan begitu. Sepertinya anak semata wayang Bu Yuni ini sedang kecintaan berat dengan si kucing gosong peliharaan Jordan. Dia tidak tahu saja kalau pemiliknya sedang menangis meraung-raung di halaman rumah sampai menolak makan siang.

"Ih apa-apaan, masa Juna ngepus-pusin kucing lain sih!" Luna langsung naik ke pangkuan Juna setelah menggerutukan kalimat tak sukanya. Ia memegang dagu manusia itu untuk menarik perhatiannya, merasa cemburu atas kedekatan Juna dan Joa. "Kamu sukanya sama aku aja, jangan sama kucing lain!" kata Luna terang-terangan.

Kalau dilihat-lihat, Luna memang tipe kucing yang tak pernah sungkan untuk mengutarakan perasaannya terhadap makhluk lain secara gamblang. Seolah tidak ada kata gengsi dalam diri kucing itu.

"Anak lo nih, Den."

Alih-alih mengerti perasaan Luna yang sedang merasakan cemburu hebat terhadap seekor kucing yang baru pertama kali ini ia temui, Juna justru tak segan-segan mengangkat tubuh kecil Luna untuk kemudian diberikan kepada Raden---yang baru duduk dari menaruh es campur di dapur belakang.

"Aw-ah, hati aku sakit banget." Luna berujar dramatis saat tubuhnya berpindah ke dekapan Raden. Meski Raden menerimanya dengan sangat baik, tetapi kucing kecil itu masih merasa kurang puas sebab Juna, manusia favoritnya, secara tidak langsung menolak dan mengabaikannya demi si kucing gosong. "Aaaa Juna gak meow akuuu!"

"Kenapa, Sayang? Kamu udah dikasih makan belom sama Mamimu hm?"

"Idih. Emang harus banget papi-mamian gitu, Ko?" Cantik bergidik membayangkan hubungan antara dua manusia yang mengadopsi kucing menjadi anak mereka. Sebut saja Raden, Bening, dan Luna.

Mbak Tari yang sedang menggerak-gerakan jarinya di atas papan laptop sedikit menahan tawa. "Iya. Siapa sih, Ko, yang ngide manggil papi-mami gitu?"

"Nggak ada sih. Tadinya Ningning juga gak minta dipanggil begitu, tapi karena makin lama dia makin suka ngomel sama kucing ini---kayak emak-emak ngomelin anaknya---gue jadi iseng manggil dia Mami kalo lagi sama Luna." Raden memainkan kuping Luna yang bergerak-gerak risih.

"Kirain emang kalian sengaja adop kucing buat dijadiin anak pungut." Juna bangkit dari tempatnya duduk lalu pergi ke dapur setelah suara Bu Yuni terdengar memanggilnya untuk mengambil es buah.

Cantik ikut beranjak. "Aku bantuin ya, Kak?"

Mbak Tari, Joa, Luna, Raden, dan aku masih berada di ruang tamu rumah Juna.

Si MengWhere stories live. Discover now