8. Lagi-lagi Patah Hati

351 69 22
                                    

Aku tak pernah menyangka akan tidur siang di sofa Pak RT selama ini. Sampai tubuhku kaku meski sofanya begitu nyaman untuk ditiduri. Iya memang, sebagai seekor kucing, tidur seharian itu memang hal yang wajar. Sangat sangat wajar. Aku juga sering tidur di pos ronda lama---yang jarang didatangi warga---untuk tidur seharian penuh. Tapi yang kali ini sungguh di luar rencana.

Aku berniat memejamkan mata sebentar sampai Mas Bian bangun, lalu aku akan menunggu teman-temannya datang, dan menggagalkan rencana buruk mereka terhadap telur-telur ayam itu. Namun yang kulakukan justru tertidur nyenyak tanpa mendengar kedatangan mereka kemari.

"Thanks banget Yan, akhirnya bisa tidur nyenyak gue abis ini."

Aku melompat keluar mendengar sayup-sayup suara manusia berbincang di teras rumah. Langit di luar sudah sedikit agak oren, menandakan bahwa sebentar lagi petang akan datang.

Raden berdiri menenteng sebuah buku di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang pulpen yang dia putar-putar gabut. Wajahnya senang. Tidak jauh dengan wajah Juna yang tak henti-hentinya tersenyum. Di lehernya terkalung sebuah benda bernama kamera, sementara kedua tangannya terbebas tanpa membawa apa-apa.

Harusnya mereka membawa telur, kan?

Aku beralih melihat Mas Bian yang berdiri di hadapan kedua temannya dengan pakaian rapi seperti hendak pergi. Badannya juga harum tak seperti biasanya ia di rumah apalagi sehabis memberi makan Sulastri. Bau tai ayam. Ia tersenyum sampai bulan sabitnya terlihat. "Yoi, nanti kalau udah jadi pitik gue kasih tahu juga."

"Emang lu paling temen deh, nggak kayak yang ono noh!" Juna menunjuk seseorang di gerbang rumah Mas Bian, berjalan santai dengan rambut setengah basah yang sudah disisir rapi. Pakaiannya hanya sebatas kaus Malioboro---oleh-oleh study tour dari Cantik dua tahun lalu---dan celana pendek seragam sepak bola RT 02 waktu tujuh belasan kemarin. Gibran.

"Udah pada rapi aja nih, pada mau ke mana sih?"

Aku tidak lagi mendengar percakapan keempat manusia itu karena menghampiri Sulastri rasanya lebih bermanfaat daripada menjadi saksi perkelahian mereka.

"Eh, Sul!"

"Apa?" Sulastri menatapku datar. Ekspresinya memang selalu seperti itu, tak pernah sekalipun tersenyum lantaran mulut besarnya itu sengaja didesain kaku.

"Mereka ngambil telur-telurnya?"

"Nggak."

"Kok bisa?" tanyaku penasaran.

Ayam itu bergerak mendekati kandang. Bersiap-siap untuk masuk sebelum langit menggelap dan matanya berubah rabun.

Aku mengekor.

"Mereka cuma pengen ambil gambar," katanya.

"Hah?!"

"Iya. Juna tadi cuma pengen foto telur-telurnya untuk tugas kuliah. Itu mereka masih utuh!" Ia menunjuk kandang di sebelahnya yang hanya berisi setumpuk telur ayam di atas jerami.

"Kalau cuma foto telur kan di warung Mbak Tari juga bisa!" kataku agak ngegas. Kalau begitu buat apa aku mengawasi Mas Bian seharian ini? Ya ... walaupun memang ketiduran juga sih, tapi kan tetap saja buang-buang tenaga!

Sulastri menatapku prihatin setengah mengejek.

Aku agak malu sebetulnya karena sudah salah sangka, tapi harga diriku sebagai seekor kucing paling gagah sekomplek harus tetap dijunjung tinggi. "Tapi kalau bukan karena aku, telur-telurnya mungkin sudah pecah kemarin! Manusia itu kan ceroboh!" belaku. Padahal semalam aku juga tidak melakukan apapun kecuali menguping pembicaraan mereka.

"Terserah," balas ayam kampung itu sambil berlalu masuk ke dalam kandang. Meninggalkanku sendirian di depan kandangnya seperti kucing bodoh.

"Meng! Ke rumah Juna yuk, lu katanya mau ikan bandeng. Jadi nggak?"

Si MengWhere stories live. Discover now