36. Lomba Mancing (2)

213 43 27
                                    

Rupanya bukan hanya Tirta yang hari itu menjadi manusia sibuk berkalung "PANITIA" di pemancingan, tetapi Jamal juga. Manusia itu baru terlihat setelah beberapa waktu lomba dimulai. Nampak duduk santai di meja yang isinya manusia-manusia berseragam biru lainnya sambil makan sesuatu yang dibungkus daun pisang. Lahap sekali, mungkin karena kelaparan sejak pagi mondar-mandir mengurus para peserta dan keperluan lomba yang lain.

Aku kembali terbengong-bengong menatapi air kolam yang tenang. Duduk di antara Mas Bian dan Mbak Tari sambil mulai bertanya-tanya kalau di kolam ini sebenarnya ada ikannya atau tidak sih? Kenapa dari tadi kelihatannya tidak ada satu pun peserta yang sudah dapat ikan. Semuanya terlihat diaaam saja dan bosan.

Mau minta makan lagi, tapi aku sudah habis setengah botol makanan kering dan dua bungkus snack kucing yang dibawakan Mbak Tari.

Jordan dan Leo sedang bermain di belakang tubuh Juna. Menyusun balok warna-warni yang mereka dapat dari Jamal dengan syarat "Tapi mainnya jangan berisik ya," lalu keduanya menurut. Meski harus berbisik-bisik sepanjang bermain, tetapi setidaknya balok-balok itu bisa mengusir rasa bosan mereka.

Mbak Tari menghela napas. Disusul Mas Bian.

"Meong," ujarku tanpa makna dan tujuan usai melihat mereka secara bergantian.

Dalam film yang sering ditonton Cantik, adegan yang seperti ini pasti sudah diimbuhi suara burung gagak atau jangkrik yang super menyebalkan.

Kalau tahu memancing rasanya akan semembosankan ini, aku akan lebih memilih tinggal di rumah Juna untuk bermain bersama Luna di kolong meja warung. Atau lomba menangkap cicak di dinding rumah Juna dengan kucing itu. Ah ... pasti rasanya akan lebih menyenangkan dari pada ini.

"Bang Jamal! Ini kolam ada ikannya gak sih?" tanya Juna, mulai merasa emosi.

Raden yang termasuk golongan manusia paling sabar nomor terakhir juga ikut menambahi. "Dari tadi nih gue mancing sampai lumutan gak ada banget ikan yang nyicip umpan gue. Boro-boro nyicip, mampir aja pada gak mau!"

"Gue jaring juga nih lama-lama!" Juna berseru lagi.

Mas Bian dan Mbak Tari cuma celingak-celinguk menonton siapa yang bicara, seperti bapak-bapak peserta lomba mancing yang lain.

Jamal kelihatan santai saja makan risol dari kotak yang dibagi-bagikan khusus untuk manusia-manusia berkaus biru. Belum sempat dia berkomentar, bapak-bapak di seberang Raden sudah menarik pancing dengan seekor ikan besar yang ikut keluar dari dalam air.

Woahhh ...

Besar ikannya hampir sama seperti tubuhku. Tidak ... tidak sampai sebesar itu juga sih. Terlalu berlebihan. Tapi untuk ukuran ikan, ikan itu memang cukup besar.

Jamal tersenyum usai menenggak air dari botol. "Umpan lo gak mutu," ejeknya untuk Raden dan Juna. "Tuh buktinya bapak itu dapet ikan, jelas ada ikannya. Namanya juga kolam ikan."

Bapak-bapak lain di pojokkan kolam juga mendapat ikan tidak lama setelah itu. Dengan wajah bangga dan bahagia, beliau mengangkat ikannya yang tak sebesar ikan milik bapak-bapak pertama. Kira-kira kalau aku makan sekarang paling nanti malam udah keburu lapar lagi.

"Berdoa, Tar, biar dapat ikan juga."

Mbak Tari menunduk sambil komat-kamit di atas tadahan tangannya sendiri di atas lutut.

Tidak langsung dikabulkan detik itu juga sih, tapi beberapa menit setelahnya, ada pergerakan di pancing Mas Bian yang membuat laki-laki itu buru-buru mengeceknya. Otot tangan Mas Bian terlihat bagus saat sedang berupaya menarik pancing. Berat sekali sepertinya.

"Mas, ati-ati, Mas!" Mbak Tari bersorak memperingati. Senang tetapi juga khawatir.

Seekor ikan bertubuh besar---meski (lagi-lagi) tidak sebesar ikan bapak-bapak pertama---tersangkut kail pancing Mas Bian dan ikut terangkat ke udara saat senarnya digulung.

Si MengWhere stories live. Discover now