43. Potong Rambut

180 35 19
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, akhirnya aku, Mas Bian, dan Mbak Tari sampai di sebuah toko yang tidak menjual apa-apa---sepertinya. Mereka hanya menyediakan cermin lebar dan tempat duduk seperti tempat cuci rambut Bening. Ada banyak foto laki-laki tampan tertempel di dinding ruangannya.

"Sebentar ya, Mas. Baru banget selesai nih tadi," kata seseorang berkaus hitam yang sedang membersihkan potongan rambut di lantai.

Tunggu!

Rambut?

Kulihat lagi lebih jelas setiap helai pendek rambut yang terjatuh berceceran di lantai putih tempat itu untuk memastikan. Itu ... bukan rambut kucing kan? MAS BIAN TIDAK BERNIAT MENGAJAKKU KE SINI UNTUK MEMBUATKU BOTAK KAN?!

Kemarin sewaktu aku dirawat di tempat Dokter Sheila, ada seekor kucing yang bulunya dibotaki sampai habis. Tapi itu karena dia sedang sakit, sementara aku masih sehat wal afiat begini. Masih sanggup untuk mencakar wajah manusia-manusia ini andai mereka benar-benar akan mencukur rambutku.

"Santai aja, Bang!"

"Duduk dulu, Mas, Mbak."

Mas Bian dan Mbak Tari duduk di kursi yang berjejer di dekat tembok, bukan kursi di depan cermin.

"Mau potong ya, Mas?" tanya seseorang yang lain yang sama-sama memakai kaus hitam serupa. "Gendut banget kucingnya, Mas," katanya lagi setelah melihat keberadaanku di pangkuan Mbak Tari.

Mas Bian tertawa. "Iya nih, Bang, makan terusss."

Sakit banget hati aku mendengar Mas Bian berkata seperti itu. Sia-sia sudah perjuanganku menemaninya olahraga setiap pagi. Rela menunggunya di depan pintu meski hari masih gelap agar tidak ketinggalan satu pun gerakannya. Aku jelas-jelas menemani manusia itu berolahraga.

Lalu apa katanya tadi? Makan terus?

Hh.

Juna juga makan terus, Mas Bian, dan Mbak Tari juga porsi makannya lebih banyak, tapi mereka tidak dibilang gendut tuh!

"Awh ah!" Manusia itu mengusapi sikut kirinya yang sedikit tergores cakar runcingku. Tidak sengaja. Aku terlalu terbawa emosi.

Mbak Tari tertawa melihat pacarnya kesakitan. Eww, sebenarnya rasanya pasti tidak semenyakitkan itu sih, Mas Bian aja yang berlebihan.

"Kayaknya dia gak suka deh dikatain gendut. Marah." Mbak Tari dengan wajah penuh pengertian mencoba menjelaskan apa maksud dan tujuanku mencoba memberi peringatan kepada Mas Bian. Karena aku tidak suka mereka menghina fisikku.

"Aduh ... saya salah ngomong ya?" Manusia berkaus hitam itu sedikit menunjukkan raut wajah bersalah yang kalau dilihat lebih dekat lagi lebih ke arah ... mengejek. Sangat tidak tulus.

"Enggak, Bang. Kucing saya aja baperan," kata Mas Bian lagi. Memang dasar majikan dan peliharaan sama saja. Sebelas dua belas dengan Sulastri. Nanti mulutnya tumbuh paruh lancip tahu rasa deh.

Seakan sudah bisa membaca pikiranku yang hendak menggores kulit putihnya lagi, Mas Bian sudah lebih dulu menghindar. Menjulurkan lidah ke arahku seolah-olah mengatakan "wlek, gak kena, wlek" seperti apa kata Gibran waktu berkelahi dengan Cantik.

Ngomong-ngomong soal Gibran, kalau tau ujungnya akan seperti ini, aku lebih baik kabur daripada memasrahkan diri untuk Mbak Tari. Ngobrol dengan Sulastri sesorean sambil menunggu Gibran pulang juga tidak apa-apa deh, asal jangan ikut Mas Bian pergi.

"Sudah selesai, Mas, mau langsung dipotong sekarang?"

Aku berpegangan kuat pada baju Mbak Tari. Semoga dia paham apa maksudku dan segera menyelamatkanku dari kebotakan yang hakiki. Asal mereka tahu saja, corak buluku ini paling langka. Buktinya tidak seekor pun kucing di komplek SM memiliki bulu yang sama sepertiku. Ekhem ... kecuali anak-anakku dengan Ziezie nanti, ekhem ekhem.

Si MengWhere stories live. Discover now