12. Si Putih

326 71 17
                                    

Suasana masjid sore hari itu mendadak ramai oleh anak-anak manusia bersepeda roda tiga setelah kedatangan seekor sapi besar di pekarangan samping masjid. Pak Agung berdiri di samping Pak RT yang sedang bicara dengan Tirta.

Aku menerobos masuk dengan mudahnya, penasaran dengan apa yang sebetulnya terjadi, kenapa sampai seramai itu. Siapa juga manusia yang tiba-tiba memelihara sapi di komplek elite---ya meskipun yang elite cuma rumah Stevi, tapi kan tetap saja. Sudah cukup Sulastri jadi beban di komplek ini, jangan ditambah-tambah lagi.

"Ini sapi punya Pak Dodi ya yang sudah datang?" Ustad Yusuf datang dari arah pekarangan masjid dengan wajah berseri, menghampiri tiga manusia yang berdiri paling dekat dengan si sapi. Ustad muda itu tersenyum ramah sekali.

Pak RT mengangguk. "Alhamdulillah Mas Ustad, rezeki saya dan Pak Baihaki tahun ini, rezeki anak-anak juga."

Aku bertatap-tatapan dengan sapi itu, dia tersenyum, tapi tak kubalas karena gengsi. Aku kan penghuni lama sini, tidak boleh terlalu ramah dengan penghuni baru. Nanti dia jadi semena-mena.

"Ooh, sama Pak Baihaki ya? Alhamdulillah, Masya Allah. Semoga ibadahnya berkah ya, Pak."

"Aamiin, aamiin, Mas Ustad. Mohon bantuannya ya."

Aku semakin mendekat ke Pak RT karena penasaran. Apa tadi katanya? Sapi itu milik beliau dan Pak Baihaki? Kok bisa?

"Maaf, Bah, atas nama siapa aja ya? Biar dicatat." Tirta menyela sopan sambil menunjukkan alat tulis di tangannya.

"Oh iya, boleh. Ini atas nama saya: Dodi Riyadi, istri saya: Fani Sahiba, sama anak saya satu-satunya yang paling ganteng itu siapa namanya ya?"

"Mas Bian," kata Pak Agung mengingatkan.

"Oh iya! Ya ampun sampai lupa. Mas Bian, Fabian Bulan Tsabit."

Tirta senyum-senyum sambil mencatat nama-nama yang tadi disebutkan. Kalau Mas Bian tahu Pak RT lupa nama anaknya sendiri, manusia itu pasti ngambek seharian. Hanya bisa luluh kalau diajak sepedaan jauh. Tapi masalahnya kan Pak RT itu sudah tua, sepedaan jauh dengan Mas Bian sama saja seperti merontokkan tulang-tulangnya.

Itu kata Pak RT sih, waktu beliau memanggil tukang pijit ke rumah bulan lalu.

Pak Baihaki datang juga hari itu. "Ini Mas, sapinya? Mantep juga ya."

"Wah pas banget nih lu dateng Bay!"

"Kenapa Mas?"

"Ini lagi ditanyain nama keluarga. Keluarga lu kan namanya susah-susah banget."

"Halah! Susah apanya. Baihaki Al Bayun, Astiara Ayuni, Gibran Manggala Bumi, Cantik Mayastika Pertiwi."

Tirta mengerjap-ngerjap bingung. Bukan apa-apa nih, aku sebagai kucing pintar yang kupingnya jauh lebih peka saja kewalahan mendengar nama-nama keluarga itu. Apalagi suara Pak Baihaki sangat cepat, secepat Si Oyen berlari mengejar Bundel.

Pak Baihaki tertawa. "Tulis aja Baihaki, Asti, Gibran, Cantik. Udah." Kenapa namaku tidak disebut ya? Beliau malah menepuk-nepuk badan sapi, menilai seberapa gemuk dia dengan tatapan kagum. "Mas Agung kurban sapi juga Mas tahun ini? Katanya ada dua sapi ya?"

Yang ditanya bersedekap keren ala bapak-bapak. "Enggak. Kambing doang satu, itu juga kurban istri. Gue kan tahun lalu udah, jadi gantian. Kalau Arjuna mah lagi gue suruh nabung, biar bisa kurban sendiri tahun depan."

Sebenarnya kurban ini apa sih? Kenapa mereka melibatkan sapi dan kambing?

Pak RT menanggapi, "Juna mah rajin, Mas Bian boro-boro mau nabung buat beli kambing, Gung. Katanya mending buat bagusin kandang Sulastri. Namanya ayam kan tetep aja kandangnya ya kandang ayam. Katanya mau dibikin istana ayam."

Si MengWhere stories live. Discover now