15. Abang

270 64 22
                                    

Hujan reda sekitar satu jam setelahnya.

Cantik diantarkan pulang oleh Juna naik motor N-Max yang super besar sampai di halaman rumah.

Aku menemani Gibran yang waktu itu sedang mengepel lantai teras untuk membersihkan sisa-sisa air hujan, sekaligus menyingkirkan gambar tapak ayam yang numpang berteduh di sana saat hujan tadi. Ayam siapa lagi kalau bukan ayam Mas Bian---tapi bukan Sulastri.

"Bang Gibraaan!"

Bukan. Itu bukan suara Cantik, melainkan suara Juna yang secara tiba-tiba memanggil laki-laki berkaus kucel ini dengan sebutan 'Bang'. Setahuku yang memanggil Gibran dengan sebutan seperti itu hanyalah keluarganya dan teman-teman perempuan Cantik. Atau bocah-bocah komplek yang biasa keliling naik sepeda dengan gelas plastik bekas minuman tertempel di rodanya. Berisik sekali sampai membuat warga SM merasa resah dan gelisah---terutama Bu Maryati yang ketenangannya tak pernah bisa diganggu. Kalau Juna, sih, boro-boro memanggilnya Bang, menyebut nama Gibran dengan benar tanpa diganti Njing atau Su saja sudah sangat luar biasa.

"Tadi katanya minta dijemput sorean, kok balik sama bocah ini?" Gibran menyangkutkan tangan kirinya di pinggang, sementara tangan kanan manusia itu masih memegangi gagang pel.

"Emang kenapa sih, Bang Gibran? Kayak yang gak suka banget gitu kamu sama aku," balas Juna dengan nada sedih dibuat-buat. Manusia itu bersantai duduk di atas motor besarnya yang distandar.

Aku sebetulnya ingin naik motor itu, tapi hubunganku dengan Juna 'kan tidak seberapa dekat. Tidak seperti hubunganku dengan Gibran. Gengsi lah kalau tiba-tiba aku naik ke sana, terus ternyata Juna tidak mengizinkan. Yang ada nanti aku di-huss huss oleh manusia itu.

Lagian, rasanya juga pasti sama saja seperti naik motor Gibran.

"Gue gak nanya lu, ya, garpu somay!"

"Udah, sih, Bang. Tadi kebetulan aja matkul kita kelarnya bareng. Iya, kan Kak?" Perempuan itu meminta persetujuan Juna.

Juna manggut-manggut, mengacungkan jempol sebagai bukti tanda setuju seratus dua puluh satu persen.

"Lagian lo kalo disuruh jemput---apalagi abis ujan gini, pasti ngomel deh sepanjang jalan. Belom lagi susah ditelponnya."

Cantik tidak tahu saja, sepanjang hujan lebat tadi Gibran uring-uringan memikirkannya. Menunggu telepon berdering, sampai mengepel lantai sekarang pun Gibran masih mengantongi hape di saku celana bokser yang tidak seberapa itu. Ia takut Cantik menghubunginya tapi dia tidak tahu. Sekhawatir dan sesayang itu Gibran pada adiknya, meski tak pernah benar-benar ia tunjukkan.

Manusia sepertinya perlu dinobatkan menjadi pemenang makhluk paling gengsian sepanjang abad ini. Terutama Gibran.

"Ya iya sih, bagus juga begini. Sering-sering deh lu nganterin adek gue," kata Gibran pada Juna. "Jatah gojek lu jadi bisa buat jajan seblak." Kali ini ditujukan untuk adiknya.

"Eh, lu masih ngutang seblak sama gue ya, Bang! Jangan harap gue udah lupa."

"Ngutang seblak apaan? Mana ada!"

"Ada! Upah gue nyuciin sepatu lo. Nih, Si Meng saksinya."

Kenapa harus bawa-bawa aku, sih?

Gibran berpikir, mengingat-ingat kepan ia pernah menyuruh adiknya mencuci sepatu lalu menjanjikannya seblak sebagai imbalan.

"Pulang kerja bakti waktu itu, Bran," kataku malas. Paling-paling Gibran juga tidak mendengarku.

"Minta beliin Juna, noh, dia duitnya banyak." Gibran menunjuk Juna lagi.

Manusia itu terbengong di atas motor, melihat pertengkaran kakak beradik yang sudah sering ia lihat sebelumnya sambil tersenyum najis seraya mengangkat jempol tanda setuju.

Si MengHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin