33. Power Rangers

196 45 14
                                    

(Dari sudut pandang Author)

[2007]

Seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun bergerak mengayuh sepedanya dengan cepat dari blok A menuju blok D tempat teman-temannya berkumpul. Dia sudah sangat terlambat gara-gara Mama tadi memaksanya untuk makan dulu sebelum pergi. Err ... sebenarnya bukan kesalahan Mama juga sih, salah dia sendiri yang selalu menjawab "nanti, nanti" waktu Mama menyuruhnya makan sejak jam tujuh pagi.

Akibatnya dia jadi terlambat nonton Power Rangers di rumah Bian. Seperti sekarang.

Kenapa harus di rumah Bian nontonnya? Padahal nonton di rumahnya sendiri kan juga bisa, televisinya juga lebih bagus dari pada televisi di rumah Bian yang kadang-kadang banyak semutnya.

Entahlah. Dia tidak tahu.

Karena teman-temannya suka nonton di sana, jadi dia ikut saja.

Kayuhan sepedanya semakin cepat setelah melewati belokan menuju blok D. Sebentar lagi dia akan sampai. Semoga saja Ranger Merah belum keduluan diambil Gibran---temannya yang sama-sama tinggal di blok D, persis bersebelahan dengan rumah Bian.

'Gubrak!'

Sepeda BMX putihnya dijatuhkan dengan asal di sebelah sepeda lipat milik Raden yang terparkir rapi. Bocah laki-laki itu kemudian berlari masuk ke rumah Bian yang beruntung pintunya tidak ditutup.

"Juna telaaat, porenjesnya udah selesai!" seru Gibran, menyambut kedatangannya dengan wajah tengil yang menyebalkan.

"Abang bohong. Porenjesnya baru iklan kok, Kak Juna." Anak perempuan berwajah bulat yang hari itu memakai baju kuning gambar dinosaurus berujar dari tempatnya duduk di depan lemari bersama Tari. Mereka sedang bermain bongkar pasang barbie kertas tak jauh dari Bian, Gibran, dan Raden menonton televisi. "Hari ini kita mau ke pesta ya, aku mau pakai baju pesta yang warna kuning ini."

"Baju pesta aku sobek iniannya, aku gak bisa pakai." Bibir Tari melengkung sedih.

Juna memperhatikan mereka sebelum ikut duduk bersama teman-temannya yang lain.

"Mana yang sobek? Sini aku bantu benerin ya." Direbutnya kertas bergambar gaun pesta itu untuk diperbaiki. "Mas Bian aku pinjam lem sama gunting dong!"

Bian mengangguk dengan ekspresi datar yang tidak begitu berarti. "Ada di meja belajar di kamar aku, Tik," ujarnya tenang.

Namun, selang beberapa detik berikutnya bocah laki-laki itu memasang raut cukup galak. "Hati-hati pakainya, jangan sampai luka! Nanti aku dimarahin Umi kalau kamu nangis lagi," omel Bian panjang. Sedikit mengingat kejadian-kejadian di mana ia harus dimarahi oleh ibunya sendiri untuk kesalahan-kesalahan yang tidak diperbuat. Contohnya? Yaaa ... luka-luka kecil di tubuh Cantik atau Tari atau mereka dua-duanya yang mengundang tangisan. Padahal lukanya mereka dapat dari kecerobohan diri mereka sendiri, nangis-nangis sendiri, tapi selalu Bian ikut dimarahi.

Gadis bernama Cantik---yang merupakan adik kandung Gibran---itu tentu tidak mau susah payah membuka kuping untuk mendengar. Usai Bian mengatakan di mana letak benda itu, dia langsung berlari untuk mengambil. Boro-boro mau melihat ekspresi marah dari si yang lebih tua.

Juna pada akhirnya memilih duduk di sebelah Raden---tempat yang sedikit lebih jauh dari Gibran---saat televisi Bian kembali menayangkan tontonan favorit mereka. Cantik sudah kembali duduk di sebelah Tari, fokus dengan gunting kecil dan lem yang dia bawa dari kamar Bian.

"Aku mau Ranger Merah."

"Aku Ranger Merah!" Gibran mendebat tak terima, tetapi mukanya terlihat sekali mengejek Juna secara terang-terangan.

"Kamu kan biasanya Ranger Ijo, kenapa sekarang jadi Ranger Merah?"

"Aku kan dateng duluan hari ini. Bebas dong pilih yang mana. Wlek! Siapa cepat dia dapat."

Si Mengजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें