45. Bukber

162 28 14
                                    

"Panitia bukbernya siapa sih? Ngide banget segala buka puasa di mall. Udah tahu jalanannya macet! Elu juga! Lamaaa banget dandannya. Udah kayak anak perawan, ngalah-ngalahin adek gua." Gibran mengomel sepanjang perjalanan menuju 'tempat bukber' yang entah di mana lokasinya. Laki-laki itu ditunjuk untuk mengemudikan mobil Raden sebab Mas Bian yang biasanya melakukan hal itu tidak ikut bersama mereka sekarang. Katanya dia akan datang sedikit terlambat setelah menemani Mbak Tari membeli lipstik.

Janji adalah janji, begitu katanya pada Gibran yang bete setengah mati waktu tahu Mas Bian tidak ikut bersama mereka. Alamat dia yang akan ditumbalkan menjadi sopir dadakan, mengingat Raden tidak akan mau menyetir setelah bersukarela menyumbangkan mobil---lengkap dengan bensinnya---untuk dipakai. Kalau Arjuna tentu tidak usah ditanya, kemampuan menyetirnya masih membahayakan penumpang. Raden jelas was-was takut mobilnya hancur mendadak.

Lalu aku? Kenapa aku bisa ada di sini sekarang?

Aku juga tidak tahu. Tahu-tahu Gibran mengangkat tubuhku secara paksa saat aku sedang nyenyak-nyenyaknya tidur siang. Bikin pusing saja. Mimpi indahku berpelukan dengan Ziezie di atas awan juga jadi terganggu. Awas saja, nanti aku balas dendam jam lima pagi.

"Dibilang tadi gue pengen boker. Mendadak banget pengennya. Masa gue tahan? Emang lo mau gue boker di sini?" Juna menyahut dari belakang.

Raden yang duduk di sebelah Juna ikut menimpali. "Enak aja lo berak di mobil gue. GAK!" galaknya.

"Ya udah sih, orang masih jam empat inih. Nggak bakalan telat juga." Ayu menengahi. Perempuan yang sedang sibuk dengan kamera hapenya untuk berfoto selfi itu sejak tadi duduk di samping Gibran sambil memangku tubuhku. Tidak peduli baju panjangnya nanti akan ditempeli rontokan bulu. Raden bilang dia membawa roll penghilangnya.

Kenapa perempuan ini bisa ikut? Tentu karena dia adalah teman sekelas mereka saat masih sekolah dulu. Kata Raden acara bukber ini kan khusus alumni kelas mereka waktu SMA.

Mungkin aku juga termasuk, makanya aku diajak.

"Lagi puasa, gak boleh marah-marah. Sabar," kata perempuan itu bijak, sebelum ... "Den, ini kopi? Gue boleh bagi gak?"

"Minum aja. Tapi itu takarannya beda, sama yang kemaren lo minum."

Air dingin menetes membasahi kepalaku, lalu menetes sampai hidung. Membuatku menggeleng dan mengeong protes. "Ayu, netes kopinyaaa!"

"Eh aduh sori, kena kamu ya?" Ia cekikikan sambil mengelap kepalaku dengan tisu. Apanya yang lucu sih?! "Manis banget yang ini, Den. Enakan yang kemarin ah."

"Soalnya kan mau gue pakein es batu, jadi gue tambah gulanya. Tapi malah kemanisan. Ya sori ..."

Aku menjilat hidung tampat tadi air dingin itu menetes. Pahit. Tapi meninggalkan jejak manis seperti yang mereka berdua katakan.

"Masih gue liatin nih dari sini. Terus-terusin aja minum di depan orang puasa. Terusin." Juna seperti sedang menyindir Ayu.

Perempuan itu buru-buru meletakkan botol minum Raden ke tempatnya semula dengan raut wajah yang merasa bersalah. "Lupa banget, maaf. Maaf ya, Jun, maaf juga ya Gibrannn."

"Lo bukannya gak bisa minum kopi?" Gibran bertanya pada Ayu. Mobil yang dikemudikan olehnya sedang berhenti. Tidak bergerak sama sekali. Mungkin macet. "Kok sekarang minum?" Nadanya terdengar kurang enak. Seperti ada sesuatu yang tak Gibran suka dari sana.

"Gak bisa ngopi apanya? Tiap pagi noh ... dia ... ngopi sama bapak gua di teras." Raden membalas.

Ayu cengar-cengir saja. Berakhir mengajakku foto untuk instastori, katanya.

"Sekarang udah lumayan lah, gak secupu dulu." Kalimat lirih Ayu aku yakin hanya bisa didengar oleh Gibran---dan aku, tentu saja---soalnya Raden dan Juna sedang ramai di belakang sana. Mengejek Ayu yang hobi nongkrong dengan bapak-bapak.

Si MengWhere stories live. Discover now