16. Pasangan Gila

369 62 27
                                    

Pagi-pagi setelah mendapat sarapan di rumah Gibran, setelah laki-laki itu pergi bekerja bersama Bu Asti seperti biasa, aku ikut keluar dari rumah untuk berjalan-jalan setelah seharian kemarin mendekam tak ke mana-mana. Tubuhku rasanya pegal sekali, perlu dibawa bergerak agar lemak di tubuhku tak mengendap percuma. Aku tidak mau jadi seekor kucing gemuk, aku mau jadi kucing berotot yang keren. Pokoknya kalau jadi manusia, aku mau tubuhku jadi seperti Mas Bian.

Ngomong-ngomong tentang Mas Bian, aku melihat manusia itu berolahraga di halaman, sedang mengangkat benda berat---yang aku tidak tahu apa namanya---dengan sangat keren, hingga tanpa sadar kakiku berjalan mendekat. Aku ingin melihatnya lebih dekat, melihat bagaimana kulit Mas Bian yang dilapisi keringat berkilauan di tengah sorotan sinar matahari pagi. Meski wajahnya kentara sekali merasa keberatan, Mas Bian berusaha memperlihatkan raut sok profesionalnya sembari menahan geraman ingin menyerah. Kaus singlet putihnya mengekspos setiap otot tangan manusia itu tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Mulutku terbuka, membayangkan seperti apa rasanya memiliki tubuh itu. Dengan kaki yang sepanjang jalan kenangan, sepertinya aku akan lebih mudah melangkahi pagar tinggi rumah Stevi. Si cantik Ziezie juga akan semakin terkagum-kagum padaku. Ah, andai saja aku terlahir sebagai manusia.

"Mas, tolong beliin gula di warung dong, Umi lagi repot nih." Istri cantik Pak RT alias Bu Fani berdiri di teras rumah, masih mengenakan celemek penuh noda tepung yang melapisi daster panjang bermotif bunga-bunganya.

Mas Bian mencampakkan peralatan olahraganya begitu saja, buru-buru menghampiri Sang Umi karena tidak mau dicap menjadi anak durhaka. "Gula berapa, Mi?"

"Sekilo. Ini uangnya, kalau masih ada kembalian buat beli kecap ya, Mas," kata Bu Fani.

"Emang Umi lagi bikin apa?"

"Bikin kue."

"Kue kok pake kecap?"

"Hih, kamu ya! Ya gak buat bikin kue juga dong ... buat bikin nasi goreng. Masa kue pake kecap."

"Yaa ... kirain. Kalau gak lebih duitnya, gak jadi beli kecap?"

"Ngutang dulu aja, Umi lagi gak ada duit cash."

"Masa ngutang, sih, Mi," protes Mas Bian.

"Gak apa-apa, nanti siang Umi langsung bayar. Udah sana, keburu siang loh kue Umi belum jadi."

Mas Bian berbalik hendak keluar gerbang menuju warung Mbak Tari, di saat itu ia melihatku yang masih berdiam diri di sana. "Eh, Meng, ikut yuk!" katanya mengajakku.

Tumben.

Biasanya Mas Bian sama sekali tak peduli dengan kehadiranku di sekitarnya. Boro-boro menyapa atau mengajakku pergi begini, menyadari aku sebagai makhluk hidup di sana juga sudah paling alhamdulillah.

Aku mengekor saja, sekalian melihat progress kedekatan Mas Bian dan Mbak Tari. Sampai mana mereka menjalin hubungan. Apa masih di tahap yang gitu-gitu saja seperti Juna dan Cantik, atau malah masih di tahap yang mustahil seperti Gibran dan Stevi. Aku sih pengennya mereka sudah sedekat Raden dan Bening, jadi cita-citaku hadir di pesta pernikahan besar-besaran mereka akan tercapai.

"Beli ... " panggil Mas Bian.

Mbak Tari muncul dari balik etalase. "Beli ap---eh, Mas Bian. Beli apa, Mas?" Perempuan itu mengusapi bibir berminyaknya sehabis makan gorengan. Ia masih memakai baju serupa daster yang biasa dipakai Cantik kalau tidur. Wajah mengantuknya masih terlihat jelas belum dibasuh air.

Haduh, kondisi yang kurang tepat ini.

"Beli gula, Tar, sekilo."

Mbak Tari mengambilkan gula.

Si MengWhere stories live. Discover now