46. Bukber (2)

206 33 15
                                    

Alasan Gibran mengajakku bukber ternyata karena Dokter Sheila ingin bertemu denganku waktu itu. Dia senang sekali melihat aku, begitu pun sebaliknya. Aku sangat merindukannya, apalagi snack yang dia bawakan untukku. Hehe, meow.

"Kamu udah sehat lagi, hm? Udah gak nakal, gak berantem-berantem lagi?" Ia menyapaku seperti itu. Membuatku malu saja. Kenapa juga waktu itu aku harus berkelahi dengan Oyen? Memalukan. Sangat tidak gentle, kata Mas Bian.

"Ini kucing yang kamu ceritain waktu itu?" Seorang laki-laki kurus bertubuh tinggi yang tadi datang bersama Dokter Sheila bertanya. Mengusap-usap kepalaku lembut sambil tersenyum. Aku tidak tahu siapa namanya, tetapi dia tampan, berwajah kecil, dan memakai kacamata.

"Iya. Ternyata dia kucingnya Gibran."

"Kucing gue juga ya. Enak aja gue ikut ngasih makan tiap hari tapi gak dianggep." Mata sipit Mas Bian dibuat melotot galak. Mengundang gelak tawa sesosok manusia tampan yang duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang sejak tadi dipanggil Tamara.

"Waduh jadi rebutan hak asuh nih," kata manusia tampan itu.

Aku tidak bohong, manusia itu memang sangat tampan. Seperti gambar-gambar di buku yang biasanya dibaca Cantik. Kalau misalnya aku bisa jadi manusia, aku mau deh jadi sepertinya.

Tiba-tiba tanpa diduga-duga, sesosok manusia lain merebutku dari pangkuan Dokter Sheila. Aku sempat ingin memberontak, takut dia adalah manusia jahat yang ingin menculik atau melukai tubuhku. Tapi, waktu kulihat Dokter Sheila, ekspresi wajahnya sama sekali tidak panik. Gibran dan Mas Bian juga tertawa melihat tubuhku diambil paksa, dihujani ciuman yang bertubi-tubi.

"Udah ... buat gue aja kucingnya!!!"

"Lu mungut aja sendiri!" seru Gibran.

Jelas dia tidak akan rela melihatku diambil orang lain. Dia kan sayang aku.

"Emang ini lu dapet mungut? Kok bagus gini kucingnya?"

"Ya bagus lah! Bagusan juga dia dari pada Louis, Leon."

Manusia itu mengembalikanku pada Dokter Sheila. "Gak ada ya lu menghina kesayangan gue begitu!"

Dan seperti itulah pertikaian Gibran dan si manusia tak dikenal ini dimulai.

Aku sudah tidak fokus menyimak obrolan manusia yang semakin lama semakin banyak berdatangan. Ramai sekali. Mungkin ada sekitar seratus orang. (Ngawur wkwk)

Dokter Sheila menyuapiku snack yang enak sekali. Mungkin lebih enak dari yang terakhir kali dia bawakan. Ya ... kalau dibandingkan dengan makanan kucing yang dijual Jamal jelas jauh. Dokter Sheila juga sempat memeriksa buluku, apakah ada kutu atau jamur yang bersarang di sana dan membahayakan atau tidak. Juga mengira-ngira berat tubuhku, apakah aku bertambah kurus atau bertambah besar. Masih di batas wajar atau tidak.

Aku jadi membayangkan seperti apa rasanya tinggal bersama Dokter Sheila. Pasti akan sangat menyenangkan memiliki hubungan seperti Ziezie dan Stevi. Diperhatikan setiap hari dan makan makanan bergizi tinggi seperti ini.

Eh tidak, tidak!

Cepat-cepat aku menggelengkan kepala.

Tidak boleh berpikir seperti itu! Sudah sangat membahagiakan punya kehidupan sebagai kucing bebas yang tinggal di komplek. Aku bebas berkunjung ke rumah siapa pun dan mendapat banyak makanan dari sana. Gibran dan Mas Bian selalu menyediakan makanan khusus untukku, di rumah Mbak Tari biasanya aku mendapat kepala ikan pindang yang sangat enak, di rumah Juna aku sering makan ikan goreng atau tulang ayam sisa pelanggan. Semuanya enak. Tidak ada yang tidak enak.

Kalau bosan makan makanan manusia, aku bisa mencari tikus bersama Oyen. Dia tahu di mana sarang tikus-tikus lezat itu bersembunyi. Menyenangkan sekali berteman dengannya. Belum tentu aku mendapatkan teman yang sepertinya lagi jika tidak tinggal di komplek SM, kan?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Si MengWhere stories live. Discover now