19. Lomba Agustusan (2)

249 53 30
                                    

Pertandingan pertama antara Gibran dan Tirta berhasil dimenangkan oleh Gibran. Hasilnya beda tipis, sih, sepertinya anak Pak Baihaki ini cuma sedang beruntung saja waktu itu. Buktinya, setelah pertandingan antara Cantik melawan Bening dan Mbak Tari melawan Stevi selesai, Gibran yang disandingkan dengan Mas Bian langsung kalah telak sampai bersembunyi di balik punggung ibunya. Mengundang gelak tawa seluruh penonton termasuk Pak RT dan Jamal yang ditugasi sebagai komentator dan MC acara.

"Abang gimana sih, katanya mau juara satu!" hardik Cantik dari tempatnya duduk selonjoran di pinggir lapangan bersama Bening, Raden, dan Juna. For your information aja nih, tadi Cantik menang melawan Bening di lapangan. Bening, sih, happy-happy saja waktu kalah. Soalnya Raden, Sang Kekasih Tercinta tetap menyemangati apapun hasilnya. "Gak apa-apa, Sayang, kamu tetap jadi pemenang di hati aku! Kamu hebat banget!" begitu katanya tadi di sela hingar bingar kubu pendukung Cantik bersorak heboh.

"Gak jadi, tahun depan aja."

Bu Asti menepuk-nepuk pundak anaknya, tetap tersenyum meski jagoannya kalah lebih awal dari yang sudah diperkirakan. Jangan salah ya, galak-galak begitu istri Pak Baihaki nyatanya sangat penyayang terhadap anak-anak mereka. Gibran sudah berusaha semampunya, kalau kalah ya tidak apa-apa, namanya juga perlombaan. Gagal mendapatkan motor sekupi baru juga tidak masalah. Namanya belum rejeki.

"Tahun depan aja ya, Mah, punya sekupi barunya? Nanti Abang beli pakai duit tabungan Abang." Gibran berkata lirih di sebelah Bu Asti, membuat ibu-ibu cantik satu itu semakin erat mendekap tubuh putranya meski bau matahari. "Iya, Abang fokus nabung dulu makanya, kurang-kurangin tuh nongkrong-nongkrong gak jelas sama temen-temenmu di warkop."

"Gibran itu baik banget ya?" tanya Luna tiba-tiba. Kucing kecil ini masih setia menempel kepadaku dan tetap tak mau lepas meski orang tua angkatnya ingin menggendong dia agar tak pergi jauh. Bujuk rayu Jamal yang hendak mengajaknya duduk bersama di kursi panitia juga ditolak mentah-mentah oleh si manis.

Aku mencuri-curi pandang ke arah Ziezie yang sedang berlarian di sekitar tubuh Stevi. Betina cantik itu nampak begitu menikmati suasana di lapangan yang ramai menjelang siang. Rasanya aku ingin sekali mendekatinya, bermain bersamanya di sana, atau sekedar duduk saling sender berduaan seperti Bening dan Raden. Tapi apalah daya. Aku masih sadar posisiku sebagai kucing biasa yang tak pantas disandingkan dengan Ziezie si kucing mahal.

"Kalau boleh tahu menu makan siang keluarga Gibran hari ini apa? Aku lagi menimbang-nimbang nih mau ikut makan siang dengan siapa." Luna menginjak-injakan kaki bagian depannya yang lucu di atas rumput yang tumbuh di sekeliling lapangan.

"Memangnya kamu biasa makan makanan manusia?"

Kucing itu mengangguk ribut. "Makanan manusia lebih enak. Aku gak suka makanan kering yang dijual Jamal di tokonya, lebih enak ikan tongkol pakai nasi dari Juna."

Aku tertawa tanpa sadar. Kupikir kucing ini tipikal kucing manja yang diperlakukan sama mahalnya dengan Ziezie. Nyatanya kucing kecil itu sama sekali tidak menjaga makanannya sebagai ras kucing peliharaan. "Kamu pernah makan cicak?" tanyaku penasaran.

Luna malah mengernyit keheranan.

Tuh, kan, sudah kupastikan kucing sepertinya pasti tidak per---

"Memangnya ada kucing yang gak pernah makan cicak? Kasihan banget. Bening setiap hari menyuruhku berburu cicak di rumah, tapi akhir-akhir ini sedang aku biarkan dulu mereka, biar gemuk dan besar dulu. Baru aku puas makannya."

Aku menatap Luna tanpa berkedip. Ternyata Bening termasuk dalam golongan manusia yang mengkucingkan kucing. Meski selalu ingin dipanggil Mami, tapi anak kucingnya tetap dibiarkan menjadi kucing dan tidak diperlakukan selayaknya bayi manusia.

Si MengWhere stories live. Discover now