28. Masih Sama

193 44 19
                                    

Namanya Dokter Sheila.

Baik dan cantik sekali.

Dia merawatku selama aku tinggal di rumah sakit ini. Mungkin selama tiga hari? Aku lupa menghitungnya. Yang jelas Gibran datang menjengukku tiga kali selama aku di sini. Manusia itu masih memakai pakaian kerja dan rambut berantakan mirip sarang burung. Terlihat seperti ia sepulang kerja.

Dokter Sheila selalu sudah pulang kalau Gibran datang menjengukku. Kata manusia itu, jadwalnya sudah habis, dan dia akan kembali mememuiku besok paginya.

Huh, padahal aku ingin mempertemukannya dengan Gibran. Gibran pasti senang bertemu perempuan secantik Dokter Sheila.

Tapi, ngomong-ngomong Dokter Sheila sudah punya pacar belum, ya?

Manusia yang sejak tadi berputar-putar di pikiranku datang membawa sebuah kandang besi.

"Tumben kamu mau direpotin begini? Biasanya mana mau," sindir Dokter Agus yang waktu itu baru datang untuk menggantikan Dokter Sheila. Dibalas dengan senyuman manis dari si perempuan tanpa kata-kata.

Tubuhku lantas dimasukkan ke dalam kandang.

Aku sudah diperbolehkan pulang hari ini. Katanya aku pulih lebih cepat daripada kucing-kucing lain. Itu pasti berkat tubuh atletisku yang sehat dan kekar karena hobi berolahraga seperti Mas Bian. Berkat ketelatenan Dokter Sheila, Dokter Agus, dan perawat-perawat yang merawatku juga sih. Kepalaku jadi tidak pusing lagi, tubuhku tidak nyeri lagi, napasku juga tidak sesak lagi.

Selama di sini aku makan dengan lahap. Dokter Sheila memujiku pintar. Aku jadi malu dan salah tingkah. Biar kata kucing begini, aku juga lemah kalau berhadapan dengan manusia cantik seperti Dokter Sheila.

Ah, sayang sekali aku bukan manusia.

"Biasanya jam-jam segini ada cowok yang jenguk dia. Aku pikir dia bakalan dijemput."

Dokter Sheila menatap Dokter Agus dengan riang. Dia sepertinya senang sekali ingin mengantarku pulang. "Aku udah bilang Raden."

"Tapi, cowok yang jenguk itu bukan Raden loh, Shel!"

Perempuan itu tidak menjawab, tetapi mengangkat kandang berisi tubuhku dan langsung berpamitan. "Pergi dulu!"

Dan berakhirlah aku di sini sekarang, di dalam mobil bersama Dokter cantik yang serius melajukan mobil dengan sesekali melirik ke arahku, takut aku tidak nyaman.

Kalau diingat-ingat, sepertinya ini pengalaman pertamaku naik mobil. Gibran tidak pernah mengajakku naik kendaraan selain motor. Kalau keluarga mereka pergi bersama naik mobil, aku tidak pernah diajak, karena mereka pasti perginya lama. (Read: mudik lebaran alias pulang kampung wkwk)

"Rumah kamu di mana, Meng? Di SF ya?" Dokter Sheila mengajakku bicara.

"Bukan," jawabku. Dia pasti mengira aku kucing peliharaan Raden, makanya dia pikir aku tinggal di komplek itu.

"Aku punya teman di sana juga loh."

"Dokter Sheila berteman dengan Raden ya?" Sebetulnya aku sudah tahu mereka berteman, tapi kupikir itu hanya sebatas Raden sering mengantar Luna atau binatang peliharaannya yang lain datang ke klinik. Maksudku, apakah mereka berteman lebih dekat daripada seorang dokter dengan wali pasien?

"Dia teman yang baik banget. Aku nyesel karena terlambat berteman sama dia."

Apakah yang dia maksud di sini Raden?

"Kamu harus jadi kucing yang baik ya, kucing yang punya banyak teman, kucing yang disukai banyak orang, disukai sama kucing-kucing lain juga. Jangan seperti aku."

Si MengWhere stories live. Discover now