29. Ulang Tahun

210 41 5
                                    

Raden datang bersama seorang anak laki-laki yang langsung berlari setelah turun dari motor vespa kuning milik manusia itu. Aku bisa langsung melihatnya karena Ayu meminta Dokter Sheila memindahkan kandangku ke atas meja setelah mereka selesai makan. Ayu ingin melihatku sebagai kucing peliharaan Gibran yang katanya beruntung. Beruntung karena mendapatkan kasih sayang Gibran tanpa merasa kesulitan, tidak sepertinya yang terjebak dalam zona pertemanan.

"Cece, cece, ceceee," teriaknya sambil berlari menenteng dua tas berwarna biru yang entah apa isinya. "Hari ini aku ulang tahun loh, Ceee!"

Ayu menampilkan wajah terkejut untuk membalas antusias anak itu. "Wahhh, selamat ulang tahun! Kok gak bilang-bilang sih? Cece kan belum siapin kado buat kamu jadinya." Ia berpura-pura sedih juga. Kelihatan sekali aktingnya kurang maksimal. Katanya artis.

"Besok juga gak apa-apa kadonya, hihi."

"Hehhh!" Raden mendelik galak, membungkam suara cekikikan dari bocah laki-laki itu. Ia duduk persis di sebelah Dokter Sheila, sementara Dokter Sheila sengaja pindah ke kursi yang sebelumnya aku tempati. Sengaja memberi ruang untuk Raden setelah manusia itu datang. "Udah gede gak boleh minta-minta kado. Gak sopan."

Anak kecil itu mengerucutkan bibir, merasa kesal atas omelan Raden terhadapnya tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. "Bercanda, Ko. Cece gak perlu kasih aku kado ya, doa aja," balasnya kemudian.

"Pinter banget sih, Leo. Cece makin suka deh sama Leo. Jadi pacar Cece a--duhhh!" Ayu menunduk mengusap kaki yang sepertinya baru ditendang Raden.

"Mulai lo ngajar-ngajarin sepupu gue yang gak gak."

Aku bolak-balik melihat Raden, Ayu, dan anak laki-laki yang ternyata bernama Leo. Sepupu Raden. Aku baru melihatnya pertama kali ini. Dia tidak pernah ikut Raden pergi ke rumah Juna atau ke rumah Bening sebelumnya.

"Dih apa sih lo! Jodoh kan gak ada yang tau, ya gak Le?"

"GAK! Jangan dengerin omongan orang gila itu."

Semakin dilarang Ayu justru semakin semangat bicara di depan Leo. Seolah menganggap Raden sebagai angin lalu, ia kembali memusatkan perhatian pada anak manusia yang duduk di sampingnya. "Nanti, kalau semisal kamu memang ditakdirkan buat jadi jodoh Cece, kamu jangan jadi cowok yang galak kayak Koko."

"Ngomong sekali lagi gue cabut ubun-ubun lo ya!"

"Ih udah dooong, jangan berantem terus dooong," lerai Leo. Padahal bocah itu menikmati perkelahian antara Raden dan Ayu sejak awal. Bola matanya bergerak-gerak senang mengikuti siapa yang bicara. Sangat berbanding terbalik dengan ucapannya yang menyuruh berhenti. "Aku ke sini kan mau ngasih ini!"

Satu dari dua tas biru yang dibawa Leo diberikan kepada Ayu. Membuat perempuan yang mengaku sebagai Istri Gibran itu langsung memekik kesenangan sembari menyubiti pipi si bocah laki-laki yang seputih Bruno.

"Wahhh terima kasih sudah kasih Cece jajan. Besok Cece beliin ... hm apa ya? Leo lagi suka apa sekarang?"

"Main basket!" jawabnya pasti.

"Cece beliin ring basket gimana?"

"Udah ada." Kali ini bukan Leo yang menjawab, tetapi Raden.

"Kalau gitu ... bola basket?"

"Udah ada lima biji noh di rumahnya. Mau dibikin mandi bola apa gimana?" Lagi-lagi Raden membalas pertanyaan Ayu sebelum Leo sempat membuka mulut.

"Gue gak ngomong sama lo!"

"Cece sama Koko kenapa sih berantem terus kalau ketemu? Kata mami aku kalau berantem-berantem terus ujungnya bisa jatuh cinta loh!"

"Kapan mamimu ngomong gitu?"

Si MengWhere stories live. Discover now