11. Panitia Kurban

317 69 11
                                    

Sepulang dari kerja bakti, aku iseng membuntuti Gibran yang berjalan bareng Mas Bian, Cantik, dan Mbak Tari untuk pulang. Tadinya ada Juna juga, tapi laki-laki itu memisahkan diri di persimpangan blok menuju blok A.

"Gimana Juna, Tik?" Mas Bian menyenggol pelan lengan Cantik sambil tersenyum najis. Sudah pernah kubilang kan sebelumnya, Mas Bian itu orangnya agak aneh. Senyuman najisnya itu yang selalu terlihat aneh di mataku selain karena dia suka bicara dengan ayam seperti orang kasmaran.

Cantik memonyongkan bibir seperti ikan peliharaan Tirta. Ngomong-ngomong ikan aku jadi lapar lagi. Beberapa cubit donat dan kulit risol sama sekali tidak membantu apa-apa di perutku. Kalau nyolong ikan Mas Tirta nanti aku dimarahi Gibran. Tapi aku lapar!

"Dia biasa aja masa Mas. Ngeselin banget!" Tangan Cantik terkepal.

Mbak Tari tertawa. "Cantik dari tadi misuhin Juna gak ada habisnya. Gak capek apa?"

"Aslinya dia galau kok," kata Mas Bian, menanggapi kekesalan Cantik.

"Serius Mas?!"

Gibran yang tadinya diam menyimak, kini juga ikut-ikutan bersuara. "Lu gak lihat story Raden semalem isinya Juna nyanyi cinta bertepuk sebelah tangan terus?"

"Serius lo Bang?! Beneran gak sih?" Cantik sibuk membuka benda yang biasa disebut hape untuk memastikan ucapan Gibran yang sering tidak bisa dipercaya kebenarannya itu.

"Dari semalem gue WA dia juga gak dibales. Kayaknya ngambek, sih, tu anak sama gue." Mas Bian menarik tangan Mbak Tari untuk mendekat waktu bocah-bocah bersepeda datang dari arah belakang mereka. "Awas, Tar. Bocil kalo sepedaan suka gak lihat apa-apa."

"Eh, iya. Makasih."

Kalau aku manusia, pasti aku sudah senyum-senyum najis seperti Mas Bian. Sayangnya aku ini kan kucing, agak menyeramkan kalau aku tiba-tiba tersenyum.

Sepertinya kapal Mbak Tari dan Mas Bian sebentar lagi akan berlayar. Aku harus naik.

"Lagian ribet banget sih lu, ketimbang naksir Juna aja pake segala bikin dia cemburu. Orang mah kalau suka ya langsung aja bilang," kata Gibran sewot.

Cantik kelihatan tidak suka. "Gue kan cewek, Bang, gak sembarangan bisa confess ke cowok. Lo aja yang cowok gak pernah berani confess ke cewek yang lo suka, kan?"

Nah loh. Gibran di skakmat adiknya sendiri.

"Ya gue kan emang gak naksir siapa-siapa!" elaknya.

"Dikira gue gak tahu lo naksir Stevi?"

"Ke Stevi mah kagum doang, gak naksir yang gimana-gimana. Temboknya juga tinggi banget, mana sanggup gue."

Jadi selama ini Gibran juga ingin manjat tembok Stevi? Ya, tentu saja sulit. Gibran kan manusia, mana bisa dia melompat-lompat sepertiku. Mau seratus kali kuajarkan tekniknya juga dia mana bisa paham. Bisa-bisa sekali coba Gibran langsung patah tulang.

"Nah itu lu sadar."

Mas Bian mampir ke warung Tari untuk membeli kopi. Aku agak bimbang sebetulnya, ikut mampir juga untuk menunggu ikan pindang atau pulang ke rumah Pak Baihaki lagi. Tapi melihat Bu Haji di balik etalase warung membuat kakiku melangkah mengikuti Gibran dan Cantik. Malas sekali harus bertemu beliau.

"Bang, mama nyuruh beli galon buat dianter ke toko. Katanya cepetan."

Gibran mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.

Sesampainya di rumah, laki-laki itu langsung mengeluarkan motor. "Duitnya mana?"

"Gak dititipin. Pakai duit Abang dulu aja, nanti minta ganti mama."

Si MengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang