48. Masih Jadi Anak Mama

44 5 8
                                    


"Tidak ada seorang ibu, yang benar-benar membenci anaknya"

_Lusiana_

_OWL-MAN_

•••

"Maa," panggil Orlan.

"Kamu?" ucapan Lusi terhent, dahinya berkerut saat berbalik dan melihat Orlan.

Pemuda tampan, tinggi, dengan alis tebal, rahang yang tegas dan mata abu-abu miliknya yang menambah kesanaa ketampanannya.

"A-aku Orlan, a-anak Mama" jawab Orlan dengan suara bergetar menahan tangis.

"Kemarilah Orlando Alaska Gabriello, putraku," ucap Lusi menyebutkan nama yang ia berikan pada putaranya, sembari merentangkan kedua tangannya.

Kali ini, tidak ada tatapan benci dimata Lusi. Hanya ada tatapan sendu dengan penuh kerinduan.

Orlan yang tak menyia-nyiakan kesempatan itu, langsung berlari untuk memeluk Sang Mama.

"Kau sudah besar, anakku. Kau tumbuh dengan baik, bahkan tanpa aku," ucap Lusi.

"Maa," lirih Orlan.

"Kau merindukanku, Orlan?" tanya Lusi, tak terasa butir air mata juga jatuh dipipinya.

Ia tak sanggup jika terus-menerus membenci anaknya. Anak yang ia kandung 9 bulan, dan ia lahirkan dengan taruhan nyawa.

Mengingat saat tangan-tangan kecil itu berusaha menggenggamnya. Saat bibir kecilnya berusaha keras untuk pertama kalinya memanggil 'Mama'.
Sungguh, Lusi tidak bisa benar-benar membenci anaknya. Ia tersadar sejak beberapa hari yang lalu. Tidak mungkin anak sekecil Orlan, ingin mencelakai adik kembarnya sendiri.

"Emm, Sangatt" jawab Orlan yang memeluk Lusi dengan sangat erat.

Rasanya, ia tak ingin melepaskan pelukan itu, bahkan 1 detik saja. Begitu hangat saat tangan Lusi mengelus kepalanya. Ia pun dapat mendengarkan detak jantung Lusi saat ini. Semua ini terlalu menenangkan untuk Orlan.

Lusi melonggarkan pelukannya. Namun, Orlan yang takut Lusi akan pergi, pun ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Mama tidak akan pergi, Orlan" ucap Lusi tersenyum, menenangkan Orlan.

Orlan yang mengerti, mulai melepaskan pelukannya dan menatap Lusi dengan tatapan yang sangat sendu.

"Apa sesakit itu?" tanya Lusi, yang sangat menyesali perbuatannya pada anak sulungnya.

Orlan mengangguk, dan menunjuk ke arah dadanya, "disini sangat sakit, Ma. Orlan tidak sanggup."

"Seberapa keras Papamu dalam menghancurkanmu, anakku?" tanya Lusi, yang sangat mengetahui bagaimana suaminya.

"Papa tidak menyakitiku, semua luka yang ia berikan, sama sekali tidak menghancurkan aku, Ma. Aku hancur saat kalian membenciku," lirih Orlan dengan tangis yang masih mengalir.

Lusi terduduk ke lantai, kakinya seperti tidak bertulang. Semua perlakuannya, membuat dirinya juga tersiksa.

"Maafkan aku, Orlan. Aku bukanlah ibu yang baik untukmu, bahkan saat kau membutuhkan aku, aku justru membencimu, memakimu, memukulmu dan aku-" ucapan Lusi terhenti saat Orlan, duduk didepannya dan meraih kedua tangannya.

"Ma, ini semua bukan salah Mama," tegas Orlan.

"Seandainya saja dulu aku tidak membencimu, mungkin suamiku juga tidak akan menghukummu sekeras ini, Orlan," sesal Lusi.

Barta adalah seorang suami yang sangat mencintai dan menyayangi istrinya. Setiap tetes air mata kesedihan yang keluar dari mata istrinya, itu akan membangkitkan amarah yang sangat besar pada dirinya. Maka dari itu, ia memperlakukan Orlan sangat buruk. Terlebih, melihat istrinya sempat depresi. Barta, tidak peduli jika orang menganggap caranya ini salah.

OWL MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang