🍂Menjadi Teman🍂

392 49 4
                                    

“Dari semalam Fauzan gak pulang?”“Iya Tante

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

“Dari semalam Fauzan gak pulang?”
“Iya Tante. Fauzan bilangnya ada urusan di luar.”
“Urusan apa? Bukan bisnis kan? Apa Fauzan masih sering ke Club?”
“Bukan Tante. Kalau Fauzan bermalam di Club, saya pasti ikut Tante. Hehehe....”
PLAKKK! Arlan mendapatkan pukulan tas branded dari mamanya Fauzan.

“Gara-gara kamu, anakku jadi sering berbuat yang enggak-enggak. Pengaruh buruk!!” berlalu meninggalkan kesakitan Arlan pada perlakuannya.
Arlan hanya mengelus dadanya dengan sabar menghadapi sosok mengerikan mama Fauzan.

“Mampus deh gue kalau punya nyokap segalak tante Mayang. Songong banget.”
Dengan cepat ia mencari nomor Fauzan. Ingin segera meluapkan emosinya.

Fauzan yang sudah terbangun sejak Subuh, membersihkan dirinya sebentar. Tubuhnya sudah serasa remuk tertidur dalam posisi terduduk yang tidak nyaman untuknya. Keluar toilet dan mendapati Aira dengan segelas teh hangat di tangannya.
“Minum dulu Mas. Biar lebih enakan. Kita tunggu yang lainnya ya. Mereka masih cari sarapan untuk kita.”

Drrrtttt.... drrrtttt....
Dering handphone Fauzan mengganggunya.
“Sebentar ya.”

Keluar dari ruangan dan berdecak kesal dengan panggilan Arlan.
“Halo!” Bernada ketus.
“Lo dimana sih?! Nyokap lo marah-marah ke gue Zan.”
“Kenapa Mama?”
“Enggak tahu deh. Datang-datang langsung marah. Nyokap lo udah bolak-balik ke rumah lo, ke kantor tapi tetap gak nemuin lo. Gue jawab aja gak tahu sesuai arahan lo. Sekarang lo cepat balik ke sini! Ada beberapa tamu juga yang mau ketemu dengan lo Zan. Dan jangan lupa telepon balik nyokap lo!”
“Iya, iya bawel.”

Kembali masuk dan masih mendapati Aira tengah terduduk menunduk sembari masih memegangi segelas teh untuknya. Fauzan mengulas senyum gemasnya melihat Aira saat ini.

“Albi masih belum bangun?”
“Belum Mas. Mas, ini diminum dulu tehnya.”
Menyodorkan kembali. Fauzan pun menerima dengan senangnya. Di sebalik tenggakannya, Fauzan terus menatap Aira yang masih menunduk.

“Terimakasih ya. Hmm.... aku gak bisa lama-lama Aira. Aku harus ke kantor dulu. Kalau udah beres, aku bakal ke sini lagi menjenguk keponakan baruku ini.” Mengusap-usap lembut pipi chubby Albi.

“Sekali lagi terimakasih banyak Mas. Selama ini Mas udah sering ngebantu keluarga Aira. Aira minta maaf kalau masih sering beranggapan buruk tentang Mas, gampang emosi dengan Mas. Alasan Aira bersikap seperti itu, karena Aira gak mau Mas semakin berharap. Aira belum bisa memikirkan hal sejauh itu Mas. Mas menginginkan Aira sama seperti pria lainnya. Pernikahan bukan suatu hal yang mudah. Aira butuh keyakinan. Aira bisa menerima Mas sebagai teman saja tapi tidak untuk yang lain. Mas bisa paham kan?”

Fauzan menyunggingkan senyumannya. Ia sedikit kecewa dan merasakan patah hati untuk kesekian kalinya. Tapi tidak bisa juga ia memaksa. Aira bukanlah perempuan sembarangan yang dengan mudahnya menerima begitu saja bualan pria sepertinya.

“Ok. Berarti sekarang kita beneran sudah berteman kan?”
Aira mengangguk perlahan.
“Ok, teman. Kalau ada apa-apa atau perlu bantuan, teman baru kamu ini bisa diandalkan. Aku pamit sekarang ya. Sampaikan salamku untuk Arbani, Delia dan Ibuk. Aku harus pergi sekarang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Menanti LillahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ