🍂Pujaan🍂

579 71 2
                                    

"Eh, nak Aira

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Eh, nak Aira. Rajin banget ya pagi-pagi begini sudah bersih-bersih. Calon mantu idaman ini mah."
Aira tersenyum membalas sapaan buk Qori dan juga buk Susi.

"Kalau saja nak Aira tidak menolak anak saya, nak Aira tidak usah repot-repot jadi babu seperti ini. Saya berikan Asisten Rumah Tangga untuk kamu. Tapi, mau bagaimana lagi. Niat baik anak saya ditolak. Tinggi banget ya selera kamu? Padahal, anak saya calon Dokter loh."

Sebuah sindiran buk Susi berikan. Ini yang selalu membuat Aira tak suka. Dari sekian banyaknya lamaran pria-pria yang ia tolak, semakin banyak pula gunjingan dan olok-olokan yang dirinya terima. Apalagi, jika sampai harus Ibuk yang menghadapi.

"Maaf Buk, Aira tidak mengharapkan apapun. Aira meyakini bahwa jodoh itu sudah di tangan Tuhan. Kalau memang tidak berjodoh, sekeras apapun usaha kita tetap saja ada jalan untuk tidak bisa bersatu. Terimakasih atas niat baik mas Danang dan juga Ibuk. Semoga mas Danang bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik dari saya."
"Iya, semoga saja. Kamu akan menyesal telah menolak anak saya Aira."
Melengos pergi dengan angkuhnya.

Aira hanya perlu melapangkan hatinya untuk tetap terus menerima olok-olokan para tetangga yang telah ia kecewakan.
"Aira, ayo masuk! Nanti biar Ibuk saja yang lanjutkan."
Aira menurut saja. Ia pun membutuhkan ketenangan hati dari omongan-omongan pedas para tetangganya.

"Jangan perdulikan omongan-omongan orang Aira. Itu bukan salah kita."
"Aira sudah mengecewakan semua orang Buk." Meneteskan buliran air matanya yang sudah tak terbendung lagi.

"Hak kamu menerima dan menolak. Kamu juga masih muda Aira. Kamu berhak menilai karakter setiap pria yang berusaha melamar kamu. Tapi, kalau memang ada satu pria yang mendekati kamu yang kamu rasa dia benar-benar tepat untuk kamu, tidak ada salahnya untuk menerima, Aira. Agar kita juga terlepas dari fitnah dan omongan-omongan yang tidak baik."
Aira mengangguk mengiyakan nasihat Ibuk.

Ibuk membawakan wedang jahe dan beberapa potong roti untuk mengisi perut kosong mereka.
"Hari ini kamu gak ke toko, Aira?"
"Enggak Buk. Aira di rumah aja. Mempersiapkan diri untuk sidang besok Buk."
"Oh, iya Ibuk lupa. Semoga lancar ya Nak."
"Amin Buk."

💐~💐


Kelegaan bagi Aira saat ia telah menyelesaikan sidang skripsinya. Tidak begitu sulit. Sebab, ia menguasai semua dengan baik. Tapi semua belum berakhir. Setelahnya, Aira masih akan tetap merevisi kembali dan menemui Dosen pembimbing. Jika benar-benar laporan skripsinya telah sempurna, barulah ia meminta merekomendasikan kepada Dosen pembimbing untuk menjilid Lux, membuat Jurnal Ilmiah dan persiapan lainnya. Hingga waktu wisuda pun benar-benar ia jalani dengan rasa syukur sebab penantian ia selama ini ialah lulus dengan nilai terbaik dan memberikan bukti bahwa ia bisa membanggakan keluarga terutama Ibunya. Dulu, ia berjanji untuk akan berubah dari kenakalan-kenakalan remajanya dan membuktikan bahwa ia juga bisa mewujudkan impian maupun cita-citanya.

Sisa waktu luangnya ia isi dengan berkumpul bersama teman-teman seperjuangannya di kantin kampus. Sekadar bersenda gurau mengenang masa-masa kebersamaan mereka selama hampir 4 tahun ini.
"Kalau ada Aira di sini, so pasti kenyang nih kita."
"Benar Jes. Enak banget lagi kue buatan kamu Aira. Lain kali aku mesan deh yang ini."
"Alhamdulillah, ditunggu pesanannya. Atau kalian bisa langsung ke toko aja. Sering-sering ke rumah juga ya. Nanti, aku kasih gratisan deh."
"Wahhh.... beneran ya Aira?"
"Iya."

"Assalamualaikum...."
Sapaan pria yang baru saja hadir dan langsung mengambil posisi duduk di hadapan Aira. Ia tersenyum sembari menatap lekat ke arah Aira.

"Waalaikumsalam. Rusuh banget lo Dafa. Datang-datang langsung nyerobot tempat duduk gue aja."
"Hehehe.... maaf Cha. Hai Aira! Udah lama banget gak mandangin kamu."
Aira tertunduk untuk menjaga pandangannya. Ia mencoba untuk juga tersenyum.

"Kita sama-sama sibuk Daf. Sibuk dengan skripsi kita masing-masing." Tutur Aira.
"Oh iya, sidang kamu gimana Aira? Lulus?" Tanya penasaran Dafa ingin tahu.

Aira mengangguk.
"Iya, Alhamdulillah lulus."
"Alhamdulillah.... Berarti, besok kita sudah bisa foto wisuda bareng dong Ai."
"Terus, dengan kita gak nih? Kok cuma Aira aja yang diajak sih?"
"Cha, itu namanya lagi usaha pendekatan. Enggak peka banget sih lo." Timpal Elsa.

Obrolan mereka sudah berubah menjadi pembahasan yang ringan. Aira selalu lepas tertawa jika sudah berhadapan dengan teman-teman rusuhnya. Dari dulu, Aira memang memiliki sikap pendiam. Harus dipancing obrolan dulu baru ia berani berbicara. Tapi, tetap asik untuk diajak tukar pikiran.

Kini, mereka mulai undur diri. Mengarah ke tujuan masing-masing. Begitu juga dengan Aira.
"Aku duluan ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati Aira."

Aira melangkah menuju parkiran motornya. Namun tak berapa lama tangannya dicegat dan membalikkan posisi tubuhnya. Ia sedikit takut dan terkejut.
"Astaghfirullah....! Dafa?! Kamu ngagetin aku banget."
"Hahaha.... maaf Ai."

Aira cepat melepas tangannya dari genggaman Dafa. Dan menunduk kembali. Dafa menggaruk gusar tengkuknya. Ingin berkata tapi malu.

"Hmm.... kamu gak lupa kan? Sampai kapan aku harus nunggu jawaban kamu Aira?"
Aira memahami maksud pertanyaan Dafa. Sudah dari lama Dafa memiliki perasaan terhadapnya. Hal itu yang selalu membuat Aira tak nyaman jika harus berlama-lama berhadapan dengan Dafa.

"Maaf Dafa, a-aku gak mau pacaran." Terangnya dengan jujur.
Dafa menghela napasnya.
"Aku tahu. Tapi bisa kan kita menganggap kedekatan kita ini lebih dari seorang teman? Komitmen. Aku ingin berkomitmen ke kamu kalau aku akan menjaga hati aku ini untuk kamu. Sembari aku memfokuskan diri untuk mendapatkan gelar aku sebagai Dokter. Dan aku akan menabung untuk bekalku melamarmu. Aku benar-benar mencintai kamu Aira. Kamu bisa kan juga berkomitmen ke aku?"

Aira lama terdiam. Ia tidak bisa menjawab.
"Aira.... aku tahu kamu memiliki perasaan yang sama ke aku. Tapi aku gak tahu apa yang selalu membuat kamu ragu."
Aira tetap diam. Pandangannya pun selalu tertunduk.

Tak lama, terdengar suara adzan Ashar berkumandang. Aira menggunakan hal itu sebagai alasan. Ia juga tak mau menunda ibadah wajibnya.

"Ma-maaf Dafa, udah Adzan. Aku mau langsung pulang. Salat tidak bisa ditunda kan? Assalamualaikum."
"Tapi Ai.... Waalaikumsalam."
Dafa kembali ditinggal dengan tanpa jawaban yang pasti. Aira cinta sejatinya. Yang selalu bisa membuat ia uring-uringan setiap waktu. Pandangannya nanar menatap kepergian Aira.

💐~💐

Florist Bakery. Betah berlama-lama hanya untuk menunggu seorang wanita pujaannya. Namun, hingga sore pun wujudnya tak terlihat. Fauzan berulang kali menanyakan keberadaan Aira. Walau jawaban tetap sama.

"Mbak Aira kemungkinan gak akan ke sini Mas."
Tetap saja dengan keras kepalanya Fauzan menunggu lama kemunculan Aira. Sampai para pelayan bosan menghadapi desakan-desakan Fauzan menanyakan keberadaan Bosnya.

'Aku rasa dia benar-benar gak ke toko hari ini. Arghhh! Kamu benar-benar obsesiku Aira.'

Fauzan berjalan ke arah kasir dan membayar semua pesanannya.
"Masnya lucu banget kalau lagi kesal. Kalau kangen langsung di telepon aja Mas. Atau langsung ke rumahnya aja."

'Nomor? Oh, iya. Kenapa gak dari kemarin sih aku minta nomornya aja. Bego banget.' Sungut batinnya.

"Nomornya berapa?" Pinta desaknya sembari menyodorkan handphone nya.
Sang kasir mengetikkan beberapa angka di layar handphone Fauzan. Dan mengembalikannya kembali. Fauzan menyunggingkan senyumannya.
"Thanks, ya. Aku pulang." Pamitnya.

Sang kasir memandang sendu setelah kepergian Fauzan. Diikuti pelayan yang lainnya.
"Enak banget ya jadi mbak Aira. Banyak banget cowok-cowok kece pada ngantri."
"Iya. Mas Fauzan ganteng banget lagi. Spek Zain Malik. Iri aku."

Bersambung....

Menanti LillahWhere stories live. Discover now