Mentari tertawa melihat seberapa gugup Hengki kini di hadapannya. Seperti anak kecil yang kepergok memakan permen tanpa izin.

"Ngapain ketawa? Emang ada yang lucu?"

"Lo yang lucu," kata Mentari. "Gak usah salting gitu kali."

"Kenapa juga harus salting sama lo?" Hengki mencebik.

"Ya siapa tau lo beneran tiba-tiba naksir gue, tapi kalo sampai iya awas aja gue musuhin lo beneran!"

Deg.

Ada sesuatu yang memukul dada Hengki telak, rasanya sakit dan sesak. Kalimat yang dilontarkan Mentari itu menghunus tepat ke ulu hati. Meski dibalut candaan tapi itu berhasil memporak-porandakan segalanya.

Bagi Mentari mungkin Hengki hanya sebatas sahabat kecil yang bertumbuh bersama, bagi Mentari ciuman malam itu memang tak berarti apa-apa sebab begitu cepatnya gadis itu melupakan sesuatu yang seharusnya itu menjadi buah pikiran yang lama bersarang diingatan. Tapi lagi-lagi, bagi Mentari semua tentang Hengki tidak pernah ada yang istimewa.

Dan Hengki menyadari itu semua dari awal, dia terlampau jauh melangkah di hubungannya dengan Mentari, sedangkan gadis itu tidak melangkah kemana-mana untuk mengembangkan perasaan satu sama lain.

Gerbang SMA Mutiara saat ini masih sesak dengan lalu-lalang orang keluar, Hengki dan Mentari berdiri di samping gerbang agar tak menghalangi laju keluar kendaraan dan orang-orang.

Dari sibuk dan sesaknya orang-orang, Hengki membisu dengan kaku di hadapan Mentari. Pasang mata dari banyak orang yang menyadari keberadaan Hengki dengan seragam sekolah yang berlogokan SMK Permata mencuri perhatian banyak orang. Mulanya Hengki tak menyadari sampai Mentari lebih dulu sadar akan tatapan kebencian orang-orang disekitar menghunus tajam kearah mereka berdua—tepatnya pada Hengki dan seragam sekolahnya.

"Anak Permata masih punya nyali datang kesini."

"Mau cari ribut lagi kayaknya?"

"Kok, bisa sama anak sekolah kita!"

Pendengarna Mentari menangkap kurang lebih seperti itu, gunjingan dan bisik-bisik beberapa orang yang melintas melewatinya.

"Hengki! Cabut sekarang!"

Mendengar seruan Mentari, Hengki kontan tergugah. Lalu kebingungan dengan nada bicara Mentari yang terdengar sedikit panik.

"Kenapa?"

"Seragam lo!"

Mentari menunjuk logo SMK permata di lengan baju seragam Hengki. Detik selanjutnya Hengki menelan ludahnya susah payah, bukan karena dia takut. Tapi karena dia sedang tidak berniat mencari gara-gara.

Masalah dengan SMA Mutiara meski sudah berlalu berbulan-bulan lamanya, Hengki paham betul akan ketakutan mereka—jika hal serupa kembali terulang. Juga akibat kasus besar hari itu, banyak korban salah sasaran yang menimpa murid SMA Mutiara. Jadi kebencian dari tatapan yang mereka berikan adalah bentuk kehati-hatian.

"Gue kesini bukan mau nye—"

"Mentari ..."

Jantung Mentari hampir mencelos saat Rakha tiba-tiba menepuk bahunya pelan.

Suasana berubah canggung seketika, Hengki terlihat menajamkan tatapannya dan menguliti dari atas kepala hingga ujung kaki Rakha. Tangannya mengepal erat, bersiap untuk menghajar si brengsek di hadapannya itu kalo saja dia tidak ingat di mana sekarang posisinya. Saat dengan memori yang jelas Hengki mendapatkan sahabatnya menangis sesenggukan untuk laki-laki brengsek itu.

Romansa Patah HatiKde žijí příběhy. Začni objevovat