(b) Cewek-cewek Teija

1K 250 32
                                    

[Nih, udah dikasih tahu loh si Jean. Tapi apa masalah berhenti disitu? Hm, no no no🤭. Happy reading dan kasih kesan pesan kalian, yes. Biar semangat update dakuh.]

Tubuh Teija kelihatan sangat lunglai saat masuk ke tenda warung soto ayam yang sudah terdapat Jean di sana. Pria itu bisa melihat gerakan tangan Jean yang menepuk kursi di sebelahnya dengan semangat. Lalu, tanpa banyak basa basi Teija duduk dan menggerakan tangannya seperti meminta.

“Mana duitnya?” tanya Teija.

“Ish! Buru-buru amat, sih? Pesen dulu sana. Katanya mau sarapan.”

“Gue nggak mau lo bayarin lagi, ya, Je. Bayar sendiri-sendiri aja.”

“Iya, iya! Cerewet banget toh kamu. Cepetan pesen, nanti keburu kelas dimulai.”

Teija memang secara tak langsung memiliki tugas untuk memesan makanan setiap kali mereka bertandang di warung kaki lima. Tanpa memberikan penjelasan, Teija memesankan menu sendiri dan Jean tidak akan masalah dengan hal ini. Apa pun yang dipesan  oleh Teija, pasti akan Jean nikmati dengan baik. Meski memang terkadang Jean akan memisahkan apa pun bahan makanan yang tak disuka ke piring lain.

“Gue pesen es teh semua, nggak usah repot lo protes. Biar cepet pesennya.”

“Iya, iya. Aku tahu, kok.”

Teija masih belum bisa fokus pada kegiatannya hari ini. Selama Nova masih merajuk, hari Teija tidak akan baik-baik saja. Rasanya sungguh tak nyaman berada di satu rumah yang sama tapi tak saling bicara. Memang lebih baik memberi jarak, tapi berjarak pun tetap menjadi beban pikiran.

“Aku mikirin omongan kamu beberapa waktu lalu, loh, Jo.”

Teija menoleh, menaruh sikunya ke meja untuk menyangga kepalanya yang enggan tegak sendiri.

“Mikirin omongan apaan?”

“Itu loh, omonganmu soal ... pacar.”

“Oh, hm. Kenapa?”

Teija tidak mengambil pusing dengan ucapan yang pernah dikatakannya pada Jean. Jika perempuan itu memiliki pria incaran, itu malah bagus. Siapa tahu Jean bisa lebih sering bahagia dengan kehadiran kekasih. Eh, tapi Jean nggak kelihatan menyedihkan juga selama ini. Teija sama sekali tidak merasa bahwa Jean sedang depresi meski mengerjakan tugas kuliah dan pekerjaan secara bersamaan. Malah selama beberapa waktu mereka berteman, Jean semakin menunjukkan jati dirinya yang mandiri dan semangat.

Teija mengakui bahwa Jean memang perempuan hebat. Tidak semua orang bisa melakukan apa yang dilakukan Jean. Belum lagi tempaan kota Jakarta yang keras ini. Sungguh keluguan dan semangat Jean berbanding terbalik dengan kondisi Jakarta. Vibe Jean memang seperti di pedesaan, sederhana dan tenang. Apalagi saat mendengar logat Jawa-nya yang muncul, sungguh Teija merasa sedang kuliah di daerah lain dan bukan sebaliknya.

“Eh, aku ...”

Jean belum selesai dengan ucapannya, tapi soto ayam dan nasi mereka sudah datang.

“Lanjut nanti, makan dulu aja. Gue udah laper. Butuh tenaga buat dengerin cerita lo habis ini.”

“His, dasar! Bilang aja kamu emang kelaperan. Kasihan banget, sih, bujangan nggak ada yang ngurusi.”

Teija tersedak dengan kuah soto yang baru masuk ke mulutnya. Batuk-batuk yang dialami Teija membuat Jean langsung panik. Perempuan itu tanpa sengaja memberikan es teh miliknya pada Teija.

“Minum dulu, minum, Jo. Kamu ini, loh. Makan sampe keselek ki piye toh? Alon alon wae, Jo.”

Teija menenangkan dirinya sendiri hingga rasa perih yang menyedak di hidungnya hilang.

“Udah?” tanya Jean.

Teija mengangguk perlahan. “Udah, udah. Lagian itu kenapa malah es teh lo yang dikasih ke gue, sih?”

Jean menatap gelas teh tersebut, lalu meringis. “Hehehe, nggak sadar. Aku panik lihat kamu keselek.”

Nafsu makan Teija mendadak hilang. Dia jadi merasa tak nyaman karena mendengar ucapan Jean tadi.

“Jen, gue bukan bujangan.”

Teija tidak tahu kenapa dirinya merasa harus menjelaskan ini. Namun, sebagai teman satu kampus, Teija akan meluruskan salah paham Jean.

“Hah? Maksudmu gimana, Jo? Bukan bujangan? Udah punya pacar?”

Teija menggelengkan kepala cepat. “Bukan, bukan. Gue udah nikah. Gue bukan bujangan lagi seperti yang lo bilang. Gue udah ada yang ngurusin, Jen. Gue rasa lo perlu tahu soal ini biar nggak ngira gue masih sendiri.”

Teija bisa melihat ekspresi terkejut dari Jean. Perempuan itu bahkan tampak lemas setelah mendengarnya. Tidak tahu apa yang ada di kepala Jean, tapi Teija lega memberitahu mengenai hal ini.

“Jen? Woi! Lo nggak apa-apa?”

“Eh, nggak ... nggak apa-apa.” Kali ini Jean menatap Teija dengan lekat. “Berarti ... kita masih temenan?”

Teija tidak memahami maksud ucapan Jean dengan ‘masih temenan’, karena memang mereka berteman. “Iyalah. Kita temen satu fakultas. Emangnya kita selama ini apaan? Musuh?”

Jean tertawa tersendat-sendat, membuat Teija ngeri melihatnya.

“Jean? Lo kenapa, sih?”

“Haha, nggak apa-apa. Hahaha. Nggak apa-apa, Tejo. Nggak apa-apa.”

Yang Teija tahu, ucapan nggak apa-apa yang biasanya muncul dari bibir perempuan adalah kebalikannya. Jadi, alasan apa yang membuat Jean tidak baik-baik saja?

The Baby's Contract✓Kde žijí příběhy. Začni objevovat