(b) Rumah Tangga

1.1K 251 24
                                    

[Hai, aku mau kasih tahu juga. Aku lagi ikutan event nulis Star Writing Contest 3 di KBM app. Kalian bisa mampir karena cerita itu gratis, ya. Kasih dukungan dan komen asik. Judulnya LEBIH DARI SEWINDU nama akunnya Freelancercreator. Ramaikan, ya. Karena update rutin setiap hari.]

Agus menghela napas untuk kesekian kalinya. Dia tak paham dengan apa yang adiknya sedang lakukan ini. Meminta dijemput dan menodong untuk dibelikan makanan enak di salah satu tempat makan langganan keluarga yang menyediakan aneka menu sambal. Sungguh hal seperti ini membuat Agus kesal. Dia sudah merahasiakan pertemuannya dengan si janda salon yang menawan itu, tapi entah bagaimana Nova bisa tahu dan membuat rahasianya itu dalam bahaya.

“Ngapain lo jam segini minta makan ke gue? Pake acara ngancem segala lagi!”

Nova tidak menggubris pertanyaan kakaknya itu. Dia masih kesal pada sikap Teija yang tak peka, pria itu terlalu menyebalkan untuk terus dipikirkan. Ingin sekali Nova melupakannya, tapi tak bisa. Jika Teija tak mengalah dan meminta maaf, maka rasa dongkol di dalam diri perempuan itu tidak akan berhenti.

“Ngambek sama laki lo? Kenapa lo nyusahin gue, sih, Nopil?”

“Mending gue larinya ke lo, Bang Agus! Kalo gue larinya ke laki-laki lain, bisa geger satu keluarga!” balas Nova dengan ketus.

Agus berdecak. “Bener juga, sih. Tapi emang lo ada laki lain? Lebih ganteng dari Teija? Wah, kalo iya, lo gila juga, Nov. Muka pas-pas an, tapi bisa gaet laki-laki ganteng.”

“Sialan. Lo pikir janda lo itu lebih cantik dari gue?!”

Agus berusaha membekap mulut adiknya itu. “Kenapa lo sebut janda, janda, melulu??? Di sini masih banyak orang, Nopil!”

“Bodo amat! Lagian lo juga nggak jaga mulut. Inget, ya, Bang. Tampang lo juga pas-pas an, karena mulut lo yang pinter jualan omong sama ludah buat bikin seneng cewek-cewek.”

Sekali lagi Nova membuka fakta yang ada. Pria itu hanya bisa menghela napas dan merasakan pedasnya makanan yang mereka pesan.

Untuk sejenak, tidak ada yang bersedia bicara. Agus membiarkan Nova menenangkan diri dengan merasakan sensasi pedas. Begitu Nova sudah terlihat lebih bersahabat, barulah Agus berusaha bicara.

“Kalo lo marah sama Teija, harusnya lo ngomong langsung sama orangnya. Kalo lo kabur kayak gini, bahkan bang Janu pasti marah. Lo bukan anak kecil yang bisa lari dari masalah. Lo udah dewasa, harusnya menghadapi masalah.”

“Nggak usah sok bijak kayak bang Janu, deh!”

“Serius, Nopil! Nggak setiap hari gue bakal takut sama ancaman lo itu. Kalo suatu saat gue udah nggak tertarik sama perempuan itu, gue nggak akan mempan lo ancam dengan bilang ke ibu dan ayah. Yang ada malah lo yang kena damprat karena udah jadi istri malah kabur-kaburan.”

Nova mulai memproses ucapan Agus. Dia tahu cara yang dilakukannya ini tidak tepat. Namun, Nova masih tidak terima dengan respon Teija tadi. Biarkan saja pria itu mencarinya. Bagus kalau Teija juga panik karena istrinya tak ada di rumah.

“Apa yang ada di otak lo? Berharap laki lo langsung panik nyariin lo di jalanan? Lo pikir hidup ini sekelas drakor yang suka lo tonton, ya? Kalo perempuannya kabur karena ngambek, terus bakalan dikejar-kejar kayak kuda liar?”

Nova terdiam karena tebakan kakaknya.

“Beneran lo berharap begitu??? Lo—astaga, Nopil! Berapa umur lo sekarang? Hampir sembilan belas tahun. Lo emang muda, tapi bukan anak-anak yang punya dunia imajinasi! Lo udah menghadapi realita hidup! Kalo lo kabur, Teija mungkin bingung, tapi bukan berarti dia bakalan cariin lo kayak orang tolol. Karena dia tahu lo udah gede, tahu jalan pulang.”

Semakin Agus bicara, semakin banyak harapan Nova yang terbungkam. Kakaknya yang hobinya asal bicara dan tidak serius, nyatanya bisa menceramahi Nova sebegini dalamnya.

“Bang, lo tahu kan kalo cewek tuh mauny—”

“Banyak maunya! Dan nggak semua kemauan cewek bisa cowok tahu kalo nggak dibilangin yang bener.”

Nova mencebik, dia tak suka dengan fakta tersebut. “Masa apa-apa harus dibilangin?! Emangnya nggak bisa pikir sendiri?!”

“Beneran adek gue otaknya sinting, ya. Untung aja Teija nggak kabur karena daya pikir lo yang ngawur itu.”

“Gue nggak bego! Kaum cowok aja yang nggak peka.”

“Bodo amatlah, Nov. Gue mau bayar makanannya dulu, abis itu balik. Kalo lo masih mau ngambek di sini, gue nggak peduli. Besok gue masih ada kelas pagi.”

“Bang Agus!”

Tidak mempedulikan seruan adiknya, Agus tetap berjalan menuju kasir dan fokus membayar. Dia membiarkan Nova yang tetap takut jika ditinggalkan sendirian.

Dengan melihat sikap adiknya ini, Agus semakin sadar bahwa pernikahan tidaklah mudah. Jadi, lebih baik tetap main-main saja mumpung masih muda.

The Baby's Contract✓Where stories live. Discover now