(a) Sah? SAH!

1.2K 252 35
                                    

[Guys, bisa nggak ya pada follow Instagram freelancerauthor sampe 2000? Kalo bisa, aku bakalan kasih gratis special chapter mendatang di Karyakarsa. Tapi kalo gak nyampe-nyampe 2000 follower, yaudah, berbayar aja. 😉]

Berkumpul di rumah orangtua Teija memang sudah paling pas. Setidaknya tak ada saudara Nova yang kemungkinan besar berisik nantinya. Mereka berenam berkumpul di sana dan mulai membahas mengenai pernikahan resmi Nova dan Teija.

“Soal pernikahan anak-anak kita yang harus diresmikan secara negara, memang ada baiknya diketahui tetangga juga. Menurut saya dan istri, untuk meminimalisir fitnah yang nantinya datang ke keluarga.” Arsaki memberikan pendapat yang menurut Nova dan Teija memang ada benarnya.

Akan ada banyak pertanyaan dan omongan dari berbagai pihak jika melihat tiba-tiba Teija dan Nova sudah saling menempel layaknya surat dan perangko. Jika meresmikan pernikahan hanya berangkat ke KUA saja, rasanya tidak etis. Terlebih mereka tinggal di negara penuh budaya. Salah satunya adalah budaya julid.

Jamal yang memang sejatinya tidak banyak memprotes, mengangguk. “Saya juga punya pendapat demikian, Pak Saki. Memang ada baiknya kita tetap adakan acara yang tidak megah, tapi cukup membuat tetangga tahu bahwa putra putri kita sudah sah.”

Dua pria itu membahas banyak hal, khususnya juga apakah ada tamu undangan dari kedua belah pihak. Jika ada berapa jumlahnya. Semua itu mempengaruhi acara yang harus mereka adakan. Para perempuan menghitung, menjumlah, dan memperkirakan segalanya. Ujungnya ada saja hal tak sejalan antara acara resepsi sederhana dengan jumlah orang yang diperkirakan. Banyak revisi, banyak perubahan, banyak pertimbangan. Lagi dan lagi, hingga tak sadar mereka sudah menghabiskan waktu lebih dari tiga jam untuk berdiskusi.

Sudah diputuskan, acara sederhana mereka tak bisa dilakukan di perumahan. Mereka harus menyewa restoran atau kafe untuk membuat acara sederhana. Sebab jika dilakukan di perumahan, yang ada malah acara mereka dijadikan tontonan konyol saja. Membuat acara di satu tempat yang dibatasi lebih aman. Untuk tetap mengenang acara pernikahan juga, mereka tetap menyewa jasa fotografer, tapi hasil dari kenalan Janu yang memang sudah memiliki studio foto untuk hasil yang tetap apik.

“Nggak nginep, Nov?” tanya Arsaki pada putrinya.

Nova menggeleng pelan. “Besok Teija ada kelas, Yah. Harus bikin bekel pagi-pagi kalo Teija kuliah.”

Meski tak ada Agus atau adik Nova yang lain. Rupanya para orangtua juga tetap suka menggoda pasangan pengantin muda yang minim pengalaman.

“Wih, Nero pasti seneng tiap hari dimasakin istri. Pantesan nggak pernah pasang status lagi keluar cari makan di WhatsApp, ya, Pa.” Mama Teija menggoda.

“Bagus itu, Ma. Anak kita jadi nggak boros punya istri yang pinter masak. Ternyata Nova keliatan cuek pinter masak juga kayak ibunya.”

Teija yang risih dengan godaan dari para orangtua memilih segera mengajak Nova pulang ke kontrakan. Lebih nyaman di sana, ketimbang dijadikan bahan gurauan para tetua.

Begitu sampai di kontrakan, mereka mulai mencari-cari kontak orang yang bisa membuatkan undangan untuk pernikahan sederhana mereka. Keluarga besar masing-masing keluarga dari yang dekat sampai yang jauh harus tetap diberi undangan. Beberapa tetangga yang memang memiliki track record yang baik juga tetap mendapatkan undangan. Sisanya hanya segelintir teman akrab orangtua mereka saja. Jika teman SMA Teija dan Nero pasti akan melihat postingan media sosial yang mereka miliki. Toh, nanti juga ada hasil tangkapan kamera, itu bisa menjadi bukti paling sah untuk membuat geger teman sekolah mereka dulu.

“Astaga!” seru Teija.

“Kenapa, Ja?”

“Ini, rapat dadakan anak BEM.”

Teija mulai sibuk menggulirkan layar. Membaca dengan cermat isi chat grup tersebut.

Nova melirik pada jam dinding, 3.35. Sudah sore sekali.

“Kalo berangkat jam segini, kamu balik kapan?”

“Ya, malem. Ada-ada aja, sih!”

Nova tidak tahu bahwa rapat BEM di kampus bisa sangat sekacau itu jadwalnya. Namun, mengingat ada kelas yang dimulai sore hari juga, hal itu tidak mengherankan. Mereka sudah mahasiswa, ada kata ‘maha’ di depan kata siswa. Ini menunjukkan mereka lebih di atas siswa biasa. Tuntutannya sudah pasti berbeda.

“Va, nggak apa-apa kalo aku berangkat sekarang?”

“Ya, nggak apa-apa. Yang capek kamu sendiri ini.”

“Lah? Nadanya kok, gitu? Marah?”

“Nggak. Ngapain marah. Udah sana berangkat!”

Teija memeluk tubuh istrinya dari samping. “Jangan gitu ngomongnya kalo emang nggak marah.”

“Harusnya gimana, sih, Ja???”

“Bilang, ‘Iya Teja sayang, nggak apa-apa kamu berangkat sekarang. Hati-hati, ya.’ gitu, Va.”

Nova memutar bola matanya. “Kok, menjijikan, ya, Ja?”

“Nggak ada yang menjijikan kalo sama pasangan sendiri. Lagian katanya mau jalanin rumah tangga yang serius? Selain panggilan aku dan kamu yang dibiasakan, kalimat penuh kasih sayang juga perlu.”

Meski menghela napasnya tak rela, tapi akhirnya Nova tetap melakukan yang suaminya katakan.

“Iya, iya! Kamu boleh berangkat sekarang, Teja. Hati-hati, ya.”

Teija tersenyum senang. “Sayangnya mana?”

“Sayangnya aku kasih kalo malam ini bisa pulang sebelum aku tidur. Aku kasih di aktivitas ranjang.”

“Serius???”

“Hm.”

“Oke, aku akan berusaha bikin rapatnya nggak terlalu lama dengan opini cemerlangku. Supaya bisa dapet jatah plus plus malem ini!”

Indahnya pengantin baru.

The Baby's Contract✓Where stories live. Discover now