(b) Sibuk

1.1K 234 18
                                    

[Aloha! Ayo, dong komennya. Kok, makin turun aja🥲. Aku menunggu komenan unik kalian padahal, loh. Tapi malah semakin miris😩. Ayo, komen yang membangkitkan semangatku.]

Diantara banyaknya kesibukan yang Teija jalani. Dia hanya tak paham mengapa berakhir di ruangan yang berisi wajah-wajah asing di dalamnya. Maksud Teija, dia memang masih anak baru yang tidak mengenal siapa-siapa. Namun, untuk jadwal di kelas, dia sudah mengenal beberapa orang dan cukup akrab hingga bisa janjian mengerjakan tugas bersama atau hanya sekadar nongkrong saja. Di sini, di dalam ruangan yang masih dipenuhi obrolan wajah-wajah asing, Teija merasa aneh sekali.

Akhirnya obrolan masing-masing anak baru terhenti. Digantikan dengan suara si ketua BEM yang meminta seluruh anggota baru yang lolos wawancara mengenalkan diri. Sebenarnya Teija malas sekali basa basi begini. Namun, karena dirinya sudah terjebak dengan segala aktivitas yang ada di dalamnya akibat paksaan Farid—diiming-iming memiliki banyak koneksi pasca kuliah, maka Teija tak berniat mundur seperti pengecut.

"Itu, yang duduk paling pojok! Berdiri coba. Nama lo siapa?"

Teija yang merasa terpanggil mau tak mau berdiri. Dia menyebutkan nama dengan suaranya yang khas. Entah kenapa kali ini seluruh tatapan fokus sekali padanya, tak ada yang sibuk sendiri. Jika begini Teija malah semakin risih.

"Nama saya Teija Nero, Kak."

"Iya, terus? Cuma gitu doang?"

Teija melihat kakak tingkatnya ini dengan lurus. Dia si ketua, seorang perempuan, tapi tak gentar sama sekali dengan apa pun.

"Tadi, kan, disuruh sebutin nama, Kak."

Secara otomatis seluruh teman si ketua bersorak riuh. Ajang debat seperti tampaknya membuat mereka senang.

"Berarti lo daftar di kampus cuma pake nama? Jati diri lo berupa NIM, terus fakultas lo apa, nggak disebutin?"

"Semua yang ada di sini, kan, udah jelas dari fakultas yang sama. Hubungan Internasional. Dan, ya, oke ... saya sebutkan NIM saya."

Teija menyebutkan nomor induk mahasiswanya. Tidak mendebat lagi dan urusan selesai dengan si ketua BEM tersebut. Langkah tersebut ampuh untuk membuat Teija tak menjadi pusat perhatian lagi. Mereka melakukan kegiatan perkenalan dan dilanjutkan pembahasan beberapa rencana organisasi dalam waktu terdekat. Ada banyak rencana program mereka, tapi Teija tak mau ambil pusing. Dia memilih ikut-ikut saja. Toh, nantinya Farid juga akan membantunya.

Selesai dengan segala pertemuan, tahu-tahu, langit sudah semakin turun. Sore hari menyapa dan Teija mengecek ponselnya dengan segera. Akibat mereka semua tak diizinkan membuka ponsel selama rapat berlangsung, inilah akibatnya. Teija jadi mengabaikan pesan yang dikirimkan oleh Nova.

Dia baru akan menekan layar notifikasi dari istrinya itu. Namun, pemandangan dari arah parkiran menarik perhatiannya. Seorang gadis sedang kesulitan menyalakan motor matic-nya. Teija tak mengenali gadis itu, tapi dia kasihan melihatnya. Hari akan semakin gelap, dan jujur saja kondisi kampus semakin menyeramkan semakin malam, apalagi bagi perempuan. Teija membayangkan jika posisi gadis itu adalah Nova, jadi dia memilih mendekati dan membantu.

"Kenapa motornya?" tanya Teija.

"Oh, ini. Nggak mau nyala. Udah aku starter dari tadi nggak mau."

Teija mengernyit dengan panggilan 'aku' yang digunakan oleh gadis itu.

"Aku?" sahut Teija.

"Eh, maksudnya ... gue."

Teija yang mendengar logat 'gue' itu menjadi berat dan tak cocok di lidah si gadis langsung paham. Gadis itu sepertinya berasal dari daerah Jawa.

"Ya, udah. Biar saya bantu aja."

Teija menggunakan panggilan yang lebih formal agar gadis itu menggunakannya juga.

Karena menstarter biasa tak bisa, maka Teija langsung mengambil inisiatif menggunakan metode kick starter. Setelah beberapa kali injakan, akhirnya motor tersebut menyala. Wajah lega dari si gadis langsung muncul.

"Wah, alhamdulillah. Makasih, ya, Kak."

"Saya maba, nggak perlu panggil kakak."

"Oh, maaf. Saya juga maba. Kamu jurusan apa kalo boleh tahu?"

"Hubungan Internasional," jawab Teija.

"Oh, aku anak Ilkom! Kita satu fakultas."

"Hm." Teija tak terlalu peduli dengan hal itu. "Karena udah nyala, saya duluan. Permisi."

"Oh, iya-iya. Sekali lagi makasih, ya."

Teija hanya mengangguk dan segera berjalan menuju motornya. Tak menunggu lama untuk mengendarai motornya itu dan fokus pada jalanan pulang. Meski tubuhnya lelah, dia tak mau membuat Nova lebih cemas.

The Baby's Contract✓Where stories live. Discover now