(a) Naik Tingkat

1.7K 269 33
                                    

[Udah baca special chapter nya mereka berdua? 🤭 Kalo belum masih bisa, kok baca. Mau double update? Komennya sampe 50 yes, yang bikin semangat gituloh. Jangan lupa follow Instagram freelancerauthor.]

Seperti kebanyakan kelulusan, masih banyak tugas menanti di depan. Baik Teija dan Nova sedang sibuk mendaftarkan diri di berbagai universitas pilihan. Seperti yang sudah bisa ditebak, Teija lebih beruntung ketimbang Nova. Lelaki itu diterima dalam langkah pertama di universitas negeri yang begitu populer. Almamater kuning sudah lelaki itu kantongi. Sedangkan Nova hanya bisa mencebikkan bibir melihat seluruh keberuntungan suaminya itu.

“Ngeri yang langsung lolos SNMPTN! Mukanya cerah banget,” celetuk Agus.

Janu, Agus, Teija, dan Nova berkumpul di balkon atas. Tempat yang disayangi Samila karena memang dirawat dengan sangat baik untuk menikmati pemandangan sore hingga malam.

“Keren, saya aja nggak seberuntung kamu. Walaupun saya dinilai paling pinter di keluarga ini.”

Janu dan Teija duduk menghimpit Nova. Sedangkan Agus duduk sendirian di seberang karena sibuk merokok. Janu sebenarnya juga perokok, tapi tak seaktif Agus.

“Bang Janu, tuh, terlalu realistis. Nggak mau ribet daftar ini itu buat masuk kampus negeri, tapi milih langsung daftar di kampus swasta.”

Janu tidak mengelak dengan tuduhan Agus. Dia tahu bahwa ucapan adiknya itu benar. Malas menjadi salah satu siswa yang mengandalkan keberuntungan dan bersaing dengan ribuan siswa lainnya. Lebih baik Janu mengambil langkah pasti saja. Toh, urusan prospek kerja tergantung pada kemampuan masing-masing orang sendiri. Yang lulusan negeri belum tentu beruntung mendapatkan pekerjaan. Yang paling pasti adalah memiliki koneksi untuk bisa sukses begitu lulus kuliah nanti.

“Sebenernya yang saya lalui nggak ribet, Bang. Ini emang pure beruntung aja.”

Mereka semua mengangguk setuju. Yang membuat heran adalah Nova yang mendadak menjadi pendiam.

“Kamu ngapain, sih, ikutan cowok-cowok pada nongkrong?” tanya Janu.

“Kenapa? Bang Janu nggak suka?!”

“Galak banget kamu. Awas aja kalo kamu minta—”

“Ihhhh! Bang Janu mainnya ancaman! Males banget.”

“Lo diancem sama Bang Janu juga nggak ngaruh. Sekarang lo bisa minta ini itu ke suami lo, Nopil!”

Nova melirik Teija di sampingnya. Tatapan itu tak bersahabat sama sekali.

“Suami?? Lah, suami gue aja belom kerja! Suami nggak pernah kasih nafkah!”

Agus tertawa. “Wah, parah, Ja! Padahal lo hampir tiap malem kasih bini lo nafkah batin.”

Janu yang melihat semua itu langsung mengubah suasana kembali serius. “Harusnya kalian emang tinggal sendiri. Kata ibu sama ayah, kalian udah sering ke kontrakan si Mbah. Kenapa nggak mulai hidup mandiri berdua?”

“Bang??? Aku baru bilang kalo suamiku nggak punya penghasilan!”

“Emang kenapa? Itu resiko kalian. Udah siap dinikahin, berarti siap juga hidup lepas dari tanggungan orang tua. Kalo Teija belum ada penghasilan, ya, dia harus kerja. Nggak peduli dia sibuk sama tugas kuliah nantinya. Udah tanggung jawabnya dia. Masa kamu digarap tapi nggak dibiayain?”

Janu juga anggota keluarga yang suka menyeletuk tak menggunakan perkiraan, dan celetukan itu keluar saat ini.

“Mumpung suami kamu kuliahnya di kampus negeri yang katanya nggak makan banyak duit kayak kampus swasta. Lebih ringan, tuh.”

“Hm! Enak banget kalo ngomong,” gumam Agus.

“Kamu diem, Gus. Abang tahu kamu sama Teija jauh beda. Kalo kamu yang disuruh tanggung jawab sama anak orang, abang nggak percaya.”

“Kena lagi!”

Teija menatap Janu. Dia tentu saja tidak menganggap ucapan kakak pertama Nova itu sekadar gurauan. Dia tahu bahwa Janu mempercayakan secara penuh adik perempuannya pada Teija. Jadi, sudah seharusnya memang Teija menjadi lebih mandiri, kan?

“Gimana, Va? Kamu mau nggak kita tinggal sendiri?” tanya Teija yang mengganti panggilan karena ada Janu.

“Hah? Beneran??”

Teija mengangguk sangat serius. Janu dan Agus menjadi saksi bahwa lelaki itu tampak siap mengurus kehidupan adik perempuan mereka.

“Tinggal di mana, Ja?”

“Di kontrakan mbah kamu dululah. Kan, kita bisa bayar sewa juga nantinya.”

“Nah, bagus. Teija udah pecah pikirannya. Sekarang tinggal kamu, Nova. Mau bersikap lebih dewasa atau nggak? Kamu udah bukan anak-anak lagi, udah mau kuliah, udah jadi istri. Mau diketek ibu terus?”

Nova tidak punya pilihan selain harus bersikap dewasa seperti yang Janu katakan. Kuliah atau bekerja, ini semua adalah tanggung jawab mereka sebagai pasangan yang sudah menikah. Bukan waktunya lagi untuk menjadi anak-anak manja. Mereka sudah harus menghadapi kehidupan yang sebenarnya.

The Baby's Contract✓Where stories live. Discover now