(d) Sibuk

1.1K 231 11
                                    

[Yipiii! Double update, nich! Aku membawa pasangan bocil konyol ini lagi. Ada yang sibuk mau meresmikan supaya legal di mata masyarakat🙈. Nova kalo gak dijulidin jadi warga baru, gak inget deh, tuh😄.]

Salah satu sumber pahala bagi seorang istri adalah mematuhi suaminya. Nova tentu saja tidak langsung mengiyakan seluruh perintah yang Teija berikan. Jika sudah tak masuk akal, Nova tak akan mengambil pusing untuk menolaknya. Jadi, persoalan membuatkan bekal suami bukanlah hal tak masuk akal. Justru lebih baik lagi, Nova bisa mengurangi uang jajan kuliah suaminya dan hanya memberikan uang bensin saja. Dengan bekal, pengeluaran mereka bisa ditekan lebih baik.

“Ja, udah belum?? Ini kita mesti buru-buru belanja, loh. Nanti masaknya makin siang.”

Kebiasaan Teija ketika bangun tidur adalah buang air besar sesegera mungkin. Tidak ada yang bisa menahan kebiasaan itu. Subuh sudah terhitung menjadi kegiatan yang menghalangi pria itu untuk segera membuang ‘hajat’, jadi setelah shalat, dia tak bisa menahan diri untuk segera menuju kamar mandi.

“Sebentaaarrr! Masih rada mules.”

Nova berdecak dan kembali duduk di sofa ruang tamunya yang kecil. Untung saja kontrakan neneknya ini tak seperti kontrakan apa adanya di Jakarta. Kontrakan itu termasuk yang memiliki ruangan cukup besar dibanding yang lainnya. Perawatan kontrakan juga sangat dijunjung tinggi. Intinya kontrakan tersebut memang cocok untuk pasangan muda yang disiplin keuangan dan suka dengan tempat tinggal serta lingkungan yang bersih.

Jika kontrakan milik nenek Nova adalah tipe kontrakan berdempetan di lingkungan orang kampung, maka motor besar Teija sudah menjadi bahan gunjingan.

“Tejaaa, aku berangkat sendiri kalo masih lama, nih!”

Itu bukanlah pernyataan sukarela, melainkan ancaman yang kemungkinan besar membuat Teija kehilangan jatah ranjangnya jika tak segera menurutinya.

Tak lama, pintu kamar mandi terdengar terbuka. Segera Teija membenarkan celananya dan mengajak sang istri untuk pergi.

“Ayo, berangkat!”

Menaiki motor ke tempat belanja, pasangan itu tak membutuhkan waktu lama untuk sampai. Jika berjalan kaki sudah pasti mengulur waktu yang mereka punya.

“Aku tunggu di sini, ya.” Teija berkata.

“Iya. Kamu ada request menu apa?”

“Apa yang kamu masak aku makan,” jawab Teija.

Nova tidak bertanya lagi. Teija memang tidak rumit soal makanan, itulah sebabnya Nova juga tak bingung ingin memasak apa pun. Meski begitu, Teija tak suka makan sesuatu yang terlalu pedas. Dia suka pedas, tapi tak sepedas yang biasanya Nova konsumsi.

“Neng, warga baru, ya?” tanya si penjual sayur.

Sepagi ini yang berbelanja lumayan banyak, tapi rata-rata adalah penjual makanan matang. Sebab dilihat dari jumlah belanjaan yang begitu banyak, rasanya tak mungkin ibu rumah tangga biasa akan berbelanja sangat banyak.

“Eh, iya, Bu. Baru sebulan lebih di sini.”

“Oh, pantes jarang lihat.” Si pedagang menganggukan kepalanya. “Orang tuanya berarti pindah ke daerah sini, ya, Neng?”

“Bukan, Bu. Saya baru pindah sama suami saya.”

Wajah si pedagang terlihat terkejut. “Loh, kirain masih sekolah. Neng-nya kelihatan muda banget.”

Nova hanya bisa tersenyum mendengar ucapan itu. Dia memang masih sangat muda. Mungkin pedagang itu akan semakin terkejut jika tahu dia menikah saat masih SMA.

“Tapi biasanya RT sini bakalan ngasih tahu kalo ada warga baru. Apalagi yang udah nikah. Emangnya neng nggak ditanyain kartu nikahnya?”

Kartu nikah? Nova hampir lupa bahwa dirinya dan Teija baru menikah secara siri. Mereka belum menikah secara negara. Ini bisa menjadi masalah jika tak segera diurus.

“Neng? Neng? Ini tambah apa lagi belanjanya?”

“Eh, tambah cabe 5000, bawang merah sama bawang putih masing-masing 3000, ya, Bu.”

Untung saja ingatan Nova mengenai bahan masakan tidak terlupakan karena memikirkan soal surat nikahnya dan Teija.

Setelah selesai berbelanja, Nova segera menghampiri sang suami yang masih agak mengantuk duduk di atas motor.

“Teja, jangan tidur di sini.”

“Eh, udah selesai?”

Nova mengangguk dan segera kembali pulang. Perempuan itu tidak akan membahas mengenai sindiran pedagang sayur tadi di jalan.

“Ja, kayaknya orang tua kita lupa soal sesuatu.”

“Lupa soal apa?” balas Teija.

“Nikah secara resmi. Pernikahan kita belum diakui secara negara, loh, Ja.”

“Oh, iya! Kita belum ngurus-ngurus itu. Tapi masalahnya, kayaknya bukan karena orang tua kita yang lupa, Va. Kita udah dewasa, mungkin mereka udah menyerahkan semuanya sama kita untuk diurus sendiri.”

Nova tak langsung mengiyakan pendapat Teija.

“Memangnya kita mau jalan sendiri ke KUA? Orang tua kita nggak perlu tahu kalo kita akan melegalkan pernikahan? Semandiri-mandirinya kita, tapi semua itu perlu komunikasi yang jelas sama keluarga besar, kan?”

“Terus gimana menurut kamu?”

“Kita atur jadwal, dong, buat ngomong ke orang tua kita. Terus ngurus berkas ini itu, jadi kesannya bukan pengantin kawin lari gitu loh. Kita perlu rundingan juga perlu atau nggak resepsi, macem-macem, deh!”

Teija setuju dengan ucapan istrinya. Dia mengiyakan pendapat Nova dan sibuk mencari bantal untuk tidur kembali.

The Baby's Contract✓Where stories live. Discover now