MWiM 30

156 6 0
                                    

"Are you okay, darl?," tanya Angga menurunkan Ara dengan hati-hati.

Ara menganggukkan kepalanya, "tentu, kenapa aku harus tidak baik-baik aja?," ujarnya.

"Masalah yang tadi?," Angga menatap Ara dengan sedih.

Entah bagaimana Ara sangat peka untuk malam ini, ia langsung tahu arah pembicaraan mereka sekarang.

"Oh ayolah, sudah saatnya untuk mempublishkan hubungan kita. Aku akan tetap memberitahukan kepada semua orang bahwa kamu adalah milikku. Hanya saja, kita ketahuannya sekarang. Ya sekalian saja aku katakan semuanya, biar gak ada satu orang pun wanita yang ganjen padamu," Ara mengedipkan sebelah matanya kemudian memasuki mobil.

Angga hanya diam dengan wajah datarnya. Padahal hatinya berdetak 100 kali lebih cepat karena kedipan maut sang istri.

***

Ara dan Angga memasuki rumah, ternyata orang tua mereka sedang menunggu dengan raut wajah yang cemas.

"Sayang, kamu tidak apa-apa kan?," Elmira menghampiri Ara dan memeriksa seluruh tubuh putrinya, apakah ada goresan luka atau yang lainnya.

"Bun, aku baik-baik saja kok. Gak usah sekhawatir itu, lagian ada Angga disampingku. Dia tidak akan pernah membiarkan aku terluka seujung kuku pun," Ara menatap Angga dengan tatapan penuh makna.

Elmira menghela napas leganya setelah mendengar penuturan meyakinkan dari sang putri. Benar, ia tak perlu khawatir tentang apapun, menantunya akan selalu berada disamping putrinya.

Darma menepuk tangannya untuk memecah suasana sedih bercampur haru yang terjadi disekitar mereka.

"Nah, sekarang hentikan acara sedih-sedih nya. Mari kita rayakan tentang hubungan yang sudah di publish ini," semuanya tertawa bahagia menikmati acara yang diadakan secara mendadak oleh Darma.

"Sayang, bunda pulang dulu ya. Jaga diri kamu baik-baik," pamit Elmira.

"Bunda gak mau nginap disini? Sudah larut soalnya bun, mama dan papa juga mau pulang?," Ara bertanya pada mereka.

"Tidak usah sayang, mama sama papa ada urusan bisnis di luar kota besok pagi. Jadi banyak hal yang harus dipersiapkan," jawab Gita.

"Ohh, begitu ya ma," Ara menunjukkan wajah sedihnya.

"Tidak usah bersedih, mama sama papa disana cuma 3 hari," Gita menyentuh wajah menantu cantiknya kemudian mengelusnya pelan.

Ara tersenyum dan menganggukkan kepalanya mengerti.

"Sayang, bunda sama ayah ada jadwal operasi besok pagi. Maafin bunda ya nak," Elmira menatap Ara tak enak hati, ia tahu bahwa anaknya tak sekuat itu, dia sangat ingin menemani putrinya, tetapi putrinya sudah memiliki pendamping hidup. Ia ingin putrinya lebih mengadu pada suaminya, mengeluarkan keluh kesahnya pada sang suami.

"Gak papa bun, biasa aja. Ara kan udah besar, kalau gitu kapan-kapan nginap disini ya bun, mama juga."

Mereka tersenyum dan mengangguk seraya memberikan jawaban pada ucapan Ara.

***

"Sayang, hari ini tidak usah menunggu aku pulang ya," Angga yang sedang bersiap-siap dengan cepat.

"Baiklah, aku juga mau keluar ntar," ujar Ara yang menyiapkan segala persiapan Angga.

"Mau kemana?," ucapan Ara itu membuat seluruh kegiatan Angga terhenti dengan otomatis.

"Mau ke perpustakaan, mau nyari referensi untuk melanjutkan bab skripsi aku," jelas Ara.

"Pergi dengan siapa?," tanya Angga.

"Sendirian kok."

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya sayang," Angga mengecup pipi, kening, dan juga bibir Ara.

Ara melambaikan tangannya kemudian kembali ke dalam rumah, ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah.

Ara mulai menyiapkan segala hal yang akan ia butuhkan nanti, kemudian segera bersiap dan berdandan rapi.

Entah kenapa, hari ini Ara ingin naik taksi saja. Dia sangat malas untuk menyetir mobil, kemageran dirinya meningkat 80 persen hari ini. Mau tidur, tapi masih ingat skripsinya yang masih terbengkalai, jadi ya sudahlah dilanjutkan saja.

Ara berjalan ke depan gang rumahnya, dan mulai memesan taksi. Ia duduk di bawah pohon yang telah disediakan tempat duduknya.

Tak perlu menunggu waktu yang lama, taksi yang ia pesan sampai tepat didepannya saat ini.

"Ke perpustakaan kota ya, pak," ujar Ara.

Taksi itu melaju menuju tempat yang diminta oleh Ara. Ara membayar ongkos taksi, kemudian memasuki perpustakaan tersebut.

Ara menelusuri setiap lorong dan mencari-cari buku yang ia inginkan. Setelah itu, ia mencari tempat duduk dan memulai pekerjaannya.

Awalnya masih tenang-tenang saja, tetapi sesuatu mulai mengganggu Ara.

"Wah, gak nyangka ya, ternyata takdir berpihak pada kita berdua. Apakah kita berjodoh? Bukankah ini adalah pertemuan ketiga kita secara tidak sengaja?," Ara mengalihkan perhatiannya pada orang yang sedang berbicara padanya saat ini.

"Lo gak ada kerjaan lain apa? Kenapa lo haris ada disini? Sedangkan tempat masih banyak disana," ujar Ara menatap pria yang ada didepannya ini dengan kesal.

"Kenapa aku tidak boleh duduk disini? Inikan tempat umum, bukan milik pribadi sweety," ujarnya sambil mengedipkan matanya sebelah pada Ara.

"Najis lo, pergi lo jauh-jauh," Ara menatapnya dengan jijik bercampur kesal.

"Jangan terlalu benci, kamu tau pepatah ini kan, benci itu tak jauh berbeda dengan cinta," godaan itu benar-benar membuat Ara kesal tak tertahankan.

"Hei, Liam. Dengar ya, gue mau belajar. Lo kalau gak ada urusan sama gue, tolong tinggalin gue sendirian disini," ujar Ara mengusir Liam.

"Aku akan nungguin kamu sampai kamu selesai dengan skripsi mu itu," ujarnya.

"Gak usah aku kamu, jijik gue. Udah pergi sana deh lo, kayak benalu aja lo," Ara menatap Liam sinis.

"Gak papa aku jadi benalu, asal aku menjadi benalu dihatimu," ucapnya menatap Ara dengan kerlingan mata yang menggoda.

"Bangsat, gue udah bilang, pergi lo jauh-jauh dari sini. Gak ngerti bahasa manusia ya lo!," teriak Ara marah.

"Mohon perhatian, meja nomor 86, diharap untuk tidak berbuat keributan didalam perpustakaan," peringatan keluar dari spiker dan orang-orang menatap kesal kearah Ara.

"Ahh, bangsat. Ini semua gara-gara lo ibab," Ara mulai mengemaskan semua barang-barangnya dan keluar dari sana, namun Liam malah mengikutinya seperi anak ayam, dan itu membuat Ara benar-benar risih.

"Oh ayolah, menjauh dari gue, sebelum lo tau akibatnya," ancam Ara.

"Oke," tiba-tiba Liam mengangkat tangannya dan menjauh dari Ara.

Tapi, seseorang mulai membekap mulut Ara. Ara sadar bahwa kain yang digunakan untuk membekapnya berbau alkohol. Ara sempat melawan, namun bekapan itu malah semakin kuat, mau tak mau Ara terpaksa menghirup kain itu, karena udara disekitarnya sudah habis karena dekapan yang erat.

***

"Ugh," Ara siuman dan menatap sekelilingnya.

Tempat yang asing, dan juga aneh, namun cantik. Kamar yang didesain sesuai dengan warna kesukaannya yaitu abu-abu. Ia tetap menatap sekeliling, Ara tak menyangka bahwa foto dirinya ditempelkan dimana-mana.

Itu membuatnya meremang takut, stalker itu benar-benar membuat Ara mual. Tangannya tak diikat, kakinya juga tak diikat, bahkan mulutnya tak di bekam. Bahkan ia terbangun di ranjang yang sangat empuk. Penculikan yang aneh, begitulah pemikiran Ara.

To be continue

My Wife is Mine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang