KECURIGAAN

75 15 1
                                    

Ketukan pintu dan suara salam seorang abdi dalem perempuan menyentakkan Fida dan Bu Nyai Marhamah yang tengah menikmati makan siang. Sontak, keduanya menoleh ke arah suara dan menghentikan makan sesaat.

"Iya, ada apa?" tanya Bu Nyai Marhamah dengan nada suara lembut.

"Ada Gus Hilmy di depan gerbang asrama putri. Madhosi Neng Fida," jawab santri perempuan itu sopan.

"Nyariin saya?" Fida menunjuk dirinya sendiri. Lantas menoleh ke arah Bu Nyai. "Kok mencari kulo, Mi? Ada apa, ya?"

"Lah, kamu, kok, nanya sama Umi. Ya, mana Umi tahu. Urusan sekolah, mungkin." Bu Nyai mengedikkan bahu.

"Ya, mungkin saja, sih." Fida mengalihkan pandangannya ke arah santri tadi. "Ya , sudah. Suruh tunggu sebentar."

Santri itu mengiakan permintaan Fida, lantas pamit dan berlalu. Sementara perempuan yang memang hampir menyelesaikan makan siangnya itu, mempercepat makannya untuk segera menemui Hilmy.

Fida beranjak dan segera melangkah ke luar ruang makan, melintasi ruang keluarga, lalu menyosori lorong khusus tamu perempuan menuju gerbang pesantren putri.

Ada kepentingan apa sampai Hilmy hendak menemui Fida? Jika kepentingan sekolah, kira-kira apa? Tak ada perkiraan sama sekali yang mampu Fida pahami. Bukankah mereka baru saja mengenal.

Fida menghentikan langkah di belakang gerbang dengan pintu kecil yang terbuka. Ia berdeham dan membuat Hilmy yang berdiri memunggungi pintu, seketika menoleh dan tersenyum ramah. Ternyata, sepupu jauhnya itu membawa kantong plastik kecil berwarna hitam di tangan

"Iya, Kak. Ada perlu apa, ya, kok nyari aku?" tanya Fida dengan mimik wajah penuh tanya.

"Oh, ini,"Hilmy menunjukkan kantong plastik di tangannya, "aku belikan bakso. Tadi, kan, nggak ikut." Ia menyodorkan kantong plastik itu.

"Oh …" Fida meraihnya seraya tersenyum dan mengangguk sopan, "terima kasih banyak."

"Iya, Ning." Hilmy pun melakukan hal yang sama. "Ya, sudah, aku pamit dulu, ya?"

"Oh, Iya, Kak." jawab Fida dengan sopan sembari kembali mengangguk dan menunggu Hilmy berlalu sebelum kembali masuk.

Ada sepercik bahagia memendar di hati Fida. Bahkan, ingatan tentang  insiden bumbu sate itu kembali berkelebat. Tapi tentu saja, ia segera menepisnya. Apa-apaan ini? Jelas Hilmy melakukannya sebagai saudara dan rekan kerja.

Di ruang makan, Bu Nyai masih duduk santai. Sepertinya, dia baru saja menyelesaikan makannya.

"Apa, itu, Fid?"

"Bakso, Mi. Ternyata, cuma mau ngasih ini." Fida menunjukkan baksonya kepada sang ibu. "Kulo sudah kenyang. Mau diapain, ya?"

"Masukin kulkas aja. Buat makan malam nanti." Bu Nyai menyentakkan dagu ke arah lemari pendingin di pojok ruangan.

"Oh, inggih." Fida mengangguk, lantas membuka pintu kulkas.

"Kamu memangnya sudah kenal dekat sama Hilmy, Fid?" tanya Bu Nyai Marhamah yang seketika membuat Fida mengernyit.

"Mboten, Mi," Fida melongok melewati pintu lemari pendingin, "kulo baru tahu namanya pagi tadi. Dia itu kakak tingkatnya Neng Adeeva dan Bu Nayla." Fida menutup pintu kulkas dan melangkah ke luar ruang makan.

Tapi, baru selangkah, Bu Nyai kembali memanggilnya, "Sek, Fid. Sini, dulu."

Fida berbalik dan duduk kembali di hadapan sang ibu. "Dalem?"

"Itu, kok, ujug-ujug ditumbaske bakso, toh? Katanya baru kenal." Perempuan berabaya abu-abu itu menatap putrinya dengan tatapan keheranan dan ... terasa sedikit menyelidik.

Fida duduk di kursi yang berseberangan dengan sang Umi. Ia tersenyum geli. Mungkin, Bu Nyai Marhamah berpikir aneh-aneh. "Oh, tadi, kan, mereka semacam reuni dadakan, Mi. Namanya juga teman lama. Nah, kulo diajak. Tapi, kan, mboten sae. Wong di warung Barat situ."

"Oalah … Tak pikir apa," satu embusan napas lega dan Bu Nyai tersenyum, "Yo, wis, kalau gitu." Bu Nyai mengangguk-angguk pelan.

Fida hanya menggeleng seraya mengulum senyum dan beranjak untuk segera kembali ke kantor sekolah karena bel masuk akan segera berbunyi.

Lantas, dua minggu berikutnya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Fida. Ia yang tengah mencari kitab untuk jam pelajaran siang bakda Dzuhur, segera membukanya. Seorang santri putri sudah berdiri di depan kamar.

"Niki, dari Gus Hilmy." Dengan sedikit menunduk takzim, santri putri itu menyodorkan kantong plastik kecil.

"Kak Hilmy?" Fida mengernyit menerima bungkusan itu. Ia melongok isinya. Seperti nasi bungkus.

Santri itu segera pamit setelah dirasa tak ada yang Fida butuhkan lagi.

Sepeninggal santri itu, Fida menengok bungkusan itu di ruang makan. Ternyata, rujak cingur.

Ia mendesah panjang. Bagaiaman harus memakannya? Baru saja ia selesai makan siang.

Lantas, di tengah kebingungannya, Fida dikejutkan oleh panggilan Bu Nyai Marhamah. Orangtua perempuannya itu berdiri di depan pintu ruang makan. "... kamu mau makan lagi, Fid?"

Fida menggeleng cepat. Ia memang duduk menghadap ke arah pintu. "Mboten. Ini dikasih Kak Hilmy."

Seketika Bu Nyai Marhamah mengernyit keheranan. "Kok, dia sering ngasih makanan?"

"Kurang tahu kulo, Mi." Fida hanya mengedikkan bahu.

"Kapan itu dia bukannya ngasih petis Madura, ya?"

"Loh, niku, kan, oleh-oleh, Mi. Buat Mbak Robi'ah dan Mas Sofyan juga, kan? Kebetulan dikasihnya lewat kulo  karena kebetulan papasan di depan sekolah."

"Oh ..." Bu Nyai mengangguk-angguk lantas berlalu.

Dan akhirnya, Fida memutuskan untuk memberikan rujaknya kepada salah seorang santri. Ia sudah tidak lagi sanggup menambah makanan ke dalam lambungnya. Pun begitu, rujak cingur adalah makanan yang wajib segera dimakan dan tak mungkin disimpan lama.

Kebiasaan Hilmy mengirim makanan tak berhenti di rujak itu saja. Ketika ada acara makan-makan sesama pengajar, Hilmy malah membawakan makanan dari tempat diadakannya acara. Dan yang jelas, itu memakai uang pribadinya.

Sejatinya, ada sebersit perasaan aneh yang menelusup hati Fida. Tapi, dia seketika menepisnya. Mana mungkin boleh berpikir seperti itu? Segala rasa yang mulai bertunas, harus seketika dihabisi agar tak fatal pada akhirnya. Fida tak mau patah hati karena hal konyol. Lagipula, mereka tak pernah berhubungan kecuali melalui kiriman makanan saja. Sampai saat ini, keduanya tak saling menyimpan nomor ponsel mereka. Tak ada alasan untuk melakukannya.

Tapi, kebaikan Hilmy membuat Fida berinisiatif membalasnya. Ketika ia membuat samosa ayam dan beberapa makanan beku khas Arab lain, ia mengirimi sepupu jauhnya itu beberapa kotak. Ya, sekiranya cukup untuk persediaan kudapan beberapa hari.

Hal ini membuat Fida merasa sedikit lega. Paling tidak, dia sudah membalas kebaikan Hilmy, meskipun sama sekali tak sebanding dengan apa yang telah Hilmy berikan sebelumnya.

Tapi, Fida kembali dikejutkan oleh sikap Bu Nyai Marhamah yang sepertinya benar-benar menaruh curiga. Fida mendapati sang Umi menginterogasi santri perempuan yang dimintai bantuan mengantar samosa. Karena penasaran, Fida menguping pembicaan sang Umi.

"Jadi, hanya mengantar? Hilmy tak menitipkan sesuatu kembali? Surat atau sejenisnya?"

Benar sekali. Bu Nyai Marhamah telah menaruh curiga. Fida tak mungkin seketika muncul dan mengklarifikasi semua. Itu akan tampak sangat konyol. Tapi, ia mulai cemas. Apakah kecurigaan itu akan menimbulkan masalah pada Hilmy nantinya?



[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now