KAWAN LAMA

67 8 2
                                    

Desahan panjang meluncur dari bibir Hilmy. Ia melangkah keluar kamar seraya memasang kancing lengan baju seragamnya.

Hari pertama mengajar di Al Munawwir. Hilmy sempat terkejut ketika Kiai menitahkannya untuk menempati rumah besar ini. Mulanya, ia sempat berpikir akan menempati salah satu kamar guru yang berada di kompleks pesantren. Tapi, Kiai Mudzakkir malah menitahkannya menempati salah satu rumah beliau yang berada sekitar seratus meter dari kompleks pesantren.

Hilmy melongok melalui pintu dapur. Seorang perempuan paruh baya tengah sibuk di depan kitchen sink. Dia adalah Mak Ti, salah satu abdi dalem sepuh yang dititahkan sang Kiai untuk membantu Hilmy. Rumahnya hanya lima puluh meter di belakang rumah ini. Fasilitas yang terlampau mewah bagi tenaga pengajar biasa seperti dia.

"Saya berangkat, ya, Mak?" ucap Hilmy yang seketika membuat perempuan berkebaya dengan bawahan jarik batik itu menoleh.

"Enggi, Gus." Mak Ti mengangguk, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Hilmy berbalik dan berlalu. Mak Ti memanggilnya dengan sebutan Gus. Padahal, sejak perkenalan pertama dengannya kemarin, ia sudah melarang perempuan paruh baya itu untuk memanggil demikian. Tapi, perempuan sepuh itu tetap berikeras. Karena Hilmy masih keponakan Kiai, katanya. Kodho, ndak ilok.

Motor matic premium merah itu melaju perlahan membelah jalanan pagi Kedinding Lor menuju pesantren Al Munawwir. Ternyata, tahun ajaran baru ini, Hilmy harus mengabdi di tempat ini. Ternyata, kedatangan Kiai Mudzakkir sekitar empat bulan lalu bertujuan untuk meminta keponakan jauhnya itu membantu di pesantrennya.

Tentu saja, tak ada alasan bagi Hilny untuk menolak. Meskipun karena hal itu, dia harus pamit dan mengundurkan diri dari pesantren Kiai Bahar. Tak hanya itu, ia juga harus melepas pekerjaannya pada bagian pemasaran di percetakan Ali. Padahal, percetakan itu baru beberapa bulan beroperasi lagi. Usaha yang awalnya mereka rintis bersama.

Tapi, perihal percetakan, Hilmy tak sepenuhnya berhenti. Ali tak membiarkannya begitu saja. Ia masih tetap dipasrahi mengurus pemasaran secara online. Selain juga ada wacana mencari pelanggan di sekitar pesantren nantinya.

Hilmy menghentikan motor di depan gerbang kompleks sekolah yang berada di sebelah barat kompleks asrama santri. Ia menuntun motor menuju tempat parkir setelah sempat menyapa petugas keamanan yang tengah berjaga di depan gerbang.

Suasana sekolah sudah ramai. Beberapa murid yang sepertinya bukan santri mukim, mulai berdatangan. Ada yang bersepeda, ada pula yang berjalan kaki.

Meskipun Al Munawwir merupakan pesantren modern, tapi gaya pembelajarannya tetap mempertahankan prinsip-prinsip pesantren salaf. Hal ini tampak jelas dari gedung sekolah yang terpisah antara santri putra dan putri. Dan kali ini, Hilmy hanya melihat lalu lalang santri putra saja di halaman sekolah. Sementara beberapa santri putri non mukim, harus lewat gerbang lain untuk menuju gedung sekolah santriwati yang berada di belakang gedung sekolah putra.

Kiai Mudzakkir memang ulama yang masih memegang teguh prinsip-prinsip syari'ah. Bahkan menurut banyak orang, putrinya saja begitu ketat dijaga. Meskipun sang putri sudah menamatkan S1 di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Surabaya, tapi adab dan tindak tanduknya sangat khas layaknya keluarga konservatif yang taat aturan.

Pantas saja, ketika bertabrakan dengan Hilmy kala itu, gadis bumbu sate itu sangat kikuk dan kebingungan. Ternyata, gadis yang terkesan lugu itu adalah putri bungsu Kiai Mudzakkir. Ya, Himmy baru benar-benar tahu empat bulan lalu ketika kedatangannya bersama sang Kiai. Cukup mengejutkan.

Setelah memarkirkan motor dengan baik, pengajar baru itu langsung menuju ruang Gus Sofyan yang berada di lantai dua gedung sekolah putra, di antara gedung MA dan MTs. Dia adalah ketua yayasan pesantren ini. Ketika kedatangannya dua hari lalu, putra sulung Kiai Mudzakkir memang berpesan agar Hilmy mengunjunginya terlebih dahulu.

Gus Sofyan menyambut kedatangan Hilmy dengan hangat dan ramah, mereka berbasa-basi beberapa saat sebelum akhirnya Hilmy pamit untuk segera menuju kantor tata usaha.

"Baiklah," ucap Gus Sofyan seraya beranjak dari kursi, " semoga betah mengajar di sini. Selamat mengabdi, Dik." Lelaki tinggi berperawakan berisi itu mengulurkan tangan.

Hilmy menerima uluran tangan sepupu jauhnya itu. "Terima kasih, Gus." Lantas, ia berucap salam dan berlalu.

Hilmy membuka pintu kayu ruangan itu. Tapi, demi sopan santun, ia kembali berbalik dan berisyarat dengan anggukan. Pun begitu, berjalan mundur seraya menutup pintu. Tapi, ketika berbalik dan melangkah ia dikejutkan oleh seorang perempuan bertubuh mungil yang hampir ditabraknya. Lagi. Ya, gadis bumbu satu itu lagi, putri bungsu Kiai Mudzakkir.

"Allahu Akbar ..." Gadis berseragam guru itu memekik tertahan sembari memeluk tumpukan map di depan dadanya.

"Innalillah ... maaf Ning. Maaf, maaf." Hilmy mundur selangkah dan sedikit membungkuk.

"Iya, enggak apa-apa, Kak. Saya yang seharusnya minta maaf." Gadis itu juga mundur seraya menunduk.

"mBoten, Neng. Saya yang kurang hati-hati."

"Duh, anu, jangan pakai bahasa kromo, biasa saja, Kak. Lalu yang dulu itu, anu ..." ujar gadis di hadapan Hilmy dengan suara bergetar.

"Oh, itu. Inggih, tidak apa-apa."

"Duh, jangan kromo lagi. Kak Hilmy itu kan jauh lebih tua. Lagipula, kan, kita ini saudara, toh."

"Oh, inggih, eh iya. Sa ... eh, aku pamit dulu."

Meskipun ada rasa canggung, tapi Hilmy mencoba menuruti kemauan sepupu jauhnya itu. Entahlah, seolah-olah ada keharusan untuk itu. Padahal biasanya untuk urusan sopan santun, ia sangat alot untuk menurut. Bahkan kepada Icha pun, Hilmy masih saja menjaga bahasa jawa halus sampai beberapa bulan menikah.

Tapi, bukan masalah berarti juga. Toh, ke belakang hari mereka tak mungkin akan mengobrol lama tanpa ada kepentingan. Jika urusan rapat sekolah atau yang lain, biasanya juga memakai Bahasa Indonesia, kan?

Hilmy berlalu setelah meminta maaf sekali lagi dan berpamitan. Ia berjalan seraya memeriksa penunjuk waktu HP-nya. Masih setengah tujuh pagi kurang beberapa menit.

Meskipun ruang belajar santri putra dan putri terpisah, tapi ruang tata usaha tetap menjadi satu. Penataan yang sangat apik. Ruangan itu berada di antara dinding pembatas gedung sekolah putra dan putri. Di sebelah ruang TU, ada kantor guru putra. Sementara kantor guru putri, berada di balik tembok pembatas.

Hilmy langsung masuk dan mengenalkan diri pada salah satu petugas TU pria yang duduk di kursi paling dekat dengan pintu masuk.

"Oh, Gus Hilmy yang putranya Kiai Marzuki itu?" Lelaki berperawakan kurus dan berkopyah hitam itu beranjak seraya mengulurkan tangan, "Monggo, monggo, Gus." Ia mempersilakan Hilmy duduk.

Tak disangka, ternyata sudah ada yang tahu siapa Hilmy. Mungkin saja, Gus Sofyan atau Kiai Mudzakkir memang telah memberi tahu sebelumnya.

Setelah mengurus segala kepentingan, Hilmy segera pamit. Ia langsung menuju pintu keluar. Tapi, betapa terkejutnya ia manakala melihat dua sosok perempuan yang sangat familier di depan pintu masuk ruang TU. Dua perempuan yang sepertinya juga merupakan tenaga pengajar di tempat ini. Keduanya memakai seragam guru cokelat kekuningan, sama seperti yang dipakai Hilmy saat ini.

"Mas Hilmy?" Nayla seketika tampak terkesiap melihat Hilmy. Pun dengan perempuan di sebelahnya.

"Nayla? Adeeva? Kalian mengajar di sini juga?"

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now