BAKSO

73 12 0
                                    

Sama sekali di luar persangkaan Hilmy jika bisa kembali bertemu Nayla dan Adeeva. Ya, dia memang tahu rumah Nayla di Bulak Banteng, sekitar tak sampai satu kilometer dari Pesantren, pun begitu menurut kabar burung, Adeeva memang di kota ini. Tapi, bertemu kembali sebagai sesama staf pengajar di tempat yang sama, sungguh di luar dugaan.

"Kok, bisa ada di sini, dan ..." Nayla berisyarat dengan tangannya yang naik turun menyapu tubuh Hilmy.

"Iya. Aku guru baru di sini. Kalian ...?"

"Aku emang ngajar di sini sejak lulus, Mas. Sementara Adeeva ... baru masuk pertengahan tahun kemarin. Sebelumnya, dia bantu kegiatan ekstra kurikuler aja. Baru tahun ini yang mungkin bakal pegang Bahasa Arab," jelas Nayla bersemangat.

Sementara itu, Adeeva hanya tampak tersenyum. Dia ... sedikit berubah, wajahnya tampak kuyu. Seingat Hilmy, hampir dua tahun mengenalnya dulu, Adeeva yang awalnya lugu dan penakut, menjadi lebih berani dan lincah. Ya, meskipun perubahan itu didapat dari kedekatannya dengan lelaki sipit non muslim itu.

Adeeva yang lugu, entah mengapa bisa begitu?

"Tapi, bukannya ... Adeeva di Probolinggo?" tanya Hilny pura-pura tak tahu.

"Oh, itu panjang ceritanya, Mas," jawab Adeeva, "nggak bisa dalam waktu sesingkat ini. Bentar lagi bel upacara bendera."

"Oh, bener." Hilmy berdecak seraya tersenyum, "Kalau begitu, kita tukeran nomor aja gimana? Atau ... pas istirahat siang nanti, kita makan bareng di warung bakso depan. Reuni kecil-kecilan." Ia mengeluarkan ponsel.

"Ide bagus," Nayla juga mengeluarkan ponsel, pun dengan Adeeva.

Ketiganya bertukar nomor dan saling berpamitan.

Ada sepercik harapan terlarang yang sempat hadir ketika Hilmy mulai melangkah menuju kantor sekolah. Harapan yang sempat diusulkan Ali kala itu.

Omong kosong. Adeeva baik-baik saja meskipun memang tampak sedikit kuyu. Dan memang aneh jika tanpa alasan jelas, dia membantu mengajar di sini. Bukankah di pesantren mertuanya juga butuh tenaga pengajar. Atau, kalau hanya ingin menghindar dari suaminya, dia bisa pulang ke rumah orangtuanya yang juga pasti membutuhkan tenaganya.

Dan rasa penasaran itu tetap bertahan di benak Hilmy hingga waktu istirahat siang tiba. Setelah sempat menghubungi Adeeva perihal ajakan reuni dadakan siang, akhirnya mereka benar-benar mengadakan janji temu untuk makan bersama sekadar bernostalgia di warung bakso yang tak jauh dari pesantren.

Sembari melangkah keluar kantor sekolah setelah meletakkan buku-bukunya, Hilmy kembali menelpon Adeeva.

"Oh, ketemuan di sana aja, ya? Oke kalau begitu. Aku salat Dzuhur dulu ke masjid." Hilmy mengantongi ponsel, lalu mengehentikan langkah di depan teras masjid.

Seusai melaksanakan salat Dzuhur berjemaah dan membaca dzikir rutin, Hilmy bergegas keluar masjid. Ia duduk pada undakan teras untuk memakai sepatu.

Sejurus kemudian, ketika beranjak dan selesai dengan sepatunya, pandangan Hilmy mendarat pada tiga perempuan yang tengah berdiri di depan pelataran masjid bagian wanita. Hilmy mengernyit melihat Adeeva dan Nayla bersama seorang perempuan bertubuh mungil  yang ternyata Fida.

Hilmy mendekati ketiganya seraya melambai. Ia menyapa mereka, termasuk Fida yang masih berdiri berjajar dengan dua perempuan itu. "Ketemu di sini. Aku mau langsung. Gimana kalau sama-sama aja?"

"Ehm ... boleh. Tapi ..." Adeeva menunjukkan tas kecil yang sepertinya berisi mukenah.

"Halah, gampang. Dibawa aja nggak apa-apa, Va. Daripada ke kantor dulu, kan, jauh," timpal Nayla yang seketika dijawab dengan 'Nah' bersemangat dari Hilmy.

"Ya udah, deh." Adeeva mengedikkan bahu.

"Ning Fida ... ikut?" tanya Nayla ragu-ragu. Ia menatap perempuan di sampingnya itu dengan mimik wajah penuh tanya.

Fida hanya menggeleng pelan seraya tersenyum yang terkesan sangat dipaksakan. Ia lantas mengembuskan napas cepat dan mengubah wajahnya agar tampak lebih semringah. "Ya udah, aku mau pulang dulu." Ia menatap bergantian antara Adeeva dan Nayla seraya mengangguk pelan. Lalu, dia mengangguk tanda pamit juga kepada Hilmy, dan berlalu.

Ya, semua tahu bahwa sangat tak mungkin untuk mengajak putri Kiai Mudzakir makan bakso di warung pinggir jalan.

Sebenarnya, bahkan Adeeva pun tak akan sebebas itu di rumahnya sendiri. Tapi, karena dia berada jauh dari tempat asalnya, jadi dia bisa melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan di daerah mertua atau orangtuanya.

Pandangan Hilmy terkunci pada punggung gadis yang tengah melangkah pergi dengan kepala yang tertunduk dalam. Hingga, dehaman Nayla disertai panggilan menyentakkannya.

Mereka berjalan bersama menuju warung bakso yang memang hanya berjarak tak sampai lima puluh meter di sebelah barat pesantren.

Waktu makan siang, suasana warung dengan cat dominan kuning merah itu lumayan ramai. Mereka hampir tak menemukan tempat duduk. Untungnya tampak sekelompok pemuda—yang sepertinya anak sekolah—beranjak dari kursi yang berada di bagian teras warung.

Ketiganya duduk pada kursi yang ditinggalkan para pemuda tadi. Seorang pramusaji datang membersihkan meja. Sementara, Hilmy langsung menyebutkan pesanan mereka.

Sembari menunggu pramusaji tadi, mereka bercakap-cakap ringan, menanyakan kabar satu sama lain. Udara panas Surabaya berbaur dengan uap bakso dan aroma sedap yang menguar. Untung saja, beberapa kipas angin dinding mampu membuat suasana gerah menjadi sedikit lebih nyaman.

Pramusaji tadi datang kembali mengantar pesanan mereka, tiga mangkok bakso spesial dan tiga es jeruk. Hilmy membiarkan kedua perempuan yang duduk di hadapannya untuk menuang sambal dan kecap terlebih dahulu. Sementara itu, ia menunggu dengan menyeruput pelan es jeruk di hadapannya.

Mereka masih saja bercakap-cakap. Kini, Hilmy mengambil botol kecap. "Kok, tiba-tiba muncul di sini, Deev?" tanya Hilmy sembari masih menuang kecap ke baksonya.

"Nerusin S2 di UIN," jawab Adeeva pendek. Dia masih sibuk mengaduk-aduk bakso yang baru dia tambahi saos dan kecap.

"Wah, hebat, dong. Kamu kuliah di UIN, tapi tinggalnya di sini?" Hilmy menghentikan kegiatannya sesaat. Ia menatap Adeeva yang mulai memotong lontong dengan tatapan keheranan. Pasalnya, kampus Adeeva berada di daerah Surabaya Selatan, sementara tempat mereka mengajar di Surabaya Utara. Jarak yang sangat jauh. Butuh lebih dari setengah jam berkendara dalam keadaan lengang.

Adeeva mencebik seraya mengedikkan bahu. "Tahu sendiri, lah ..." Ia memasukkan sesuap lontong dan kuah bakso ke mulutnya.

"Biasa," timpal Nayla dengan nada berbisik, "ningrat tetap aja ketat. Makanya, dia cuma boleh kalau tinggalnya sama aku."

"Oh ..." Hilmy mengangguk-angguk pelan. "lalu Romzy?" tanya Hilmy kemudian seraya menatap Nayla.

"Oh, Mas Romzy, kan, Bang Toyib, Mas. Dia itu pulang beberapa bulan sekali. Ngurusin jamaah umroh di sana." Nayla memotong pentol bakso lalu memakannya.

Hilmy mengangguk-angguk tanda mengerti. Romzy dulu merupakan teman seangkatan Hilmy tapi berbeda jurusan. Ia adalah suami Nayla. Mereka sudah menikah tiga tahun lalu.

Ketiganya makan seraya bercakap-cakap ringan. Tema obrolan mereka lebih banyak membahas pengalaman ketika masih kuliah dulu.

Suasana reuni dadakan yang sangat akrab. Pertemanan antara ketiganya kali ini sangat berbeda dibanding sebelumnya. Kini, suasana lebih mencair. Mungkin, karena sikap Hilmy sudah jauh berbeda. Pun tak ada lagi tingkah menyebalkan yang dulu selalu membuat Adeeva dan Nayla menjauh. Ya, mengejar-ngejar Adeeva tentunya.

Kali ini, Hilmy adalah lelaki dua puluh sembilan tahun. Dan mungkin saja, Adeeva masih berpikir kalau dia beristri. Atau ... mungkin tidak?!

Entahlah. Karena, mereka memang tak membahas perihal status masing-masing kali ini. Tapi, karena mantan mertua Hilmy satu kabupaten dengan mertua Adeeva, kemungkinan ia tahu cukup besar.

Seusai makan, mereka bergegas kembali ke sekolah. Tapi, di tengah perjalanan, saat telah berpisah dengan dua teman perempuannya, Hilmy tiba-tiba teringat pada raut muram Fida. Karenanya, ia segera memutuskan untuk kembali ke warung bakso dan membelikan sebungkus untuk gadis itu. Semoga saja, sebungkus bakso bisa mengobati keresahan hatinya.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now