SIAPA DIA?

101 18 0
                                    

Di depan masjid kampus, Fida turun dari mobil diikuti dua gadis setelahnya. Ia mendesah, lalu menoleh tak sampai melewati bahunya. "Ayo, Mbak."

Mobil berlalu menuju tepat parkir, sementara ketiganya melangkah menuju masjid dengan kedua gadis itu berjalan dengan gestur khas santri di belakang Fida. Menunduk dengan kedua tangan terjalin di depan tubuh.

Fida menghentikan langkah. Ia berbalik dan menghadap dua gadis itu. "Sampean berdua, tunggu di sini saja, ya?" Ia merogoh menyampirkan ujung hijab biru tuanya ke bahu, lalu merogoh totte bag kanvas kremnya, dan memberikan beberapa lembar rupiah pada salah satunya. "Ini kalau haus atau mau nyemil, bisa beli di sana." Fida menunjuk ke arah Utara.

"Inggih, Ning," jawab keduanya hampir bersamaan.

Tanpa banyak bicara lagi, Fida meneruskan langkah ke gedung bagian akdemik untuk mengambil ijazah dan segala tetek bengek tanda kelulusannya. Hari pertama pengambilan ijazah setelah acara wisuda minggu lalu.

Akhirnya, setelah hampir empat tahun menimba ilmu di tempat ini, Fida bisa menyelesaikannya dengan baik. Kini, saatnya ia mengamalkan ilmu-ilmunya dengan lebih fokus. Tak lagi dipusingkan oleh tugas kuliah. Apalagi, setengah tahun terakhir, dia harus berkutat dengan skripsinya.

"Ning Fida!"

Panggilan dari suara familier membuat Fida berbalik dan menghentikan langkah. Tampak dua gadis berjalan cepat ke arahnya.

"Ambil ijazah sekarang juga, Ning?" tanya Farhah, gadis dengan tinggi sedang dan bercelana kulot hitam.

"Iya. Kalian juga, kan?" Fida menatap kedua temannya bergantian, "Kalau gitu, kita sama-sama, yuk." Ia lantas berbalik dan melangkah berjajar bersama keduanya.

Ketiganya bercakap-cakap ringan, membahas betapa senangnya mereka. Pun, mengingat-ingat kembali perjuangan selama menempuh pendidikan di bangku kuliah.

Seusai mengambil ijazah, ketiganya keluar bersama lagi.

Fida membenahi bagian leher gamis katun abu-abunya sembari melangkah bersama, menyusuri lorong gedung bagian akademik menuju pintu keluar. "Kalian, habis dari sini mau ke mana?"

"Pulang ke kosan. Nggak ada rencana, Ning." Jawab Nazla, gadis yang berbadan lebih tinggi.

"Iya," sambung Farhah, "persiapan buat acara Senin depan. Sampean beneran nggak ikut?"

Fida terkesiap mendengar pertanyaan kawannya. Bukan, bukan karena ia tak tahu tentang acara ziarah wali songo bersama yang diadakan beberapa kawannya. Tapi, ia hanya teringat kembali betapa inginnya ikut serta.

Berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Fida menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Nggak—"

"Pasti nggak dibolehin karena gabungan cewek-cowok, ya, Ning?" tukas Farhah yang seketika membuat Nazla bereaksi dengan menyikut lengannya dan membeliak.

"Ah, nggak. Aku ada acara keluarga hari Selasanya."

Bohong. Jelas Fida hanya mengada-ada. Semua sudah tahu bahwa dia adalah putri Kiai Mudzakir. Pastinya, bukan hal mudah mendapat izin keluar rumah tanpa pengawalan. Terlebih lagi, jika sampai ada indikasi berkumpul dengan lawan jenis tanpa kepentingan yang mendesak.

Memang, Kiai Mudzakir bukannya orang tua yang sangat konservatif. Dia tak sampai mengurung Fida dan membatasi gerak-geriknya. Fida masih bisa mengikuti berbagai kegiatan kampus meskipun harus berkumpul dengan lelaki. Hanya saja, semuanya harus ada alasan syar'i. Bukan hal yang keliru.

"Oh, begitu," ucap Nazla seraya tersenyum yang tampak kentara jika senyumnya begitu dipaksakan. Ya, dipaksakan untuk tampak ceria. Ia sepertinya ingin menghibur Fida.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now