LUKA LAMA

106 24 4
                                    


"Yuk, berangkat, Kak," ujar Fida dengan nada ceria. Membuat Hilmy menoleh, menatapnya sembari menggeleng. Perempuan lugu itu teramat polos dan sederhana. Dia sangat senang rupanya. Lantas, Hilmy melajukan mobil perlahan.

Keadaan jalanan sudah mulai padat merayap pada pagi menjelang siang. Sengaja, mereka berangkat sebelum jam sembilan pagi, agar bisa santai selama di perjalanan. Embusan pendingin mobil, membuat keadaan menjadi nyaman. Alunan lagu pop melow sudah lumayan familier dan bisa masuk ke telinga Hilmy. Hampir dua bulan menikah, setiap hari mendengarkan lagu-lagu itu, membuat telinganya bisa menerima alunan musik pop dan bahasa asing begitu saja.

"Janji, loh, ya, anterin aku ke mall. Aku mau beli novel yang banyak. Akhirnya, aku bisa punya buku cetaknya. Selama ini, cuma baca di HP. Bikin mata perih. Nyebelin banget." Fida mengerucutkan bibir.

"Dasar tukang halu." Hilmy menoyor pelan kepala istrinya seraya tetap berusaha fokus mengemudi.

"Ih, beraninya main tangan. KDRT." Fida menarik hidung Hilmy yang membuatnya berpura-pura kesakitan.

Keduanya terus saja bercakap-cakap diselingi candaan. Sesuatu yang memang sering dilakukan selama ini. Canda tawa yang menimbulkan rasa nyaman pada akhirnya.

Beberapa waktu terakhir, Hilmy semakin merasakan ada sepercik rasa lain terhadap istrinya. Seperti … rasa sayang dan ingin melindungi. Meskipun ragu dan cemas acap kali hilang timbul.

Memang benar petuah yang pernah Hilmy dengar dahulu, "Berpura-puralah bahagia, hingga kamu lupa kalau sedang berpura-pura". Dan sepertinya, itu berlaku terhadap hubungannya dengan Fida. Awal hanya berpura-pura cinta dan sayang, tapi perlahan memang rasa sayang itu timbul. Atau … apakah itu karena kepergian Adeeva? Pamitnya kala itu, benar-benar menghantam hati. Tapi, memang setelahnya diikuti banyak hal-hal yang menyamankan. Fida yang penurut dan tidak adanya mbak dalem di rumah mereka.

Fida merupakan perempuan dengan keinginan dan pemikiran sederhana—atau lebih tepatnya memang tidak banyak memahami perihal kerumitan dunia. Dia bisa begitu senang hanya karena dijanjikan untuk jalan-jalan ke toko buku seusai mengurus pajak dan penggantian nomor kendaraan. Sementara Hilmy, sebenarnya begitu resah sejak Kiai memberinya uang itu. Rasanya, seolah-olah sangat diremehkan. Seperti dianggap tidak mampu untuk membayar biaya-biaya itu. Memang tidak murah, tapi masih mampu, kan? Tapi, apa yang bisa dilakukan? Bagaimana bisa menolak uang bantuan, jika hal yang lebih serius lagi Hilmy tak mampu. Menolak perjodohan dengan Fida. Karenanya, untuk beberapa hal yang semestinya bisa dilakukan sendiri, haruslah bisa tanpa intervensi orang luar lagi.

Sejenak, kalimat Kiai minggu lalu, kembali terngiang di telinga. "Ke belakang, pelan-pelan kalian bayar sendiri kalau kalian sudah stabil."

Ya, tidak ada cara lain agar tidak diremehkan kecuali menunjukkan kemampuan. Stabil. Harus mampu membuktikan kalau stabil secara ekonomi itu memang bisa digapai. Cara yang mungkin dilakukan adalah mencari sumber penghasilan baru, entah bagaimana caranya. Karena kalau tidak, kehidupan rumah tangga kali ini, tak akan banyak berbeda dengan yang lalu.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Hilmy begitu menuruti semua kemauan mantan istri dan mertuanya. Hari itu adalah dua minggu seusai resepsi pernikahannya dan Icha. Kiai dan Bu Nyai Idris datang ke kediaman mereka.

Kedua mertuanya hanya datang bersama tiga santri yang turut serta. Dua santri sebagai sopir dan satu santri perempuan yang sepertinya khadimah. Dan yang paling membuat heran adalah, mereka membawa dua mobil; MPV premium yang dikendarai Bu Nyai dan Kiai, serta satu SUV sport hitam yang ternyata ditinggal setelah kepulangan mereka.

"Ini mobil hadiah buat kamu dan Icha, Nak. Biar kalian mudah kalau mau ke mana-mana. Dan juga bisa sering-sering berkunjung ke Pasuruan," ucap Kiai Idris kala itu. Membuat Hilmy merasa tersanjung, alih-alih terhina. Tentu saja, karena Hilmy tak pernah menyangka bahwa semua akan berakhir menyakitkan.

Tapi nyatanya, rasa tersanjung itu hanya bertahan seumur jagung. Sikap Icha yang sangat menghindari interaksi dengan Hilmy, bahkan semua pekerjaan rumah dia yang harus melakukan, membuat rasa jengkel perlahan timbul dan semakin menggurita.

Awalnya, sikap itu dianggap sebagai sikap malu-malu dan penjajakan saja. Karena ketika Abah dan Ummah berkunjung, Icha bisa tampak ramah dan mau menemui mereka. Pun ketika ada acara keluarga. Icha bisa tampak akrab. Tapi, ketika hanya berdua saja dengan Hilmy, dia menghindar. Meskipun pada akhirnya, Icha membuka diri, bahkan sempat mengandung. Tapi … insiden penyebab keguguran kandungannya, membuat Hilmy tak mampu untuk memaafkan mantan istrinya itu. Bahkan, mungkin hingga detik ini. Pengkhianatan laknat dan sangat menjijikkan. Sebab semua itulah, pemberian Kiai Mudzakir minggu lalu, terasa menyakitkan, alih-alih menyenangkan.

Ingatan tentang kejadian yang lalu, menimbulkan sesak di dada. Hilmy menghela napas dalam seraya menurunkan gigi mesin. Ia berbelok dan masuk halaman kantor Samsat Surabaya Utara.

Pelayanan pajak dan penggantian nomor kendaraan, tak memakan waktu lama. Syukurlah, urusan birokrasi akhir-akhir ini semakin menemui perbaikan. Semoga bisa dipertahankan. Syukur-syukur kalau bisa lebih baik lagi.

Dan seperti janji Hilmy, dia mengantar istrinya ke salah satu Mall terdekat. Perempuan bermata bulat itu tampak sangat senang di antara jajaran rak-rak buku. Dan luar biasanya, tak tanggung-tanggung, dia membeli hampir 10 buku yang hampir kesemuanya merupakan buku fiksi bergenre romantis. Hanya beberapa buku non fiksi; termasuk buku resep masakan.

Sementara itu, Hilmy sendiri membeli beberapa buku biografi dan buku penunjang pekerjaannya. Apalagi kalau bukan buku tentang pemasaran online.

"Banyak banget bukunya, Neng? Emang segitu bakal habis dibaca semua?" Hilmy berdiri di samping Fida yang masih memilih-milih buku dari display bertuliskan 'Obral'. Sementara keranjang berisi beberapa buku pilihan, diletakkan pada bangku kayu tak jauh dari rak display itu.

Fida mengedikkan bahu tanpa menoleh. Dia fokus membaca sesuatu pada sampul buku. "Nggak tahu. Tapi, aku suka banget. Dulu, aku nggak boleh beli ginian, kan, Kak. Kalau ketahuan, bisa dijewer dan diceramahin Abi sampe berabad-abad."

"Lebay." Hilmy mengecimus. "Kalo sekarang, nggak takut?"

"Nggak." Fida menoleh dan menyeringai menatap Hilmy. "Kan, udah ada pawangnya. Lagian, mana mungkin Umi bakal memeriksa sampe ke kamar segala. Oh, ya, makasih, loh, Kak. Ini juga salah satu keuntungan nggak ada orang lain di rumah. Aku bisa ngapa-ngapain lebih bebas."

Satu simpul manis tersemat di bibir Hilmy. Lantas, telapak tangannya mendarat pada puncak kepala Fida yang tertutup pashmina Hitam. Menepuk halus beberapa kali. "Dasar, tukang nyari kesempatan."

Fida menjulurkan lidah. "Biarin aja."

Hilmy hanya menggeleng pelan. Istrinya memang masih sangat muda. Jarak umur tujuh tahun di antara mereka, ternyata bisa menarik Hilmy untuk bisa kembali merasa seperti pemuda awal dua puluhan.

Tak sampai sepuluh menit setelahnya, mereka telah berada di depan meja kasir, menghitung belanjaan yang harus dibayar.  Dan benar sekali, angka yang tertera pada mesin penghitung, tak bisa dibilang sedikit. Lebih dari seperempat gaji mereka mengajar.

Hilmy menarik napas dalam. Tapi, sepercik asa untuk menyenangkan sang istri, kembali hadir. Membuat tarikan napas itu berakhir dengan simpul di bibir.

"Kak, punyaku kubayar sendiri aja, ya?" Fida mendongak. Lantas mengerjap sekali.

Mendengar itu, rasanya seolah-olah hati tercubit. Bantuan uang pajak kendaraan sudah cukup mengganggu, jangan lagi ada hal-hal semacam itu.

"Neng, aku ini suamimu. Yang wajib bertanggung jawab. Sudah, aku yang bayar. Memangnya, kamu pikir uang segitu aku nggak ada?" nada suara Hilmy sedikit meninggi, membuat Fida seketika terperanjat dan menyalangkan mata.

Lalu, beberapa detik setelahnya, Hilmy baru menyadari kekeliruannya. Tak elok menjadi sangat impulsif di tempat umum. Apalagi, Fida mungkin saja tak mengerti. Tapi, bagaimana tak impulsif, jika berbagai kejadian selalu mengingatkan pada luka-luka lama?

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now