IKRAR DAN TAKDIR

110 21 4
                                    


Seusai salam yang kedua, Fida mencium punggung tangan suaminya. Kebiasaan yang selalu dilakukan setiap usai salat semenjak mereka sah menjadi suami istri. Tapi, sejak mendengar kalimat istrinya perihal lebih bebas menjadi diri sendiri sejak menikah, kegiatan sederhana itu terasa berbeda. Membuat Hilmy refleks mencondongkan badan dan mencium puncak kepala sang istri yang berbalut mukenah.

Hanya sepersekian detik, di tengah bibir dan hidung Hilmy masih menempel pada puncak kepala Fida, kesadaran akan sikapnya seketika mencuat. Apa gerangan yang menjadi pendorong hal ini? Ada sejumput rasa tak biasa yang bertunas di hati. Bukan yang menggebu-gebu, hanya … hangat dan damai.

Setelah Hilmy merenggangkan posisi, Fida terdiam sesaat dalam posisinya, masih membungkuk. Lantas, mendongak dengan pipi yang bersemu merah dan tatapan malu-malu yang sejurus kemudian membuatnya melepas tangan, lantas seketika mundur. Sepertinya, dia salah tingkah. Sangat kentara jika dia berpura-pura sibuk berzikir. Pipi kemerahannya masih bertahan. Pun begitu, dia menunduk dengan tangan yang tampak gemetar. Terlihat jelas dari tasbih di tangannya.

Hilmy berdeham, berusaha mencairkan suasana. Lantas bersikap seolah tak terjadi apa pun dan kembali melanjutkan zikir.

"Mau jalan-jalan ke mana habis ini?" Hilmy menggeser posisi, menghadap pada Fida. Berusaha menetralkan suasana. "Turun dulu? Main ke tempat wisata di bawah. Nanti agak sore, kita naik lagi buat liatin Sunset. Katanya, di pelataran hotel deket lautan pasir situ bagus view-nya."

"Boleh." Fida tersenyum. Rona merah jambu di pipinya sudah memudar. Dia membuka mukena, lantas melipatnya.

"Ya, udah. Aku ganti baju dulu." Hilmy beranjak dan membuka peci. Lantas berjalan ke arah lemari.

Sekitar empat puluh menit kemudian, keduanya telah sampai di tempat parkir sebuah kawasan wisata keluarga. Tempat rekreasi yang menggabungkan konsep wahana keluarga dan panorama pegunungan.

Hilmy turun dari mobil dan—memang karena sudah berniat untuk mencoba dekat dengan sang istri—segera mendekati Fida.  Lantas, seketika meraih tangannya, menyelipkan jemari di antara jari-jari perempuan yang memang seharusnya berhak atas hal itu.

Fida seketika menatap Hilmy. Lagi, pipinya bersemu merah. Pun mata bulatnya berbinar dengan pupil yang melebar.

Keduanya berjalan-jalan, berkeliling tempat wisata. Menikmati pemandangan dan mencoba beberapa wahana yang memungkinkan dicoba orang dewasa. Lagi, rasa damai dan hangat itu menelusup hati. Seolah perlahan mencairkan kebekuan.

Puas berjalan-jalan dan menikmati beberapa wahana, Hilmy mengajak istrinya untuk masuk ke salah satu bangunan yang sepertinya merupakan tempat makan. Kopi hitam hangat, akan sangat pas sebagai pendamping sembari menikmati siang menjelang sore yang masih terasa sesejuk—bahkan lebih—pagi hari Surabaya.

Mereka memilih duduk pada kursi dengan meja di luar ruangan. Meja kayu berkapasitas empat orang. Hilmy memesan kopi hitam favoritnya dan seporsi kentang goreng. Sementara Fida segelas cokelat hangat dan seporsi sosis goreng.

Keduanya bercakap-cakap santai, menikmati kudapan dan pemandangan hijau lereng pegunungan yang sangat memanjakan mata, pun riak air kolam renang bening kebiruan tak jauh dari kafe. Hingga akhirnya, tanpa sengaja pandangan Hilmy menangkap sesosok lelaki yang tampaknya begitu familier. Lelaki berperawakan sedang dengan seorang perempuan berhijab yang menggendong balita lelaki. Mereka baru akan duduk pada kursi di meja tak jauh dari tempatnya.

"Hasan?" sapa Hilmy ketika telah benar-benar yakin kalau lelaki itu adalah seorang kawan lama.

Lelaki itu tampak sama terkejutnya. "Lora Hilmy? Iya ini aku Hasan." Lelaki itu mendekati Hilmy dan mengulurkan tangan.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now