SEPERCIK ASA

105 22 7
                                    


Liburan sekaligus bulan madu telah usai. Berkegiatan di sekolah sudah berjalan satu minggu. Pun pekerjaan sebagai marketing di percetakan Ali, sudah kembali benar-benar ditekuni bersamaan dengan kegiatan sekolah. Hidup kembali sibuk, berkutat dengan berbagai pekerjaan. Apalagi, Hilmy sekarang tak sendiri, ada Fida sebagai tanggung jawab.

Memang Fida juga mengajar kelas pagi dan sore dengan bisyaroh alias gaji yang bisa dikatakan cukup untuk dirinya sendiri. Tapi, Hilmy merasa bahwa dia harus tahu diri sebagai seorang suami. Sang istri merupakan putri kesayangan Kiai Mudzakir. Mana mungkin membiarkannya kekurangan. Tidak cinta bukan berarti meninggalkan tanggung jawab, kan?

Hal yang juga perlu diperhatikan dengan sangat, perawatan mobil SUV itu tidaklah murah. Harus bisa menyediakan uang lebih untuk maintenance rutin. Pun pajak yang sepertinya harus segera dibayar beberapa minggu ke depan.

Huft … melihat deretan angka yang harus dikeluarkan, membuat Hilmy sempat menahan napas. Hampir mencapai dua kali gaji bulanannya. Tapi, ia seorang lelaki. Ialah yang harus bertanggung jawab. Tak masalah urusan pembayaran pajak. Malah, hal itu membuatnya merasa berguna. Meskipun belum mampu membelinya sendiri, tapi Kiai mempercayai untuk mengurusnya. Itu artinya, mertuanya itu menganggap Hilmy mampu.

Hilmy sibuk di depan laptop di ruang tengah. Dia duduk di lantai dengan mata yang fokus pada layar. Membuat rekap pemesanan pelanggan yang harus segera disetor pada percetakan. Pun setelahnya harus menyelesaikan soal ujian sekolah sore yang batas akhir pengumpulannya sepuluh hari ke depan.

Terdengar dehaman yang membuatnya seketika menoleh. Fida muncul dari pintu dapur. Dia pasti habis beberes di sana. Pakaian dan penampilannya lebih dari seminggu terakhir … begitu berbeda. Daster dengan rambut yang disanggul menggunakan jedai. Wajah polos tanpa make up dengan titik-titik keringat di pelipis. Penampilan seadanya yang malah membuatnya tampak … memesona.

Dengan cangkir di tangan, dia berjalan mendekati Hilmy. "Serius banget, Kak. Ngopi dulu. Biar rileks dikit."

Hampir tak berkedip Hilmy menatap perempuan yang sudah  sebulan menjadi istrinya itu. Fida benar-benar bisa mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Bahkan, hanya dengan sedikit bantuan Mak Ti di pagi hingga siang hari. Sementara sore sampai malam, dia mengerjakan semua sendiri.

Suara lepek beradu meja dan panggilan Fida, membuat Hilmy tersentak dari kekagumannya.

"... kok, malah bengong?" Fida kembali berdiri setelah sebelumnya membungkuk untuk meletakkan kopi di meja. Lantas, dia berbalik dan melangkah.

Tapi, hanya selangkah, Hilmy memanggil, "... mau ke mana?"

Fida berbalik dan mengernyit. "Lah, ya, ke dapur. Aku mau nyuci piring sama masukin baju-baju kotor ke mesin cuci. Biar besok tinggal jemur. Soalnya, habis ini aku juga mau cepet-cepet ngelarin soal ujian buat sekolah diniyah. Udah, ya?" Dia segera berbalik tanpa menunggu jawaban Hilmy.

Sementara itu, Hilmy hanya menatap cengo punggung pendamping hidupnya itu. Seketika, hadir sepercik asa yang perlahan membanjiri hati. Mungkin, memang rasa menggebu itu belum hadir. Tapi, melihat kesungguhan Fida, tak ada salahnya berusaha lebih untuk bisa membahagiakannya. Harus bisa berusaha lebih keras lagi agar jangan sampai menimbulkan konflik yang bisa membuatnya terlampau bersedih. Mungkin, dia masih mampu bertahan dan tak mengeluh dengan semua. Tapi … perempuan yang lahir dalam kenyamanan bisa saja goyah jika ditekan oleh keadaan kekurangan.

Lantas, penggalan-penggalan percakapan bersama Gus Baim, bergema berulang kali di telinga. "Wow, istri sampean itu hebat, ya? Dia mau manut? Luar biasa, lo, Gus."

Pun ingatan tentang pernikahan yang lalu bersama Icha, kembali berkelebatan di kepala. Memori menyakitkan jika diingat kembali. Padahal ketika itu terjadi, rasanya biasa saja. Tapi, apa yang membuat kenangan-kenangan itu berubah sangat menyakitkan kecuali pengkhianatan dan kebohongan itu.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang