RUMAH SAKIT

144 22 1
                                    

Di tengah Fida duduk sembari mengawasi anak muridnya mencatat, hadir sebersit ingatan tentang kejadian beberapa waktu sebelumnya. Obrolannya dengan Adeeva. Apakah, semua yang dikatakan Adeeva bisa dipercaya? Ketika Fida bercakap-cakap dengan sahabatnya itu dan melihat ekspresi serius Adeeva, rasanya … memang semua yang telah dikatakannya adalah fakta. Tapi, mengapa saat ini kembali hadir sekelumit ragu dan cemas yang mengusik hati? 

Tidak, tidak. Segala persangkaan buruk itu pastilah hanya bisikan setan. Lagipula, mereka memang tak mungkin bersama. 

Beberapa saat setelahnya, jantung Fida tiba-tiba berdetak kencang. Tidak, ini terlalu kencang sampai terasa sedikit nyeri. Ia sontak meringis. Degupan jantungnya terasa janggal. Dia memejam rapat seraya mengembuskan napas melalui mulut. 

Seorang santri perempuan, menghampirinya dan bertanya sopan, "Mau kulo ambilkan sesuatu, Neng? Mungkin unjuk'an?"

Fida membuka mata lalu mengangguk pelan. "Terima kasih. Boleh. Minta tolong mungkin air saja. Di atas meja saya di ruang guru ada sebotol kecil air mineral."

"Inggih." Santri itu menunduk lantas berlalu. 

Tak sampai lima menit setelahnya, gadis itu kembali lagi membawa botol air mineral seperti yang dititahkan Fida sebelumnya. Perlahan, Fida meminum air dari botol itu hingga tersisa hampir separuh.  Dia diam sesaat, mencoba merasakan degupan jantungnya. Perlahan, semua kembali normal. 

Sejenak, Fida melirik jam dinding yang menempel pada tembok bagian belakang kelas. Sudah hampir jam dua siang, tak sampai sepuluh menit lagi, bel pulang akan berbunyi.

"Yang sudah selesai, beresin buku-bukunya, ya? Kita tunggu sampai bel pulang." ujar Fida seraya merapikan perlahan buku-bukunya.

Para santri perempuan kelas dua MTs itu menjawab dengan nada sopan dan hampir serentak. Beberapa mulai membereskan buku-buku mereka, sementara yang lain meneruskan mencatat. 

Karena Hilmy belum datang, Fida terpaksa memilih pulang dengan berjalan kaki. Jarak seratus meter sama sekali tak jauh. Udara Surabaya yang sangat panas karena sudah memasuki pertengahan kemarau, membuat Fida cepat-cepat menuju kamar dan langsung berganti pakaian. Setelahnya, dia beristirahat sebentar sembari membaca buku dan menikmati embusan pendingin ruangan. Karena setelahnya, ia harus kembali lagi ke pesantren. Pada hari Senin, Fida memiliki jadwal mengajar sekolah diniyah sekitar jam empat sore.

Fida masih menekuni ponselnya ketika terdengar bel berbunyi berkali-kali dalam tempo cepat. Siapa yang menekan bel dengan keadaan tak sabar?

Segera, Fida memakai hijab dan berjalan menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Fida mengernyit manakala melihat Neng Ida berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang tampak panik.

"Ada apa, Mbak?"

"Ayo, segera ikut Mbak, Dik."

"Tapi, Kak Hilmy lagi keluar."

"Ini juga tentang Dik Hilmy. Kita harus segera ke rumah sakit."

Apa katanya? Rumah sakit? Tentang Hilmy? Seketika, berbagai pikiran buruk menghampiri. Berputar-putar dan meryapi benak.

Fida sontak membelalak. "Kak Hilmy kenapa, Mbak?"

"Jangan banyak nanya. Kutunggu di mobil." Neng Ida langsung berbalik dan berlalu. Dan benar saja, di depan pagar sudah terparkir sebuah mobil SUV sport hitam dengan mesin yang masih menyala.

Seketika Fida berbalik menuju kamar. Dia mengambil slingbag, lalu memasukkan ponsel dan dompet. Kemudian, segera keluar dengan setengah berlari.

Tidak, ini mungkin saja hal lain. Hilmy dan rumah sakit. Dua hal itu tak bisa untuk tak menimbulkan pikiran buruk.

Hanya ada Gus Sofyan dan Neng Ida di mobil. Fida duduk pada kursi penumpang tengah, di mana Neng Ida telah menunggu. Segera, istri Gus Sofyan itu mendekap Fida dan membelai lembut lengan adik iparnya ketika Fida duduk dan pintu telah tertutup.

Sikap semacam itu, semakin mempertegas bahwa pikiran-pikiran buruk itu benar adanya. Ya Allah … ada masalah apa sebenarnya?

Tak ada pertanyaan yang terucap dari bibir Fida. Dan tak sedikit pun penjelasan keluar dari bibir dua orang lain di mobil yang sudah melaju, membelah jalanan siang Kota Surabaya.

Hampir setengah jam setelahnya, mereka sampai di salah satu rumah sakit di daerah Surabaya Selatan. Neng Ida dan Fida cepat-cepat turun dari mobil, sementara Gus Sofyan langsung membawa mobil ke tempat parkir.

Keduanya berjalan cepat menuju meja informasi. Lalu, segera menuju IGD ketika telah mendapat informasi tentang keberadaan Hilmy. Dan benar saja, tampak dari balik pintu kaca, beberapa tenaga medis sedang sibuk di salah satu ranjang. Sayangnya, ada tirai yang menghalangi pandangan.

Seketika, tulang-belulang Fida rasanya seolah terlepas dan rontok dari susunannya. Tubuhnya mendadak lemas. Pandangan pun seketika berkunang-kunang. Apakah itu Hilmy?

Fida hampir oleng. Untung saja, Neng Ida dengan segera menahan tubuh iparnya itu. Lantas, membimbingnya menuju kursi tunggu di depan ruangan. Beberapa menit kemudian, Gus Sofyan datang dan ikut menemani.

Mereka menunggu cukup lama. Lantas, tampak beberapa tenaga medis mendorong brankar dengan cepat. Jelas itu Hilmy. Ada tabung oksigen yang juga didorong mengiringi brankar. Pun beberapa selang yang entah apa saja, selain selang infus. Pernapasannya tertutup masker oksigen, pun perban yang membalut sebagian kepala Hilmy. Dia masih terpejam. Tak sadarkan diri.

Seketika, Fida dan Neng Ida mengikuti ke mana arah brankar didorong. Ternyata, Hilmy masih harus dirawat intensif di ruang ICU. Karena, dia masih belum keluar dari masa kritisnya.

Seorang tenaga medis lelaki menemui mereka di depan ruang ICU, menginformasikan sekilas kondisi Hilmy yang mengalami retak lengan bawah tangan kiri, pun gegar otak sedang. Lantas, menyarankan agar salah satu keluarga segera mengurus masalah administrasi.

Segera, Gus Sofyan mengurus administrasi yang dibutuhkan, lalu segera kembali menemui Fida dan istrinya di depan ruang ICU. 

"Aku, mau pulang dulu. Mengabari orang rumah tentang keadaan Hilmy dan mengambil beberapa hal yang mungkin dibutuhkan," jelas Gus Sofyan. Dia berdiri di hadapan Fida dan Neng Ida yang masih duduk pada kursi tunggu di depan ICU. Lalu, mengalihkan pandangan kepada Neng Ida. "Kamu di sini dulu temani Fida." 

Neng Ida mengiakan titah sang suami. Kemudian, Gus Sofyan segera berlalu.

Sepeninggal Gus Sofyan, Neng Ida mengajak iparnya untuk bercakap-cakap. Pun menawarinya makanan, meskipun jelas-jelas ditolak.

"... tadi itu, tiba-tiba ada orang yang datang ke rumah mengabari soal Dik Hilmy. Makanya, kami langsung mengajakmu ke sini. Ummi dan Abah saja belum tahu." Neng Ida membelai pelan punggung berbalut gamis rayon cokelat Fida.

"Aku … hamil, Mbak," ujar Fida lirih dan masih menunduk. 

"Hamil? Hilmy tahu?" Neng Ida menunduk, berusaha menangkap wajah Fida.

Fida hanya menggeleng pelan. "Aku baru mau ngabarin kemarin, tapi nggak bisa. Kak Hilmy banyak pikiran sepertinya. Pagi tadi pun dia keluar terburu-buru."

"Ada apa? Bukankah seharusnya dia ngajar? Tadi, kecelakaannya sekitar bundaran Waru katanya. Keserempet motor yang ugal-ugalan. Penabraknya lari dan belum ketemu."

"Aku nggak tahu jelas, Mbak. Dia cuma ngurus soal masalah pendirian percetakan. Katanya, ada berkas double. Ketipu mungkin. Entahlah." Fida menghela napas dalam. Dia mendongak, menatap Neng Ida dengan tatapan sendu.

Neng Ida kembali membelai punggung iparnya. "Sudah, sudah. Jangan mikir apa-apa dulu. Yang paling penting kali ini, bagaimana Dik Hilmy bisa pulih dan kamu sehat. Inget calon bayi kamu."

Fida mengangguk. Lantas, kembali menunduk. Ya, tak ada yang lebih penting selain kesehatan mereka. Hilmy, Fida, dan calon buah hati mereka.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now