BANTUAN

97 23 2
                                    


Kening itu berkerut dalam. Mata bulatnya berkaca-kaca dengan kedua ujung alis yang turun. Terdengar suara deru napas dan isakan tertahan. Pun kedua ujung bibir yang turun.

"Kenapa harus berpisah? Nggak bisakah diusahakan bertahan?" Isakan itu pun tak mampu dibendung lagi. Titik-titik bening menerobos ujung mata. Lalu, berubah menjadi aliran yang melintasi pipi tirus kuning langsatnya.

Kepala tanpa hijab dengan rambut sedikit berantakan itu menggeleng pelan. Mata bulatnya memerah dengan bening yang tak henti mengalir. Makin deras. "Kenapa harus seegois itu? Bukankah cinta memang butuh waktu? Jangan berpisah …."

Isakan Fida semakin jelas terdengar. Punggung tangannya kini menyeka aliran bening yang tak henti mengalir. Lantas, dia meraih tisu untuk menyeka cairan yang keluar melalui hidung. Sesak masih menguasai dada. Tak terima dengan semua yang disaksikan. Hingga, suara dehaman dan pintu yang diketuk, membuyarkan fokusnya.

"Eh, Kak Hilmy." Fida meneringai. Lekas-lekas dia beranjak dari posisi tengkurap. Pun segera menekan simbol 'home' pada layar.

Hilmy berdecak seraya menggeleng, menatap miris istrinya yang masih sibuk mengeringkan pipi. Dia melangkah ke dalam kamar dan segera membuka lemari. "Kebiasaan. Nonton aja sampe nangis. Cepet cuci muka, lalu ke depan. Abi sama Umi nunggu, tuh. Ntar dikira berantem sama aku, lagi. Berabe."

"Waduh. Jangan laporin ke mereka ya, kalau aku nonton drakor." Fida cepat-cepat turun dari ranjang sembari membenahi rambutnya yang berantakan.

Fida cepat-cepat masuk ke kamar mandi tanpa menghiraukan Hilmy. Ada kepentingan apa, sih, mereka berkunjung malam hari? Bukankah, mereka bisa memanggil saja?

Bunyi pintu kamar mandi yang diketuk bersamaan dengan panggilan dari Hilmy, membuat Fida segera mematikan kran air.  "... nanti terusin bikin minuman, ya? Aku bakal jerangin air. Kutunggu di ruang tamu."

"Iya," teriak Fida yang masih menggosok wajah menggunakan sabun.

Sekitar lima menit kemudian, Fida sudah keluar dengan nampan berisi dua cangkir kopi dan dua cangkir teh. Dia meletakkan nampan pada meja, lantas cepat-cepat bersalaman dengan Kiai Mudzakir dan Bu Nyai Marhamah. Sementara itu, Hilmy memindah cangkir-cangkir dari nampan ke meja.

"Gimana, ada kabar baik?" tanya Kiai Mudzakir mengawali percakapan setelah putrinya duduk pada sofa di sebelah Hilmy.

"Maksudnya, nopo, Abi?" Fida mengernyit sembari memiringkan kepala menatap Kiai.

Sementara itu, Bu Nyai Marhamah malah menutup bibir dengan sebelah tangan dan mengulum senyum. Lantas, menepuk pelan lengan berbalut koko putih suaminya. "Sampean itu, Bi. Udah tahu Fida kayak gitu, sik pake bahasa alusan. Jelas arek'e ndak ngerti."

"Oh, tak ngarteh?" Kiai tergelak. Bahasa Maduranya pun keluar. Memang Kiai Mudzakir masih ada darah Madura. Kakek beliau asli Bangkalan, kakak kandung Nenek Kiai Marzuki.

"Abi ngoten. Kebiasaan. Maksudnya apa?" Fida mengernyit, pun mengerucutkan bibir. Berpura-pura merajuk. Dia menyikut rusuk suaminya pelan, lantas menyentakkan dagu setelah Hilmy menoleh.

"Tuh, gimana, Bi. Diaduin ke Hilmy, kan?" lagi, Bu Nyai Marhamah menimpali seraya kembali menahan tawa. "Sekarang. Abi wes ndak bisa godain Fida. Sudah ada pawangnya."

Keduanya tergelak bersamaan. Lantas Kiai kembali menimpali, "Ternyata, perasaan Abi dan Umi memang bener. Kalian ini jodoh." Kiai menggeleng pelan.

"Kalau bukan Umi, mana mungkin Abi bergerak. Paling cuma jadi penonton terus. Wong dari gelagat Nak Hilmy sudah jelas banget, kok." Lagi, Bu Nyai mengulum senyum.

[END] Sahaja CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ